Di Bethlehem ”Tangis Bayi Yesus” Datang dari Puing-puing Perang
”Jika Kristus dilahirkan hari ini, dia lahir di bawah reruntuhan dan tembakan Israel,” kata Imam Gereja Lutheran, Bethlehem, Munther Isaac. Seperti anak Palestina saat ini, Yesus pun lahir sebagai anak bangsa terjajah.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
Pada Natal 2023 ini, Gereja Lutheran di Bethlehem, kota kelahiran Yesus itu, memutuskan dekorasi Natal kali ini dibuat mirip dengan reruntuhan bangunan di Gaza yang hancur oleh bom-bom Israel. Dekorasi ini merupakan pesan dan protes terhadap perang sekaligus simpati untuk nasib anak-anak Palestina, terutama untuk mereka yang tinggal di Gaza.
”Jika Kristus dilahirkan hari ini, dia akan lahir di bawah reruntuhan dan penembakan Israel,” kata Imam Gereja Lutheran di Bethlehem, Munther Isaac. Di hadapannya, patung bayi Yesus merana di puing-puing perang.
Seperti anak-anak Palestina sekarang, Yesus pun lahir sebagai anak-anak dari bangsa yang terjajah.
Hingga Minggu (10/12/2023) ini, diperkirakan lebih dari 7.000 anak-anak tewas di Gaza dan puluhan ribu anak lainnya terluka karena serangan bom Israel. Jumlah korban anak-anak ini adalah bagian dari total korban tewas di Gaza yang berdasarkan data Otoritas Palestina sudah melampaui 17.700 orang tewas dan sekitar 46.000 lainnya luka.
Bayi Yesus di reruntuhan itu mengingatkan akan pemandangan banyaknya anak-anak Palestina yang ditemukan di bawah puing-puing bangunan selama perang Israel-Hamas berlangsung.
”Betlehem sedih dan hancur. Kami semua kesakitan atas apa yang terjadi di Gaza, merasa tidak berdaya dan kewalahan karena ketidakmampuan kami memberikan apa pun,” kata Isaac seperti dikutip Al-Jazeera, Kamis (7/12/2023).
Bagi Isaac, dekorasi ini adalah cara mereka merefleksikan kelahiran Kristus yang membawa pesan perdamaian. Seperti anak-anak Palestina sekarang, Yesus pun lahir sebagai anak-anak dari bangsa yang terjajah. Menurut Injil, Yesus yang lahir 2.000 tahun lalu itu ditidurkan di sebuah palungan atau tempat pakan ternak.
Ia lahir dalam kondisi serba kekurangan. Tak ada tempat layak untuk keluarganya, juga untuk ibunya Maria yang kala itu hamil besar. Mereka kehabisan tempat menginap karena ribuan orang mudik setelah Kaisar Agustus, penguasa Roma, yang saat itu menjajah wilayah Yudea dan sekitarnya, memerintahkan setiap orang harus pulang ke kota kelahirannya agar namanya terdaftar dalam buku kependudukan. Wilayah Yudea saat ini ada di sekitar Betlehem, kurang lebih di timur Gaza.
Dua pekan sebelumnya, Isaac menyampaikan surat dari gereja-gereja di Bethlehem kepada Pemerintah AS di Washington, DC. Surat tersebut mendesak Presiden AS Biden, Kongres AS, dan para pemimpin gereja AS untuk menerapkan pesan Kristus dalam menolak ketidakadilan dan menyerukan diakhirinya genosida di Gaza.
”Beberapa orang di Barat melupakan keberadaan umat Kristen Palestina. Perang ini berdampak pada seluruh warga Palestina, baik Muslim maupun Kristen. Tanggung jawab kita sekarang adalah mengangkat suara kita sebagai sebuah bangsa untuk menghentikan perang ini,” kata Isaac.
Kepala Sekolah Lutheran Dar Al-Kalima, Anton Nassar, mengatakan, doa terus dipanjatkan agar genosida di Gaza segera dihentikan dan rakyat Gaza dapat menikmati perdamaian yang dibangun atas dasar keadilan. Sementara salah seorang jemaat gereja, Um Bishara, menangis saat melihat dekorasi Yesus di puing-puing perang itu. Ibu empat anak itu tersentuh dan mendedikasikan doanya untuk anak-anak Gaza agar mereka menemukan kedamaian dan keselamatan.
Perayaan Natal batal
Seluruh perayaan Natal batal di Tepi Barat, Palestina, tahun ini. Pembatalan ini sebagai bentuk solidaritas terhadap Gaza. Di Betlehem, dalam pernyataan pada November lalu, Wali Kota Bethlehem Hanna Hananiyah mengatakan, Pemerintah Kota Bethlehem dan pemimpin gereja-gereja di kota tersebut memutuskan membatalkan perayaan Natal dan menggantinya dengan kegiatan solidaritas terhadap warga Palestina di Gaza.
Selama ini, Bethlehem sebagai kota kelahiran Yesus, selalu menjadi tuan rumah perayaan Natal yang meriah. Bahkan, meskipun sepi, kota itu tetap merayakan Natal selama pandemi Covid.
Di Ramallah, Pusat Administrasi Tepi Barat, Pemerintah Kota dan Dewan Gereja setempat juga mengeluarkan pernyataan berisi pembatalan perayaan Natal tahun ini. Perayaan Natal tahunan di Ramallah biasanya termasuk yang paling banyak dihadiri di Palestina. Salah satunya termasuk upacara penyalaan pohon natal.
Dalam pernyataan bersama, Para Uskup Gereja-gereja Kristen di Jerusalem juga meminta semua paroki Kristen untuk membatasi perayaan Natal dan mengumpulkan sumbangan untuk para korban perang Israel. ”Kita sedang tidak hidup di masa normal. Sejak awal perang di Gaza, ribuan orang tak berdosa telah kehilangan nyawa mereka dan lebih banyak lagi yang terluka, sementara orang-orang hidup dalam penderitaan karena nasib mereka yang masih belum diketahui,” kata pernyataan bersama itu.
Di Nazareth, kota kampung halaman Yesus, Uskup Ortodoks Galilea, Pastor Yousef Matta, mengatakan kepada surat kabar lokal Al-Sunnarah bahwa para pemimpin Gereja memberikan instruksi kepada semua paroki di seluruh negeri, mengikuti pernyataan bersama yang meminta untuk membatalkan perayaan. Pernyataan tersebut juga mendorong para imam untuk berkonsentrasi pada makna spiritual Natal dan mendedikasikan semua perhatian untuk warga Gaza.
Natal tahun ini akan menjadi Natal yang betul-betul suram di Bethlehem. Tidak akan ada pohon natal, tak ada keriuhan lagu pujian, tak ada kelap-kelip lampu yang biasanya memeriahkan kota itu. Meskipun demikian, Natal tahun ini justru menjadi ruang untuk menyatakan pesan utama kelahiran Yesus, yaitu berbela rasa, solider pada yang papa, dan mewujudkan keadilan untuk mereka. (REUTERS)