Narasi Ancaman Perang dengan China Membayangi Kampanye Pilpres Taiwan
Tiga kandidat presiden mengatakan, Taiwan harus meneken perjanjian perdamaian dengan China. Satu kandidat lainnya berargumen bahwa Taiwan harus meningkatkan kesiapan berperang.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
TAIPEI, KAMIS — Mendekati tahun 2024 dan pemilihan umum presiden Taiwan, empat kandidat dari partai yang berlawanan menyerukan pandangan berbeda terkait risiko pecahnya perang terbuka dengan China. Pada saat yang sama, ketegangan di zona abu-abu Selat Taiwan tidak berkurang.
Kampanye calon presiden Taiwan masih berlangsung. Empat tokoh yang berlaga ialah Wakil Presiden Taiwan William Lai Ching-te selaku calon dari Partai Demokratik Progresif (DPP), Wali Kota New Taipei Citu Hou Yu-ih sebagai perwakilan dari Kuomintang (KMT), Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan (TPP), dan kandidat independen Terry Gou.
Sejauh ini, tiga kandidat menyerukan penghindaran perang dengan cara bernegosiasi dan menandatangani pakta perdamaian. Adapun satu kandidat justru menyerukan pentingnya bagi semua unsur masyarakat Taiwan untuk mempersiapkan diri menghadapi risiko konflik terbuka di Selat Taiwan.
Pada saat yang bersamaan, frekuensi intrusi pesawat militer China ke zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) Taiwan tidak berkurang. Bahkan, peneliti dari Biro Kajian Asia Nasional Amerika Serikat (NBAR) David Gitter berpendapat, intrusi ini akan berlangsung sampai dianggap sebagai sesuatu yang normal oleh masyarakat Taiwan.
”Ketika semua tampak normal dan lengah, di sini kemungkinan besar China menyerang guna memenuhi ambisi mereka mengenai penyatuan kembali Taiwan dengan China,” tuturnya, dikutip oleh BBC, Kamis (5/10/2023).
Otoritas Taiwan saat ini, yang dipimpin oleh DPP, sangat memperhatikan hal tersebut. Dalam kampanye di Universitas Tunghai, William Lai menekankan sikap bahwa Taiwan harus bersiap untuk perang terbuka.
”Ini cara terbaik kita untuk bertahan dan mencegah terjadinya perang itu,” ujar Lai, seperti dikutip oleh kantor berita Taiwan, Channel News Asia.
Maksud Lai ialah dengan meningkatkan kesiapan berperang, antara lain, dengan menyiapkan persenjataan dan logistik yang baik, serta menggerakkan masyarakat, justru bisa menjadi faktor penggentar bagi Beijing untuk tidak menyerang.
Taiwan pekan lalu meluncurkan kapal selam militer buatan dalam negeri yang diberi nama ”Hai Kun”. Mereka memang mengembangkan strategi perang asimetris, yaitu berinvestasi pada senjata-senjata yang mudah digerakkan guna menghadang manuver Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA).
Saingan terberat Lai, Ho Yu-ih dari KMT, berbicara di Kamar Dagang Amerika Serikat di Taipei (AmCham). Ia menekankan pentingnya Taiwan menggunakan segala cara untuk menghindari perang dengan China. ”Hanya dengan itu perekonomian Taiwan bisa tumbuh, investor mau datang, dan masyarakat bisa hidup sejahtera,” ujarnya.
Hou berjanji, apabila memenangi pilpres, ia akan terus menjaga status quo antara Taiwan dan China. Ini adalah bagian dari Prinsip Satu China yang menyebut Taiwan adalah provinsi otonom di bawah Beijing. Sementara Taiwan memiliki pemerintahan sendiri yang tidak ditentukan oleh Beijing, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
”Kita harus membangun dialog dengan Beijing dan Washington untuk memastikan kestabilan di Indo-Pasifik,” tutur Hou.
Selat Taiwan, yang memisahkan China dan Taiwan, adalah perairan tersibuk di dunia. Sebanyak 50 persen logistik ekspor dan impor global melalui selat itu. Taiwan menuduh China terus melanggar garis median yang mengakibatkan intrusi kapal militer dan pesawat militer China ke wilayah Taiwan.
Akan tetapi, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning dalam jumpa pers, September 2023, mengatakan bahwa garis median antara China dan Taiwan tidak ada. Hal ini karena China selalu menganggap Taiwan sebagai bagian dari mereka dan tidak melihat tindakan PLA sebagai intrusi.
Zona abu-abu
Dalam konteks konflik Taiwan-China, Selat Taiwan masuk zona abu-abu. Menurut pengertian yang dikembangkan oleh Komando Operasi Khusus AS, zona abu-abu adalah wilayah dengan kegiatan persaingan politik, ekonomi, informasi, dan militer dalam jumlah dan frekuensi lebih besar dibandingkan hubungan diplomatik normal. Salah mengambil tindakan, sedikit maupun kecil sekalipun, di zona abu-abu, bisa terpantik konflik terbuka.
Selain Selat Taiwan, wilayah Laut China Selatan juga masuk dalam definisi tersebut.
Dua peneliti Universitas Carnegie Mellon, AS, Charity Jacobs dan Kathleen Carley, menulis dalam jurnal Small Wars yang terbit pada Februari 2022. Isinya ialah mengenai strategi perang China di zona abu-abu ini, terutama di Selat Taiwan. Mereka membagi strategi perang China menjadi tiga, yakni perang psikologis, perang informasi, dan perang fisik.
Perang psikologis dijalankan dengan peningkatan kehadiran di zona abu-abu untuk menggoyang psikis pihak lain atau pihak yang dianggap memiliki konflik kepentingan dengan Beijing atas kepemilikan zona tersebut. Perang informasi lebih terstruktur.
Menurut Jacobs dan Carley, metode perang informasi menggunakan media arus utama dan media sosial untuk menyebarkan informasi yang bisa membuat masyarakat global condong berpihak kepada agenda Beijing. Peran diaspora dan organisasi-organisasi masyarakat dalam takaran tertentu juga bisa dimanfaatkan dalam menguatkan perang informasi ini karena membantu membangun opini publik.
Ketegangan kedua pihak ini berimbas kepada masyarakat sipil Taiwan yang bepergian ke China. Biro Keamanan Nasional Taiwan melaporkan, ada 13 warga Taiwan yang sempat ditahan ketika memasuki China atas alasan keamanan. Aparat penegak hukum di China menerapkan pemeriksaan menyeluruh, termasuk isi gawai elektronik dan unggahan di media sosial, kepada mereka. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menorek, apakah mereka menjelek-jelekkan Partai Komunis China maupun tokoh-tokoh politiknya.
Warga Taiwan mengeluhkan tindakan tersebut. Mereka pun khawatir untuk bepergian ke China. Padahal, ada banyak warga Taiwan yang menjalankan bisnis di China maupun yang menikah dengan penduduk China.
Berdasarkan survei tahunan Universitas Nasional Cheng Chi (NCCU) Taiwan, per Juli 2023, masyarakat lebih banyak memilih agar status quo dipertahankan selamanya. Sebanyak 32,1 persen responden mengatakan demikian; 28,6 persen memilih meneruskan status quo dan memikirkan perubahan status di kemudian hari yang belum diketahui; dan 21,4 memilih merdeka.