China Protes Inggris Buat Perjanjian dengan Taiwan
Beijing mengingatkan negara-negara di dunia untuk berkomitmen pada Prinsip Satu China. Dengan prinsip ini, negara-negara itu diharapkan tidak berhubungan dengan Taiwan di luar hubungan perdagangan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
LONDON, KAMIS – Pemerintah China menyatakan keberatan kepada Inggris atas langkah London menjalin kerja sama formal dengan Taiwan. Menurut Beijing, sebagai negara yang mengakui Prinsip Satu China, Inggris tidak semestinya berhubungan dengan Taiwan di luar sektor perdagangan.
Hubungan antara Inggris dan China berada dalam situasi renggang walaupun Pemerintah Inggris mengatakan mereka berusaha mempertahankan aspek pragmatisnya.
Protes itu dilayangkan oleh Kedutaan Besar China di London pada Kamis (9/11/2023). Sehari sebelumnya, Menteri Perdagangan Inggris Nigel Huddleston menerima kunjungan Wakil Menteri Perekonomian Taiwan Chen Chern-chyi. Mereka kemudian menandatangani perjanjian perdagangan dengan peningkatan.
Tidak jelas arti dari kata ”peningkatan (enhanced)” dalam perjanjian mereka. Akan tetapi, Beijing berusaha memitigasi agar perjanjian perdagangan itu tidak melebihi tujuannya dan masuk ke dalam aspek-aspek politis, misalnya menjadi jembatan penguatan hubungan Inggris dengan Taiwan yang berujung dengan dukungan pada kemerdekaan Taiwan.
”China menolak segala jenis kontak resmi antara negara-negara lain dengan Taiwan. Inggris diharapkan mematuhi komitmen mereka terhadap Prinsip Satu China,” demikian bunyi surat protes tersebut.
Mayoritas negara di dunia, kecuali 14 negara, mengakui Prinsip Satu China yang menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian otonomi dari China. Melalui prinsip ini, China tidak mengakui otoritas Taiwan yang dipimpin Presiden Tsai Ing-wen sebagai pemerintahan yang sah. Walhasil, Taiwan hanya bisa menjalin hubungan kerja sama di luar diplomatik dengan negara-negara lain.
Beijing menuduh London mengompori Taiwan untuk melepaskan diri dari China. Hal ini juga terkait dengan gencarnya dukungan Inggris terhadap berbagai gerakan prodemokrasi di Taiwan dan Hong Kong.
Selain itu, Inggris secara terbuka juga mengecam China atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok etnis minoritas di Provinsi Xinjiang. China membalas dengan menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah anggota parlemen Inggris.
Beijing menuduh London mengompori Taiwan untuk melepaskan diri dari China.
Pada Maret 2023, Inggris setuju untuk meningkatkan ekspor teknologi serta perangkat kapal selam ke Taiwan. Beberapa bulan kemudian, tepatnya September 2023, Taiwan meluncurkan kapal selam pertama buatan dalam negeri. Kapal itu dinamakan Hai Kun.
Menurut Tsai dalam acara tersebut, pembuatan Hai Kun ini demi strategi perang asimetris. Taiwan sudah pasti kalah dari segi jumlah tentara dan persenjataan dibandingkan dengan Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA).
Oleh sebab itu, Taipei harus mengembangkan persenjataan dan strategi yang bisa bermanuver lincah untuk mempertahankan diri. Meskipun demikian, Tsai menekankan bahwa Taiwan sama sekali tidak menginginkan perpecahan konflik di Selat Taiwan ataupun di bagian lain di dunia.
Pemerintah Inggris berusaha mendekatkan kembali hubungannya dengan China yang renggang tersebut. Pada Agustus lalu, Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly berkunjung ke China. Ia menuturkan bahwa Inggris tetap teguh dalam menyerukan prinsip demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di China.
”Meskipun demikian, China adalah negara penting di dunia. Mengucilkan mereka adalah kesalahan besar. Kita (Inggris) harus tetap berhubungan dengan China, setidaknya di dalam skala dan hal-hal yang pragmatis,” kata Cleverly kepada surat kabar Guardian edisi 30 Agustus 2023.
Justru dengan berbagai ketegangan dan peliknya situasi geopolitik, Cleverly berpendapat bahwa dialog harus ditingkatkan guna menghindari kesalahpahaman.
Perwakilan Pemerintah China, Wakil Menteri Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Wu Zhaohui, juga mengunjungi Inggris guna menghadiri pertemuan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) sedunia pada 3 November lalu. Pertemuan itu dihadiri perwakilan dari 25 negara dan Uni Eropa. Mereka menandatangani Deklarasi Bletchley yang menyatakan bahwa pengenalan dan analisis risiko AI wajib dilakukan dan kemudian dibuat aturan penerapannya.
Terlepas pasang-surut hubungan negara-negara Barat dengan China, diplomasi terus dilakukan. Perdana Menteri Australia Anthony Albanese pada Selasa (7/11/2023) menuntaskan kunjungannya ke Beijing. Ini yang pertama kali sejak 2016 seorang perdana menteri Australia bertandang ke China.
Kepada Presiden China Xi Jinping, Albanese mengatakan, Australia berpegang kepada Prinsip Satu China dan fokus kerja sama dengan China di sektor-sektor universal.
Amerika Serikat juga beberapa kali mengirim pejabat terasnya ke China, antara lain Menlu Antony Blinken, Menteri Keuangan Janet Yellen, dan Utusan Khusus Presiden AS untuk Urusan Iklim John Kerry. Mereka semua mengatakan, kerja sama harus terus berjalan karena ada lebih banyak aspek universal yang bisa digarap. (REUTERS)