Perayaan Natal tahun ini digelayuti awan perang dan krisis iklim. Barangkali bukan saatnya untuk berhura-hura belaka.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·2 menit baca
Di bawah bayang-bayang perang di Gaza, kota Bethlehem tempat kelahiran Yesus tidak akan memasang pohon Natal. Di New York, pengunjuk rasa menyuarakan keprihatinan akibat perang saat upacara penyalaan (lampu) pohon Natal. Sementara di Eropa, pohon Natal terancam langka sebagai dampak perubahan iklim.
Dari tahun ke tahun, kota Bethlehem di Tepi Barat turut terdampak konflik Palestina-Israel. Namun, dampak itu terasa lebih berat tahun ini di kota yang bertetangga dengan Jerusalem itu. Pada awal Desember ini para pemimpin gereja berkumpul untuk memulai masa Adven menjelang Natal.
Biasanya acara itu penuh dengan kemeriahan yang menarik banyak pengunjung. Tahun ini, jalanan dan alun-alun di Bethlehem tampak sepi dan suram di bawah matahari musim dingin yang kering. “Kami belum pernah melihat Bethlehem seperti ini, pun tidak saat pandemi Covid-19. Kota ini kosong, sedih,” ujar pastor Ibrahim Faltas kepada kantor berita Reuters, Sabtu (2/12/2023) di depan Gereja Kelahiran.
Untuk pertama kalinya dalam ingatan warga, tidak ada pohon Natal di Alun-alun Kelahiran, tempat gereja tersebut mempersiapkan perayaan Natal. Tidak banyak lampu-lampu hias dan keramaian. Terlalu menyakitkan untuk bersenang-senang di tempat yang hanya berjarak 50 kilometer dari pusat perang di Jalur Gaza.
Di kawasan Manhattan, New York, Amerika Serikat, pada akhir November ratusan orang berkumpul tak jauh dari kemeriahan tradisi penyalaan pohon Natal di Rockefeller Center. Mereka menyuarakan dukungan bagi warga Palestina di tengah konflik Israel-Hamas.
Tradisi penyalaan pohon Natal di Rockefeller Center berlangsung setiap tahun sejak 1933. Biasanya pohon yang digunakan adalah cemara Norwegia setinggi 21-30 meter. Ramai orang datang untuk menyaksikannya.
Tahun ini, memanfaatkan momen tersebut, ratusan orang mengungkapkan solidaritas kepada warga Palestina yang dilanda konflik, sekaligus mengkritik peran Pemerintah AS dalam konflik tersebut. “Cara yang lebih baik adalah dengan datang ke penyalaan pohon Natal dan memanfaatkannya untuk menyatakan kepada warga New York kita menentang genosida,” kata Nerdeen Kiswani, yang mengorganisasi unjuk rasa kepada The Guardian.
Krisis iklim
Tak hanya konflik, momen Natal tahun ini pun berlangsung di bawah bayang-bayang dampak perubahan iklim yang semakin parah. Sebagai gambaran, di sebuah desa kecil di Hongaria, penduduk khawatir mata pencaharian mereka terancam karena hutan pinus menyusut. Desa Surd selama beberapa dekade menyuplai pohon Natal bagi sebagian besar wilayah Hongaria.
Pinus tidak asli dari Hongaria, tetapi telah ditanam di negara itu sejak awal abad ke-20. Di dekat perbatasan dengan Kroasia, warga menanam hingga 2 juta pohon pinus. Kini hutan pinus terdampak pemanasan global, tak hanya karena kerapnya kekeringan tetapi juga serangan hama akibat suhu menghangat.
Menggunakan pohon Natal asli atau plastik menjadi dilema yang tak kunjung usai. Melansir artikel di laman Politico, berdasarkan data Carbon Trust, pohon Natal asli memiliki jejak karbon yang relatif lebih rendah dibandingkan yang plastik. Lembaga itu menghitung, pohon asli setinggi 2 meter yang dibuang ke tempat pembuangan sampah menghasilkan 16 kilogram karbon dioksida. Sementara pohon Natal plastik dengan tinggi yang sama menghasilkan 40 kg karbon dioksida dalam proses pembuatannya.
Di tengah dua isu besar yang mencengkeram dunia saat ini, yakni perang dan krisis iklim, momen Natal tahun ini barangkali tepat untuk tidak sekadar menjadikannya perayaan hura-hura. Tanpa pohon, lampu-lampu, atau keramaian lainnya, Natal tetap bermakna.