Stabilitas dan keamanan di kawasan, termasuk Asia Tenggara, menjadi taruhan akibat sengketa China-Filipina di Laut China Selatan. ASEAN diharapkan lebih vokal.
Oleh
LUKI AULIA, LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
China dan Filipina beradu narasi mengenai pihak yang dianggap intrusif dan barbar di Laut China Selatan atau LCS. China menuding Filipina selalu berlaku agresif di LCS. Sebaliknya, Filipina menyebut justru China yang bertindak semena-mena di perairan tersebut. Keduanya juga sama-sama mengklaim sebagai pemegang kedaulatan yang sah di wilayah yang disengketakan.
Insiden yang melibatkan kapal kedua negara kerap terjadi, terutama di wilayah yang disengketakan seperti di Kepulauan Spratly dan Beting Ayungin atau Karang Second Thomas. Yang terakhir terjadi pada 22 Oktober 2023 tatkala kapal penjaga pantai China dan kapal milisi maritim China secara terpisah bertabrakan dengan kapal penjaga pantai Filipina dan kapal militer pemasok logistik di beting tersebut.
Pada Kamis (26/10/2023), Juru Bicara Angkatan Laut Filipina Letnan Giovanni Badidles mengatakan, AL mengadakan latihan uji coba pesawat nirawak dan rudal di LCS. Lokasi tepatnya di dekat Karang Scarborough. ”Kami akan terus meningkatkan kemampuan membela diri untuk menggentarkan pihak yang berusaha mengklaim wilayah perairan Filipina,” ujarnya.
Sebelumnya di Beijing, Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, kepada wartawan, menyebut, China sudah sering berkomunikasi dengan Filipina terkait klaim China di LCS, sekaligus keberatan mereka tentang tindakan Filipina mengirim bahan logistik ke pos militernya. China menilai perilaku itu melanggar kedaulatan teritorial dan hak maritim China di LCS, serta merusak perdamaian dan stabilitas regional.
China juga memperingatkan Amerika Serikat, sekutu Filipina, agar tidak ikut campur dalam urusan China dengan Filipina. AS dinilai tidak mempunyai hak untuk terlibat dalam masalah bilateral itu karena AS bukan pihak yang berkepentingan dalam masalah LCS.
”Janji AS untuk membela Filipina tidak boleh merugikan kedaulatan dan kepentingan maritim China di LCS, juga tidak boleh mendorong klaim ilegal Filipina,” kata Mao.
Di Gedung Putih, Rabu (25/10/2023), Presiden AS Joe Biden memperingatkan China tentang kesepakatan kewajiban pertahanan AS terhadap Filipina. AS berkomitmen membantu pertahanan Filipina dan menuding China bertindak berbahaya serta melanggar hukum di LCS. ”Setiap serangan terhadap pesawat, kapal, atau angkatan bersenjata Filipina akan mengacu pada perjanjian pertahanan bersama antara AS dan Filipina,” kata Biden.
Selesaikan gejolak
Dengan semakin meruncingnya adu narasi di LCS, para pakar mengingatkan pentingnya segera menyelesaikan gejolak di perairan itu agar tidak berisiko melebar dan berujung pada konflik terbuka. Aktor yang dinilai bisa meredakan situasi adalah Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Dalam diskusi di The Habibie Centre, Agustus lalu, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Filipina (UP) Richard Heydarian menekankan pentingnya ASEAN terus angkat suara perihal sengketa di LCS. Selama ini, Filipina menganggap ASEAN kurang vokal karena isu LCS hanya terkait empat negara dari 10 anggota ASEAN, yakni Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
”Kurang vokalnya ASEAN ini bisa mengancam sentralitas ASEAN karena Filipina mencari bantuan asing, dalam hal ini Amerika Serikat dan sekutunya sehingga risiko ketegangan terus meningkat,” ujarnya (Kompas.id, 22 Agustus 2023).
Sejak 2002 hingga kini, ASEAN dan China masih membahas kode tata perilaku (code of conduct/CoC) LCS. Peneliti senior di Sekolah Studi Internasional S Rajaratnam di Singapura, Collin Koh, mengingatkan, negosiasi CoC LCS sudah disepakati akan diselesaikan pada 2026.
Pihak-pihak yang terlibat juga sudah sangat ingin memulai kembali perundingan setelah pandemi Covid-19. ”Gejolak yang terjadi di LCS memperkuat alasan segera diselesaikannya CoC LCS ini,” ujarnya.
Kurang vokalnya ASEAN ini bisa mengancam sentralitas ASEAN karena Filipina mencari bantuan asing, dalam hal ini Amerika Serikat dan sekutunya sehingga risiko ketegangan terus meningkat.
Namun, seiring upaya China dan negara-negara di kawasan untuk terus melanjutkan proses itu, Koh khawatir prosesnya mungkin akan sulit karena masih ada beberapa perbedaan yang harus diselesaikan. Ini meliputi cakupan geografis CoC dan apakah CoC itu harus menjadi dokumen yang mengikat secara hukum.
”Suasana pascapandemi Covid-19 yang diperburuk oleh gejolak akhir-akhir ini di LCS mungkin tidak kondusif bagi perundingan meski mereka sama-sama merasa perlu menyelesaikan CoC. Perundingannya akan lebih sulit dan berpotensi memecah-belah,” ujarnya.
Harian The South China Morning Post, Jumat (27/10/2023), menyebutkan, China dan ASEAN sepakat memulai pembicaraan ketiga terkait CoC LCS yang sudah lama tertunda. Mao mengatakan, China dan ASEAN akan mempercepat perundingan untuk mencapai CoC yang efektif dan substantif.
Kedua pihak akan bertukar pandangan soal situasi di LCS dan memperkuat kerja sama di berbagai bidang termasuk penelitian ilmiah maritim, perlindungan lingkungan, dan kegiatan penegakan hukum maritim. Perkembangan pembahasan CoC LCS berjalan lambat, tetapi selama beberapa bulan terakhir banyak negara sudah berupaya mempercepat negosiasi.