Menjaga Keterbukaan Komunikasi tentang Kapal Selam AUKUS
Indonesia menghargai kedaulatan negara-negara anggota pakta AUKUS selama ada komunikasi terbuka dan pengelolaan mengenai teknologi nuklir ketat.
Transparansi pengadaan, pemakaian, dan perawatan teknologi nuklir terus diadvokasikan oleh Indonesia kepada negara-negara sahabat yang memiliki ataupun membeli teknologi nuklir. Salah satu negara yang terus berkoordinasi dengan Indonesia adalah Australia.
Hal ini terkait dengan pakta pertahanan trilateral antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat atau AUKUS. Di dalam pakta tersebut, antara lain, tercakup penjualan kapal selam bertenaga nuklir kepada Australia. Kapal-kapal selam nuklir Australia kelak akan bisa berlayar di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
”Indonesia memiliki ZEE terbesar di dunia. Kita harus memastikan keamanannya, tidak hanya dari segi pertahanan, tetapi juga dari segi ekonomi kerakyatan,” kata Duta Besar Indonesia untuk Australia dan Vanuatu Siswo Pramono dalam wawancara khusus secara daring dengan Kompas, Kamis (28/12/2023).
Baca juga: Geo-ekonomi dan Revitalisasi Kepemimpinan Indonesia
Ia menjabarkan, Indonesia menghormati kedaulatan negara-negara anggota AUKUS dan kemerdekaan mereka untuk membentuk pakta pertahanan. Meski demikian, Indonesia mengingatkan kembali agar jangan sampai terjadi perlombaan senjata. Selain itu, negara-negara AUKUS tersebut juga telah menandatangani Traktat Persahabatan dan Kerja Sama Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (TAC ASEAN).
Pada 23 Desember 2023, setelah mendapat persetujuan Kongres, Presiden AS Joe Biden menandatangani Undang-Undang Otoritas Pertahanan Nasional. Di dalamnya disebut soal pengiriman tiga kapal selam kelas Virginia ke Australia sebagai bagian dari pakta AUKUS.
Ini untuk pertama kali dalam sejarah AS, negara itu menyetujui penjualan kapal selam bertenaga nuklir ke negara lain. Bagi Australia, pembelian tiga kapal selam nuklir itu merupakan tahap awal sebelum mereka—dengan bantuan AS dan Inggris—membuat kapal selam nuklir di negeri sendiri. Untuk proyek tersebut, Canberra telah menganggarkan dana 244 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.755 triliun.
Baca juga: AS Setujui Penjualan Kapal Selam ke Australia, AUKUS Makin Kuat
Proses pengiriman tiga kapal selama nuklir AS ke Australia diperkirakan memakan waktu satu dasawarsa ke depan. Adapun produksinya di Australia diperkirakan dimulai awal tahun 2040-an. Kapal selam nuklir ini akan dinamai SSN-AUKUS. Proses pembuatannya ialah setiap dua tahun selama periode 2040-2050. Targetnya, per tahun 2060, Australia bisa membuat kapal selam bertenaga nuklir di dalam negeri.
Untuk pertama kali dalam sejarah AS, negara itu menyetujui penjualan kapal selam bertenaga nuklir ke negara lain.
Kapal selam nuklir kelas Virginia memiliki panjang hampir dua kali lipat dan bisa mengangkut 132 kru ketimbang kapal selam bertenaga diesel kelas Collins milik Australia (kapasitas 48 kru), yang akan dipensiunkan. Meski tak dilengkapi senjata atom, kapal selam nuklir bisa membawa rudal-rudal jelajah jarak jauh.
Menurut laporan ABC News, 14 Maret 2023, sejak tahun 2027 akan ada empat kapal selam AS dan satu kapal selam Inggris berlayar di perairan Australia. ”Kami berjanji tak akan melanggar perjanjian non-proliferasi. Justru, bergabungnya Australia ke AUKUS ini demi menjaga perdamaian dan kestabilan di Indo-Pasifik,” kata Perdana Menteri Australia Anthony Albanese.
Perlu jaminan
Persoalan utama yang harus dipantau semua pihak ialah mengenai jaminan keamanan transfer teknologi nuklir. Australia, sama seperti Indonesia, bukan negara yang memiliki persenjataan nuklir. Kedua negara juga tergabung di dalam penandatanganan perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT).
Pemerintah Australia ketika mengumumkan kesepakatan AUKUS tahun 2022 menjelaskan bahwa kapal selam bertenaga nuklir ini tidak akan membawa persenjataan nuklir atau persenjataan pemusnah massal. Pemilihan tenaga nuklir karena energi ini terbarukan dan jika dikelola dengan benar, ramah lingkungan.
Baca juga: Politik Luar Negeri Indonesia, Potensi Besar Belum Tergarap Maksimal
Jejak karbonnya juga tidak sebesar kendaraan berbahan bakar minyak. Kapal selam ini juga tak perlu dibuka bagian sumber energi nuklirnya jika hendak diganti atau diperbaiki sehingga cocok untuk komitmen non-proliferasi Australia.
”Meskipun begitu, kita harus melihat ini sebagai preseden. Bukan cuma AUKUS, ini membuka pintu bagi negara berteknologi nuklir untuk berbagi teknologi dan mengirim peralatan nuklir tersebut ke negara yang tidak memiliki nuklir untuk kepentingan militer,” ujar Siswo.
Ada lima negara yang memiliki senjata nuklir, yaitu AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan China, yang diakui secara resmi serta menandatangani komitmen non-proliferasi.
Sementara itu, India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara mengembangkan persenjataan nuklir tanpa menandatangani non-proliferasi. Adapun Iran dicurigai mengembangkan persenjataan nuklir. Tuduhan ini disangkal oleh Teheran yang mengatakan teknologi nuklir mereka untuk sumber energi.
Kotak pandora
Siswo menjelaskan, keberadaan AUKUS bisa menjadi kotak pandora jika tak dikelola dengan benar. Oleh sebab itu, butuh kode etik yang ketat dan transparan. Indonesia dan Australia bekerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) agar segala aturan mengenai pemanfaatan teknologi nuklir dipatuhi hingga rincian terkecil.
Baca juga: ”Wajah Baru” Pendekatan Diplomasi Australia
Selain itu, juga ada penekanan kepada berbagai peraturan internasional yang diterapkan secara berdampingan. Misalnya, tata laksana IAEA disandingkan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS) agar secara spesifik mengatur pergerakan kapal selam ataupun wahana bahari yang menggunakan kekuatan nuklir.
”Konteksnya adalah perlindungan terhadap lingkungan dan ekonomi Indonesia, ini ke depan bisa dipraktikkan di perairan-perairan internasional yang dilalui kendaraan bertenaga nuklir,” kata Siswo.
Siswo menerangkan mengenai risiko ekonomi terhadap produk bahari Indonesia. Contohnya bisa dilihat dari peristiwa gempa dan tsunami di Jepang tahun 2011 yang mengakibatkan kerusakan pada pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima. Ketika itu, IAEA dan berbagai badan penelitian mengatakan bahwa kerusakan PLTN tidak berpengaruh pada kondisi keamanan laut, dan boga bahari Jepang tetap aman dikonsumsi.
Namun, berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh AgEcon Search pada 2014, sebanyak 63 persen masyarakat AS tidak mau mengonsumsi ikan dari Jepang dengan alasan ragu. Ini menandakan bahwa selera pasar dikendalikan oleh emosi, bukan berdasarkan kepercayaan publik terhadap bukti-bukti ilmiah dan tanggung jawab pemerintah mengelola kerusakan.
Laman Nippon.com memantau produksi ikan Jepang 40.000 ton pada 2010. Produksi ini terus menurun selama tujuh tahun. Per tahun 2018, Jepang hanya memproduksi 5.000 ton ikan saking sedikitnya pihak yang mau membeli produk bahari mereka.
”Bayangkan dampaknya kepada Indonesia. Kita produsen ikan terbesar kelima di dunia. Kalau-kalau kendaraan bertenaga nuklir itu rusak atau kecelakaan di perairan kita, siapa yang akan bertanggung jawab? Apa akan ada ganti rugi dari negara yang mengoperasikan atau negara yang menciptakan kapal-kapal itu atas potensi kerugian ekonomi kita?” kata Siswo. Konteks ini harus dipahami di dalam kerja sama apa pun yang melibatkan teknologi nuklir.
Baca juga: China Peringatkan AS soal ”Konten Negatif” di UU Kebijakan Pertahanan
Menurut dia, Australia sangat terbuka membahas ini bersama Indonesia. Mereka banyak menerima masukan dari Jakarta. Politik luar negeri Australia saat ini mengedepankan keaktifan di kawasan Indo-Pasifik guna menjaga keterbukaan hubungan dengan negara-negara tetangga.