DPR AS ”Bungkam” Kebebasan Berpendapat
DPR AS membungkam suara yang mendukung Palestina dan mengajak menghancurkan Israel. Di tengah konflik di dalam DPR AS, ribuan warga Gaza mengungsi dengan jalan kaki 4 jam sambil membawa bendera putih agar tak tertembak.
WASHINGTON DC, RABU — Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat mengeluarkan resolusi ”teguran luar biasa” untuk Rashida Tlaib, satu-satunya warga AS keturunan Palestina di Kongres AS. Teguran dipicu pernyataan anggota fraksi Demokrat di DPR itu tentang perang Israel-Hamas.
Resolusi itu disahkan pada Selasa (7/11/2023) malam waktu Washington atau Rabu dini hari WIB. Seluruh anggota fraksi Republikan dan 22 anggota fraksi Demokrat mendukung resolusi itu. Ia dituding menyebarkan informasi palsu karena menuding ada genosida oleh Israel di Gaza.
Banyak politisi Demokrat dan beberapa Republikan menentang kecaman terhadap Tlaib. Mereka menilainya membungkam kebebasan berpendapat.
”Resolusi ini tidak hanya merendahkan konstitusi kita, tetapi juga arti disiplin dalam lembaga ini bagi orang-orang yang benar-benar bersalah dalam hal, misalnya penyuapan, penipuan, penyerangan dengan kekerasan, dan sebagainya,” kata politisi Republikan, Jamie Raskin.
Baca juga: Gaza Luluh Lantak, Pertempuran Meluas ke Negara Lain
Tlaib menanggapi resolusi itu dengan keras. ”Tidak ada pemerintahan yang tidak bisa dikritik. Gagasan bahwa mengkritik Pemerintah Israel adalah anti-Semit merupakan preseden yang sangat berbahaya. Hal ini digunakan untuk membungkam berbagai suara yang menyuarakan hak asasi manusia di negeri kita,” kata Tlaib.
Republikan sudah dua kali mencoba mengecam Tlaib karena pernyataannya soal Israel. Upaya pekan lalu gagal.
Tlaib, yang sudah tiga kali terpilih sebagai anggota DPR AS, dianggap meresahkan. Bahkan, sebagian koleganya di Demokrat keberatan dengan pernyataan Tlaib soal Israel. Ia disebut mengampanyekan pembunuhan pada Yahudi dan pemusnahan Israel.
Politisi Demokrat yang Yahudi, Brad Schneider, menilai seruan itu tidak bisa dibiarkan. ”Saya akan selalu membela hak kebebasan berpendapat. Tlaib juga berhak mengatakan apa pun yang dia inginkan. Akan tetapi, menghancurkan Israel dan membunuh Yahudi itu tidak bisa dibiarkan begitu saja,” ujarnya.
Sudah sering
Tlaib bukan perempuan politisi Muslim pertama yang terkena teguran itu. Koleganya yang juga dari Demokrat, Ilham Omar, pernah ditegur karena berkomentar keras soal Israel.
Total ada 26 orang yang pernah dapat teguran sejenis. Pada Juni 2023, Republikan juga mengecam Adam Schiff karena berkomentar soal penyelidikan hubungan Donald Trump dengan Rusia.
Baca juga: Israel Tetap Serang Gaza di Tengah Jalur Kemanusiaan
Ketika DPR AS berada di bawah kendali Demokrat, politisi Republikan Paul Gosar juga dikecam pada 2021. Sebab, ia mengunggah video animasi yang menggambarkan dia menyerang anggota Demokrat, Alexandria Ocasio-Cortez, dengan pedang. Ada juga politisi Demokrat, Charlie Rangel, yang dikecam pada 2010 karena pelanggaran serius keuangan dan aturan kampanye.
Resolusi teguran sejak lama dianggap sebagai hukuman pilihan terakhir. Resolusi itu hanya satu langkah dari pengusiran dan hanya bisa diterapkan pada pelanggaran yang dinilai parah. Sayangnya, resolusi teguran ini kian rutin dibuat DPR AS.
Kejahatan perang
Secara terpisah, pakar independen dan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk hak atas perumahan yang layak, Balakrishnan Rajagopal, mengatakan bahwa serangan Israel selama sebulan ke Jalur Gaza merusak atau menghancurkan 45 persen permukiman di wilayah Palestina. Berdasarkan hukum internasional, pengeboman sistematis dan meluas terhadap permukiman, obyek sipil, dan infrastruktur dilarang keras.
”Menjadikan seluruh kota seperti Gaza tidak dapat dihuni warga sipil termasuk kejahatan perang. Ketika serangan ditujukan terhadap warga sipil, itu juga termasuk kejahatan kemanusiaan,” kata Rajagopal yang ditunjuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB tetapi tidak berbicara atas nama PBB itu.
Israel dinilainya jelas-jelas melakukan kedua hal itu. Sebab, perintah evakuasi Israel dikeluarkan tanpa memberi pilihan tempat berlindung ataupun akses bantuan kemanusiaan yang memadai bagi para pengungsi. Israel juga memutus aliran air bersih, makanan, bahan bakar, dan obat-obatan, serta berulang kali menyerang rute evakuasi dan ”zona aman”.
Pengungsi
Lebih dari 70 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza dilaporkan sudah meninggalkan rumah mereka. Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, sekitar 15.000 orang meninggalkan Gaza utara pada Selasa saja. Jumlah ini tiga kali lipat jumlah orang yang keluar Gaza pada Senin.
Para pengungsi yang termasuk anak-anak, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas sebagian besar berjalan kaki tanpa membawa barang bawaan apa pun dan berjalan melewati jalan raya utama utara-selatan Gaza. ”Kami pergi saja karena tidak ada air, listrik, atau tepung untuk membuat roti,” kata Ameer Ghalban yang mendorong saudaranya yang berusia lanjut dengan kursi roda.
Baca juga: Israel Merangsek ke Jantung Gaza, Situasi Kemanusiaan Bakal Memburuk
Mereka harus berjalan kaki selama empat jam dan harus melintasi pos pemeriksaan Israel. Mereka melihat orang-orang ditangkap. Ketika tank-tank Israel lewat mereka segera mengangkat tangan dan mengibarkan bendera putih.
Pasokan bantuan
Negara-negara industri yang tergabung dalam Kelompok Tujuh (G7) menyerukan pengiriman makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar serta ”jeda kemanusiaan”. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sejauh ini menolak seruan itu.
Sementara itu, juru bicara militer Israel, Daniel Hagari, mengatakan, pasukan darat Israel sudah masuk ke pelosok-pelosok Gaza. Israel memfokuskan operasinya di kota Gaza yang dihuni 650.000 orang sebelum perang dan diduga sebagai pusat komando Hamas.
Sedikitnya 10.500 warga Palestina tewas karena serangan darat dan pengeboman Israel yang tanpa henti selama sebulan. Dua pertiga dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Lebih dari 2.300 orang diyakini terkubur reruntuhan bangunan. Dari sisi Israel, 1.405 orang tewas.
Puluhan ribu warga Palestina masih berada di Gaza utara. Wilayah utara sudah tidak mempunyai air bersih selama berminggu-minggu dan kantor bantuan PBB mengatakan toko roti terakhir yang berfungsi tutup, Selasa, karena kekurangan bahan bakar, air, dan tepung. Rumah sakit juga kekurangan persediaan peralatan medis sehingga operasi—termasuk amputasi—harus dilakukan tanpa anestesi. (AFP/AP)