Solidaritas atas Derita Warga Gaza, Tak Ada Perayaan Natal di Bethlehem
Natal kurang dari delapan hari lagi. Perang antara Hamas dan Israel masih berlangsung di Gaza. Tidak akan ada kemeriahan perayaan Natal di Bethlehem.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·5 menit baca
Perayaan Natal tahun ini bakal menjadi perayaan yang berbeda bagi warga Bethlehem, wilayah pendudukan Tepi Barat, dan bagi para turis dari penjuru dunia. Tidak ada lampu terang warna-warni yang meriah. Tidak pula ada pohon natal yang menjulang di Lapangan Manger, tepat di depan Gereja Nativity atau gereja yang diyakini tempat kelahiran Yesus Kristus.
Perang antara Hamas dan Israel yang meletus sejak 7 Oktober 2023 mendorong pemimpin kota membuat keputusan: tidak ada perayaan Natal di Bethlehem.
”Perekonomian memang sedang memburuk. Namun, jika kita membandingkannya dengan apa yang tengah terjadi pada rakyat kami dan di Gaza, hal itu tidak ada apa-apanya,” ujar Wali Kota Bethlehem Hana Haniyeh.
Sejak meletus hampir 2,5 bulan lalu, perang Hamas-Israel telah menewaskan 18.700 warga Palestina dan melukai 50.000 warga Palestina di Jalur Gaza dan sekitar 85 persen dari 2,3 juta jiwa penduduk Gaza mengungsi.
Lembaga Patriak Latin Jerusalem melalui pernyataan tertulis, Sabtu (16/12/2023), mengabarkan, seorang perempuan Kristen dan putrinya tewas ditembak tentara Israel di halaman gereja Katolik di kota Gaza. ”Sekitar siang hari (Sabtu, 16/12/2023) ini, seorang penembak runduk membunuh dua perempuan Kristen di dalam (gereja) Holy Family tempat keluarga-keluarga Kristen berlindung sejak perang Hamas-Israel meletus.”
Menurut kantor berita Vatican, mengutip Pierbattista Pizzaballa, Patriak Latin di Jerusalem, korban adalah perempuan lanjut usia dan anak perempuannya. Tak ada peringatan sebelum tembakan dilepaskan.
Di sisi Israel, sekitar 1.200 orang yang sebagian besar warga sipil tewas. Kemudian sekitar 240 orang disandera Hamas, sebagian di antaranya sudah dibebaskan dalam jeda pertempuran pada akhir November 2023.
Sejak 7 Oktober 2023, akses ke Bethlehem dan kota-kota Palestina di Tepi Barat semakin sulit. Kendaraan harus mengantre panjang saat hendak melewati pos pemeriksaan militer Israel.
Para pemimpin kota mengkhawatirkan dampak penutupan terhadap perekonomian Palestina di Tepi Barat. Sektor pariwisata yang menopang perekonomian kota-kota di Tepi Barat menurun drastis sejak perang meletus, termasuk di Bethlehem.
Kementerian Pariwisata Palestina pada Rabu (13/12/2023) mengatakan, perang membuat sektor pariwisata merugi 2,5 juta dollar AS per hari. Jika diakumulasi hingga akhir tahun, kerugian bisa mencapai 200 juta dollar AS.
Keputusan untuk tidak menyelenggarakan perayaan Natal tahun ini membuat Bethlehem semakin tidak berdaya. Sebelum perang, setiap tahun kemeriahan perayaan Natal di Bethlehem selalu menarik perhatian ribuan pengunjung dari berbagai penjuru dunia untuk datang.
Perayaan Natal tahunan yang digelar sejumlah denominasi, seperti Armenia, Katolik, dan Ortodoks, selalu memberikan keuntungan besar pada perekonomian kota. Sektor pariwisata menyumbang 70 persen dari pendapatan tahunan kota.
Saya menghabiskan hari-hari dengan minum teh dan kopi sambil menunggu pelanggan yang tak pernah datang. Tidak ada pariwisata hari ini.
Sami Thaljieh, Manajer Hotel Sancta Maria, mengatakan bahwa perang membuat jalanan di Bethlehem sepi. Sebagian besar maskapai penerbangan membatalkan penerbangan ke Israel. Lebih dari 70 hotel di Bethlehem ditutup dan membuat 6.000 tenaga kerja sektor pariwisata menganggur.
”Saya menghabiskan hari-hari dengan minum teh dan kopi sambil menunggu pelanggan yang tak pernah datang. Tidak ada pariwisata hari ini,” kata Ahmed Danna, pemilik toko di Bethlehem.
Kendati tidak ada kemeriahan perayaan Natal, menurut Haniyeh, ibadah Natal tetap berlangsung, termasuk pertemuan tradisional para pemimpin gereja dan misa tengah malam.
”Bethlehem merupakan bagian penting dari komunitas Palestina. Pada misa tengah malam tahun ini, kami akan berdoa untuk perdamaian. Pesan perdamaian yang juga merupakan pesan yang dibawa Yesus Kristus saat kelahirannya,” katanya.
Pesan perdamaian juga akan disebarkan anggota Pramuka Palestina. George Carlos Canawati, jurnalis dan pemimpin Pramuka Palestina, mengungkapkan bahwa mereka akan menggelar pawai dalam diam melintasi kota untuk mengungkapkan duka bagi mereka yang tewas di Gaza.
”Kami menerima pesan Natal dengan menolak ketidakadilan dan agresi. Kami berdoa agar perdamaian datang di tanah damai,” kata Canawati.
Natal yang senyap
Tahun ini Natal yang senyap bakal dirasakan oleh 182.000 warga umat Kristen di Israel, 50.000 warga Kristen di Tepi Barat dan Jerusalem, serta 1.300 orang di Gaza. Tidak ada perayaan Natal di wilayah itu. Pemimpin gereja besar di Jerusalem pada November 2023 sudah mengumumkan tidak ada perayaan Natal.
Dalam pernyataan bersama, para pemimpin agama mengatakan, ”Kami menyerukan kepada jemaat kami untuk berdiri teguh bersama mereka yang tengah menghadapi penderitaan dengan tidak menyelenggarakan kegiatan perayaan yang tidak perlu tahun ini.”
Ternyata, pesan itu juga menggaung hingga ribuan mil jauhnya dari Jerusalem. Warga Kristen keturunan Palestina di Amerika Serikat. Huwaida Arraf, seperti dikutip Al Jazeera, 13 Desember 2023, mengungkapkan, dirinya setiap tahun mendekorasi rumahnya di Detroit, Michigan, dengan dekorasi Natal meriah. Tetapi, tahun ini ia tidak melakukannya.
Sebagai gantinya, Arraf menggantung tanda di halaman rumahnya bertuliskan, ”Bethlehem membatalkan (perayaan) Natal karena Israel membantai warga Palestina #GazaGenocide”.
Arraf, seperti juga banyak warga keturunan Palestina di AS, memilih tidak merayakan Natal. Mereka berpikir, tindakan itu menjadi upaya solidaritas kepada warga Palestina yang banyak terbunuh dalam perang Hamas-Israel.
”Tidak ada kegembiraan, tidak ada perayaan. Bagaimana kami bisa merayakan (Natal) di saat banyak anggota keluarga, teman, dan saudara sebangsa menderita akibat genosida,” ujar Nabil Khoury dari Michigan selatan.
Ia pun menambahkan, ”Tidak ada pohon natal, tidak ada pertemuan besar tahun ini. Semua senyap.”
Arraf juga mengungkapkan, ”Bagaimana dunia bisa merayakan Natal dan merayakan kelahiran Sang Pembawa Damai ketika di tanah airnya, di tempat ia dilahirkan, terjadi kejahatan keji terhadap kemanusiaan dan tidak ada tindakan untuk menghentikan?”
Mengutip perkataan putrinya, Mayaar, yang berusia sembilan tahun, ia pun menegaskan, ”Damai di bumi berarti damai di Palestina.” (AP)