Pengungsi Rohingya di Antara Kewajiban Kemanusiaan dan Hukum
Kini saatnya Indonesia dan ASEAN bekerja sama dengan skala lebih luas mencari solusi jangka panjang masalah Rohingya.
”An open prison without end”. Penjara terbuka tanpa akhir. Begitulah situasi yang dialami warga Rohingya di tanah kelahirannya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Ini digambarkan dalam laporan Human Rights Working Group pada tahun 2020 (HRWW: 8/10/2020).
Menghadapi situasi seperti itu, sangatlah wajar jika mereka memilih pergi meninggalkan tempat tinggal asalnya untuk menyelamatkan diri dan mengadu nasib untuk memperbaiki hidup. Mereka pergi ke tempat lain karena sudah putus asa dengan situasi di tempat asalnya.
Lebih dari dua dekade terakhir, situasi warga Rohingya menjadi perhatian dan keprihatinan masyarakat internasional. Ratusan ribu warga Rohingya telah meninggalkan tempat asalnya di Myanmar untuk menyelamatkan diri dan mengungsi ke wilayah lain. Sebagian dari mereka berada di wilayah negara tetangga, seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Sebagian yang lain bahkan telah melintas ke negara lain di luar Asia.
Fenomena ini akan terus berlanjut pada hari-hari mendatang dan entah sampai kapan. Beberapa negara dan lembaga internasional telah berupaya membantu mencari solusi untuk memperbaiki situasi warga Rohingya. Namun, hingga kini belum ada titik terang bagaimana solusinya.
Dalam sejarah, banyak orang terpaksa pergi dari tempat asalnya dan mencari perlindungan di tempat lain. Hal ini merupakan bagian dari arus migrasi global kontemporer. Faktanya, selalu terjadi perubahan dalam hal sebab-musabab, motif, asal-usul, ataupun korban migrasi paksa (forced migration). Sebagian dari mereka berhasil meninggalkan negaranya dan sebagian tetap tertahan di wilayah negaranya.
Lebih dari dua dekade terakhir, situasi warga Rohingya menjadi perhatian dan keprihatinan masyarakat internasional.
Dua faktor utama yang mendorong migrasi paksa adalah terjadinya penindasan hak asasi (persekusi) dan cengkeraman kemiskinan. Warga Rohingya telah lama mengalami penindasan, termasuk hak-hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial. Karena penindasan itu, mereka terperangkap dalam cengkeraman kemiskinan, kekumuhan, keterbelakangan, dan keputusasaan.
Sejatinya, masalah mereka merupakan masalah kemanusiaan yang dapat terjadi di wilayah mana pun. Situasi makin rumit karena tak ada perlindungan dari otoritas nasional di negaranya. Inilah alasan utama mereka mengungsi.
Tanggung jawab Indonesia
Kehadiran warga Rohingya di wilayah Indonesia telah memicu kontroversi dan silang pendapat. Ada pendapat bahwa sebagai negara yang tidak ikut dalam Konvensi Pengungsi (Convention Relating to the Status of Refugees atau Refugees Convention) 1951; keberadaan mereka bukan menjadi urusan Indonesia. Apalagi sudah ada Undang-Undang Keimigrasian dan Peraturan Presiden tentang Penanganan Pengungsi.
Sebagai bangsa yang meyakini prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, Indonesia perlu menelaah persoalan Rohingya ini secara lebih cermat dan bijak.
Perlu diingat bahwa saat ini Undang-Undang Keimigrasian hanya mengatur tentang masuk dan keluarnya orang asing ke wilayah Indonesia dalam situasi yang normal. Adapun para pengungsi dan pencari suaka adalah orang yang berada dalam situasi yang tidak normal (extraordinary) karena mengalami penindasan dan penganiayaan serta tak memperoleh perlindungan.
Warga Aceh kewalahan hadapi kedatangan ribuan pengungsi Rohingya.
Secara normatif, hak untuk mendapatkan perlindungan atau suaka ditegaskan di dalam Konstitusi RI; UUD 1945, khususnya Pasal 28. Lebih lanjut, perlindungan terhadap pengungsi dan pencari suaka juga ditegaskan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti di dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (UU No 39/1999); Undang-Undang tentang Hubungan Luar Negeri (UU No 37/1999), dan Undang-Undang tentang Ekstradisi (UU No 1/1979).
Indonesia juga telah meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM terkait, seperti The Convention Against Torture (CAT); The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW); The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD); The United Nations Convention on the Rights of the Child; The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR); dan The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Meski demikian, hingga kini, belum ada aturan operasional yang komprehensif tentang pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.
Sebagai bagian bangsa yang beradab, Indonesia juga mengakui dan sudah lama melaksanakan prinsip non-refoulement (tidak mengembalikan atau mengirim pengungsi dan atau pencari suaka ke suatu wilayah di mana keselamatannya terancam). Prinsip ini diakui sebagai norma hukum internasional kebiasaan (customary international law).
Memang ada negara yang melanggar prinsip non-refoulement. Bahkan, melakukan intersepsi atau pengusiran terhadap para pengungsi dan pencari suaka yang sedang berada di lautan serta membutuhkan bantuan. Namun, kebijakan ini telah banyak dikecam masyarakat internasional karena dianggap sebagai praktik buruk (bad practice) yang membahayakan nyawa manusia, mengingkari kewajiban internasional, mengabaikan nilai kemanusiaan, dan melanggar HAM.
Indonesia telah lama bersama-sama dengan organisasi internasional yang relevan, termasuk UNHCR, membantu menangani dan menyelesaikan persoalan pengungsi dengan baik dan beradab.
Indonesia telah lama bersama-sama dengan organisasi internasional yang relevan, termasuk UNHCR, membantu menangani dan menyelesaikan persoalan pengungsi dengan baik dan beradab. Pada tahun 1970-an hingga 1980-an, ketika terjadi krisis di Indochina sebagai dampak perang Vietnam, Indonesia telah membantu menyelesaikan persoalan pengungsi yang berasal dari wilayah konflik tersebut.
Peran dan kontribusi Indonesia diakui dan mendapat apresiasi masyarakat internasional.
Sejatinya, tanggung jawab utama untuk mengelola dan mencari solusi bagi para pengungsi ada pada negara setempat (host state) sebagai pemilik kedaulatan dan yurisdiksi teritorial. Masyarakat internasional dapat membantu manakala negara yang bersangkutan tidak memiliki kapasitas yang diperlukan.
Organisasi internasional kemanusiaan dapat hadir dan membantu menyelesaikan masalah tersebut karena diminta atau adanya persetujuan (consent) dari negara setempat. Kehadiran organisasi internasional diizinkan dan sangat dibutuhkan karena belum ada institusi, regulasi, dan sumber daya yang diperlukan untuk mengelola dan menyelesaikan masalah pengungsi di wilayah tersebut.
Kerja sama regional
Terdapat beragam aspek terkait dengan migrasi paksa warga Rohingya ini. Pertama, dalam hal jumlah ataupun kompleksitas masalahnya. Kedua, pertimbangan keamanan (security), baik internal maupun eksternal. Negara penerima pengungsi mungkin harus menanggung risiko gangguan keamanan ini.
Ketiga, kehadiran pengungsi membawa dampak negatif bagi negara tuan rumah. Hal itu, antara lain, berupa beban logistik, akomodasi, dan sosial.
Keempat, sejauh ini telah terjadi pelemahan komitmen dan berkurangnya semangat untuk berbagi beban (burden sharing) masyarakat internasional dalam menangani persoalan pengungsi.
Ratusan imigran Rohingya mendarat di Pantai Desa Aron, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara, Aceh, Kamis (16/11/2023).
Kelima, adanya kebijakan pembatasan pengungsi oleh negara-negara maju. Beberapa negara yang secara tradisional menjadi tujuan permukiman (resettlement) bagi para pengungsi kini melakukan kebijakan yang sangat ketat untuk menerima pengungsi.
Keenam, permasalahan yang muncul karena adanya kekhawatiran terhadap orang asing atau xenophobia. Permasalahan ini timbul karena konteks pengungsi dan pencari suaka yang ada sekarang sering terkait kejahatan lintas negara (transnational organized crime). Sebagai contoh, terkait perdagangan manusia (human trafficking) dan penyelundupan orang (people smuggling).
Masalah ekonomi dan anggaran juga menjadi pertimbangan kebijakan negara terhadap pengungsi dan pencari suaka.
Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, kini saatnya Indonesia dan ASEAN bekerja sama dengan skala lebih luas untuk mencari solusi jangka panjang (durable solution) masalah Rohingya. Salah satu alternatif solusi adalah dengan memberdayakan pendekatan regional.
Pendekatan terdahulu dengan skema The Comprehensive Plan of Action for Indochinese Refugees, 1989-1997 (CPA) dapat menjadi rujukan. Konsep CPA merupakan program yang dipuji sebagai model pelembagaan solidaritas internasional dan pembagian beban dalam menyelesaikan masalah internasional.
CPA juga diakui sebagai pendekatan yang sukses dan dapat dijadikan model untuk menangani permasalahan pengungsi di suatu kawasan. Hal itu disebabkan di dalamnya terdapat kombinasi antara prinsip-prinsip kemanusiaan dan pragmatisme politik internasional.
Pengelolaan masalah Rohingya dengan pendekatan kerja sama regional akan lebih efektif.
Pendekatan regional layak dikemukakan karena kenyataannya proses pengungsian di suatu wilayah negara dan permasalahan yang menyertainya dapat memengaruhi keseimbangan situasi di wilayah negara-negara lain yang berdekatan.
Tampak jelas bahwa memang ada kepentingan negara-negara di kawasan untuk menangani permasalahan yang menjadi penyebab terjadinya pengungsian serta kebutuhan untuk bekerja bersama-sama. Pengelolaan masalah Rohingya dengan pendekatan kerja sama regional akan lebih efektif.
Keberhasilan pendekatan regional meniscayakan dukungan negara asal, negara tempat pengungsi berada, dan masyarakat internasional. Dalam pendekatan ini juga terdapat tantangan dan kesempatan untuk mewujudkan kombinasi antara implementasi hukum internasional, mandat kemanusiaan UNHCR, dan peran ASEAN sebagai organisasi regional yang sesungguhnya.
Baca juga: Menyikapi Gelombang Pengungsi Etnis Rohingya
Sigit RiyantoGuru Besar Hukum Internasional UGM