Tidak Ada Kabar Baik dari Palestina
Perundingan gencatan senjata Israel-Hamas macet. Pengungsi Gaza kelaparan. Perekonomian Palestina di ambang kebangkrutan.
Harapan akan adanya gencatan senjata di Gaza semakin jauh. Kelanjutan proses perundingan jeda kemanusiaan antara Israel dan kelompok Hamas tidak jelas.
Para diplomat yang sedang berdiskusi dalam konferensi tahunan Forum Doha di Qatar memperkirakan perundingan jeda kemanusiaan itu mungkin baru akan dibahas lagi beberapa minggu ke depan. Meski Amerika Serikat yakin dan percaya kesepakatan itu bisa tercapai sebelum Natal, pemerintahan Presiden Joe Biden tidak akan menekan Israel untuk mengakhiri operasi militernya di Gaza.
Baca juga : Siasat Pemimpin Hamas Menghindari Pelacakan Israel
Harian The Guardian, Senin (11/12/2023), menyebutkan, Hamas tidak akan melanjutkan perundingan pembebasan 137 sandera yang tersisa kecuali ada tawaran gencatan senjata pada akhir proses pertukaran tahanan. Israel tidak mau dan AS memvetonya di pertemuan Dewan Keamanan PBB, Jumat lalu.
Israel akan kesulitan menunda gencatan senjata jika ada faktor-faktor intervensi, seperti meningkatnya kekerasan di luar Gaza, kemungkinan besar di Lebanon. Faktor lain, jika gelombang pengungsi Palestina ke Mesir semakin besar dan tekanan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menguat untuk memprioritaskan pembebasan para sandera.
Pemungutan suara di Majelis Umum PBB mengenai gencatan senjata berdasarkan teks resolusi DK PBB yang diveto AS kemungkinan akan disahkan dengan selisih suara yang sama dengan pemungutan suara soal jeda kemanusiaan, Oktober lalu. Selisihnya 120 suara berbanding 14 suara dan ada 45 suara abstain. Resolusi-resolusi Majelis Umum PBB tidak bersifat mengikat, tetapi mempunyai bobot politik dan mencerminkan pandangan dunia.
Baca juga : AS Veto Gencatan Senjata di Gaza dan Jatuhkan Sanksi untuk Negara Lain
Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian memperingatkan eskalasi konflik lebih lanjut. Dia mendapatkan informasi dari Hamas bahwa mereka memiliki apa pun yang dibutuhkan untuk melawan Israel selama beberapa tahun.
Amirabdollahian menegaskan, Hamas adalah gerakan pembebasan nasional dan Iran mendukung perjuangan Hamas melawan Israel. Akan tetapi, baik Hamas maupun Hezbollah di Lebanon tidak berada di bawah kendali Iran.
”Gerakan perlawanan di kawasan ini independen dan tidak bergantung pada kami. Hamas dan Hezbollah Lebanon punya kekuatan untuk memproduksi dan membeli senjata. Ini keputusan mereka sendiri dan kami tidak ikut campur,” ujarnya. Pernyataan ini didukung AS yang menyatakan Iran tidak akan mengintervensi langsung dan tidak terlibat dalam perencanaan serangan Hamas, 7 Oktober lalu.
Sementara para petinggi berkutat dengan negosiasi dan diplomasi, situasi di Gaza semakin mengkhawatirkan. Sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza yang terusir dari rumah khawatir tidak bisa mendapatkan perlindungan atau makanan yang cukup di lokasi pengungsian yang kini padat.
Program Pangan Dunia PBB (WFP) memperkirakan separuh dari pengungsi Jalur Gaza kelaparan. Para pengungsi mengatakan, banyak yang sekarat karena kelaparan dan kedinginan. Banyak juga terjadi penjarahan truk bantuan yang masuk. Kalaupun ada barang-barang kebutuhan yang dijual kepada warga, harganya melambung tinggi.
Gerakan perlawanan di kawasan ini independen dan tidak bergantung pada kami. Hamas dan Hezbollah Lebanon punya kekuatan untuk memproduksi dan membeli senjata.
Otoritas Palestina menyatakan, untuk saat ini mereka tidak akan membahas bagaimana nasib pemerintahan di Gaza pascaperang. Pasalnya, pembicaraan seperti itu sangat bergantung pada kondisi Palestina ketika konflik usai. Negara-negara Teluk juga sudah menyatakan tidak siap terlibat dalam rekonstruksi Gaza kecuali AS menekan Israel agar memberikan peta jalan yang jelas menuju solusi dua negara.
Hidup susah
Bukan hanya urusan politik yang ruwet, persoalan ekonomi pun semakin membelit dan hidup rakyat Palestina kian rumit. Gara-gara perang di Gaza, perekonomian di Ramallah, ibu kota de facto Tepi Barat, suram. Ribuan usaha tutup. Pertokoan-pertokoan semakin rawan dijarah sehingga keamanan diperketat dengan menyewa penjaga keamanan yang lebih banyak. Krisis ekonomi yang terjadi saat ini dilaporkan lebih buruk ketimbang krisis yang disebabkan oleh kebijakan pembatasan kala pandemi Covid-19.
Situs The Economist, 7 Desember 2023, menyebutkan, sekitar 160.000 warga Palestina yang bekerja di Israel dan permukiman Yahudi di Tepi Barat dicabut izin kerjanya sejak 7 Oktober lalu. Puluhan ribu orang lainnya bekerja di Israel secara ilegal. Sebelum perang terjadi, gaji mereka menyumbang sekitar 370 juta dollar AS (Rp 5,8 triliun) per bulan untuk perekonomian Tepi Barat.
Baca juga : Komunitas Internasional Terus Tersandera soal Gaza
Karena tidak mengendalikan wilayah perbatasannya sendiri, Otoritas Palestina (PA) harus bergantung pada Israel untuk memungut pajak impor atas namanya dan ini menyumbang 64 persen dari pendapatannya. Ketika pecah perang Gaza, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich tidak mau mentransfer uang itu ke PA. Namun, kemudian Israel mengatakan akan menahan bagian yang dibayarkan oleh PA ke Gaza.
Meski Hamas menguasai Jalur Gaza sejak 2007, PA masih menanggung tagihan listrik Gaza ke Israel dan membayar gaji ribuan pekerja publik, termasuk mereka yang bekerja di Kementerian Kesehatan dan pasukan keamanan resmi Palestina. Menteri Keuangan PA Shoukri Bishara dengan marah menolak semua uang itu karena menurut dia, jika menerima uang itu, akan melanggar kontrak sosial PA dengan warga Palestina di Gaza.
Kedua faktor ini yang menyebabkan penurunan pendapatan Palestina sebesar 80 persen sejak 7 Oktober. Defisit fiskal sebesar 1,5 miliar dollar AS atau Rp 23,4 triliun (kira-kira 10 persen dari PDB di Palestina) menyebabkan PA tak mampu lagi membayar gaji pegawai negeri sama sekali.
Dulu, dana bantuan luar negeri berjumlah 30 persen dari anggaran operasional pemerintah. Perekonomian Palestina masih sangat bergantung pada bantuan. Masalahnya, para donor sudah mengalihkan sebagian besar dukungan anggaran langsung mereka ke pembiayaan pembangunan. Salah satu alasannya, mereka frustrasi dengan korupsi yang merajalela. Ini juga salah satu alasan PA kini kesulitan menghadapi krisis ekonomi.
Baca juga : Taktik dan Persenjataan Hamas Lebih Baik di Pertempuran Babak Kedua
Alasan lain adalah PA tidak dapat memperoleh dana dari Dana Moneter Internasional (IMF) karena bukan merupakan anggota IMF. Tanpa adanya bank sentral, tidak ada lembaga pemberi pinjaman yang bisa memberikan dana talangan pada bank.
Sejumlah bank mulai kesulitan setelah menghapuskan setidaknya 1 miliar dollar AS (Rp 15,6 triliun) fasilitas pinjaman di Gaza. Dalam kondisi normal, pinjaman yang diberikan kepada karyawan merupakan sumber pendapatan yang baik.
Hanya, jika gaji pegawai tidak segera dibayar, ribuan orang akan mulai gagal membayar utang konsumen mereka. Bishara telah mengurangi pinjaman pemerintah dari bank-bank Palestina dan enggan meningkatkannya lagi karena risiko yang ditimbulkan terhadap stabilitas keuangan.
Untuk mencegah keruntuhan keuangan pemerintah, Bishara bisa saja mencoba membujuk Smotrich untuk menyerahkan pendapatan bea cukai yang menjadi hak mereka. Namun, kecil kemungkinan Israel akan berubah pikiran selama perang masih terjadi. Padahal, AS sudah mencoba memperingatkan Israel akan risiko keamanan jika PA bangkrut.
Baca juga : Israel Negara Startup Didukung SDM Tangguh dan Ulet
AS dan Uni Eropa khawatir dengan rendahnya gaji 30.000 anggota pasukan keamanan Palestina di Tepi Barat. Tanpa bayaran, mereka tidak akan bersemangat untuk terus bekerja. Terbukti sudah ada beberapa orang yang mengundurkan diri. PA sudah meminta bantuan dana 900 juta dollar AS kepada Qatar untuk bertahan hidup selama enam bulan ke depan.
Namun, ekonom Palestina, Raja Khalidi, mengatakan, sejauh ini baik Qatar maupun negara-negara Teluk lain tampaknya tidak siap. Jika mereka membantu PA, bisa jadi Israel malah akan mengurangi uang yang seharusnya mereka serahkan ke PA sesuai ketentuan dalam protokol Perjanjian Oslo (perjanjian perdamaian antara Israel dan Palestina).
Bisa jadi juga bantuan itu memungkinkan Palestina mengesampingkan reformasi yang sangat dibutuhkan. ”Mekanisme yang bersifat sementara sering kali berubah menjadi permanen dan tidak efektif,” kata Khalidi.
AS menggembar-gemborkan gagasan ”revitalisasi PA” sebagai satu-satunya alternatif dalam menangani kekuasaan Hamas di Gaza. Namun, jika tekanan perang ekonomi yang dilancarkan pemerintah sayap kanan Israel terhadap Palestina tidak segera teratasi, kekuatan Palestina untuk menjalankan pemerintahan di Tepi Barat akan melemah, apalagi untuk memerintah Gaza. (REUTERS)