Rohingya, Narasi Penolakan, dan Tanggung Jawab RI-ASEAN
Kehidupan warga Rohingya terjepit. Lari dari kamp pengungsi di Bangladesh ditolak di Indonesia karena narasi menyesatkan.
Pengungsi Rohingya berhadapan dengan banyak persoalan dari berbagai sisi sekaligus. Indonesia dan ASEAN didesak meracik formula yang tepat untuk memberikan jaminan bagi mereka agar tidak terperosok dalam lingkaran kekerasan dan kejahatan perdagangan manusia.
Penolakan dari sejumlah warga di Aceh terhadap kedatangan pengungsi Rohingya beberapa waktu belakangan ini menjadi tanda tanya banyak pihak. Sejak kedatangan mereka pertama kali di Sabang tahun 2009, kemudian di Idi Rayeuk tahun 2010 hingga 2019, tidak pernah ada penolakan.
Sekarang situasinya berubah. Para pengamat menduga hal itu dipicu informasi menyesatkan mengenai pengungsi Rohingya yang tersebar di media sosial. Para pendengung (buzzer) mengamplifikasi penolakan itu. Media juga tak jarang meliput tanpa memberi konteks tentang situasi yang dihadapi para pengungsi.
Baca juga : Pengungsi Rohingya di Antara Kewajiban Kemanusiaan dan Hukum
Dalam diskusi oleh Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Senin (11/12/2023), pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Fitria, mengatakan, gejala ini mulai terdeteksi ketika tiga nelayan Aceh dijatuhi hukuman karena membantu pendaratan warga Rohingya di salah satu kabupaten di Aceh. Menurut dia, sebagai daerah yang kental dengan nuansa Islami, memuliakan tamu sudah menjadi karakter masyarakat Aceh.Adelina Kamal, mantan Direktur ASEAN Coordinating Center for Humanitarian Assistance (AHA Center), dalam diskusi pada Rabu (13/12/2023), mengatakan, situasi ini ironi bagi kemanusiaan. ”Kita harus menanggulanginya bersama-sama,” katanya.
Mantan anggota Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR), Rafendi Djamin, menyayangkan penolakan terhadap warga Rohingnya karena disinformasi yang disebar ke publik. Meski Indonesia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi 1951, Indonesia menandatangani hampir seluruh konvensi HAM internasional.
Rafendi menyebut, dalam hukum internasional terkait pengungsi dikenal prinsip non-refoulment. Artinya, setiap negara harus memberikan jaminan bagi orang-orang yang mencari perlindungan internasional.
Dengan demikian, para pengungsi tak bisa ditolak begitu saja atau dikembalikan ke negara asalnya tanpa memperhatikan keselamatan jiwa mereka. Karena itu, dia menyatakan, negara wajib melaksanakan prinsip non-refoulment dalam kondisi apa pun.
Indonesia punya banyak inisiatif di tingkat regional dan global dalam penegakan HAM.
Peneliti Senior Pusat Riset Politik BRIN Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan, penolakan itu cermin kegagalan pemerintah menerapkan HAM. Menurut dia, Indonesia sudah memiliki kelengkapan instrumen untuk mengatur keberadaan para pengungsi.
Peraturan Presiden Nomor 215 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri sebagai landasan kerja penanganan pengungsi sudah cukup meski di tataran teknis perlu banyak perbaikan. ”Indonesia punya banyak inisiatif di tingkat regional dan global dalam penegakan HAM,” katanya.
Baca juga : Dilema Warga Aceh Hadapi Ribuan Pengungsi Rohingya Terus Berdatangan
Indonesia sebagai negara antara didesak menciptakan koordinasi yang baik antarlembaga. Kedua pengamat mengusulkan agar pemerintah pusat membantu pemerintah daerah untuk mendanai penanganan pengungsi. Level daerah tidak memiliki alokasi dana khusus penanganan pengungsi.
Di level regional, harus ada koordinasi antarpemerintah untuk pembagian beban kerja akibat kehadiran pengungsi di suatu negara. Rafendi mengusulkan agar AHA Center diperluas mandatnya. Selama ini organisasi itu bertugas memberikan bantuan kemanusiaan di negara anggota yang mengalami bencana. ”Tentu saja ini perlu konsensus politik di antara negara-negara ASEAN,” katanya.
Yang perlu dikerjakan bersama lebih serius adalah tindak pidana perdagangan orang. Hal terpenting adalah mempercepat penyelesaian konflik di Myanmar.
Baca juga : Tanda Mata dari Aceh untuk ASEAN
Mimpi buruk
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Bangladesh AK Abdul Momen saat wawancara pada 16 Juli 2023 di Jakarta menyebut, ada dugaan penyelundupan warga Rohingya dari kamp pengungsi Cox’z Bazaar. Mereka juga mengalami kekerasan.
Pemerintah Bangladesh memberi perhatian lebih serius pada masalah kekerasan dan potensi ekstremisme karena akhir-akhir ini semakin meningkat. Kekerasan geng telah mengubah kehidupan di Cox's Bazar menjadi mimpi buruk bagi lebih dari 1 juta warga Rohingya. Tanpa itu pun, kehidupan mereka sudah kelam.
Tak ada kepastian bagi mereka pulang ke negara asal, Myanmar, sedangkan Bangladesh menganggap mereka sebagai beban. Mereka juga rentan terhadap bencana karena kondisi kamp pengungsian kumuh.
Baca juga : Myanmar adalah Rumah Warga Rohingya
Kelompok-kelompok tertentu memanfaatkan rasa frustrasi dan ketidakberdayaan pengungsi Rohingya. Mereka direkrut menjadi bagian dari sindikat penyelundupan narkoba dan perdagangan manusia. Selain itu, mereka juga direkrut kelompok bersenjata yang tak hanya melawan junta militer Myanmar, tetapi juga mencari uang dengan menculik dan meminta tebusan.
Kekerasan tidak hanya berasal dari luar, tetapi juga antarpengungsi. Ini terjadi karena mereka tinggal berdesakan di kamp pengungsian tanpa fasilitas memadai.
Para pengungsi Rohingya pada dasarnya ingin pulang ke daerah asalnya di Negara Bagian Rakhine. Persoalannya, mereka berhadapan dengan konflik pascakudeta militer dan tidak diterima sebagai salah satu suku bangsa di Myanmar. Kini mereka tidak memiliki kewarganegaraan.
Itulah sebabnya muncul gelombang kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia dalam beberapa pekan terakhir. Mereka merasa muak karena menderita di kamp pengungsi sehingga mencoba mencari tempat baru untuk hidup lebih baik meski harus bertaruh nyawa.
Namun, ketibaan pengungsi Rohingya ke Aceh kali ini disikapi berbeda. Setelah terkatung-katung selama 1,5 bulan di lautan, 135 warga Rohingya yang tiba di Lamreh, Aceh Besar, tidak mendapat uluran tangan.
Salah satu warga Rohingya, Amin (27), tampak lelah, gelisah, dan bingung. Dalam waktu tak sampai dua hari, ia dan rombongannya sudah direlokasi lima kali dan belum ada kepastian tempat berlindung. Penolakan itu membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
”Kamp di Bangladesh tidak aman. Kami para pria harus berjaga setiap malam. Kami tidak bisa tidur,” katanya sambil menggendong kedua putrinya. Amin tidak tahu bagaimana nasib dia dan keluarganya di Indonesia. Dia berharap bisa mendapatkan perlindungan di Indonesia. (AP)