Albanese Kunjungi Beijing, Coba Cairkan Kebekuan Australia-China
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese akan berkunjung ke China mulai Sabtu (4/11/2023). Australia berupaya mencairkan ketegangan hubungannya dengan China yang memburuk sejak pandemi Covid-19 dimulai.
BEIJING, SABTU — Perdana Menteri Australia Anthony Albanese akan memulai kunjungan empat harinya di Beijing mulai Sabtu (4/11/2023). Ini kunjungan pertama Albanese ke China sejak menjadi PM pada 2022. Kunjungan ini dipandang sebagai upaya untuk memperbaiki hubungan kedua negara yang retak selama tiga tahun terakhir.
Albanese dijadwalkan akan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping pada Senin (6/11/2023). Kedua pemimpin akan membicarakan sejumlah hal, mulai dari hubungan ekonomi kedua negara hingga isu regional dan internasional yang menjadi perhatian bersama.
Kementerian Luar Negeri China mengatakan, kunjungan ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk memperkuat komunikasi dan memperluas kerja sama kedua negara.
”China bersedia bekerja sama untuk menjadikan kunjungan ini sebagai kesempatan meningkatkan rasa saling percaya, memperluas kerja sama, memperdalam hubungan, dan mendorong perbaikan hubungan bilateral yang berkelanjutan. Hubungan China-Australia yang sehat dan stabil sejalan dengan kepentingan mendasar kedua negara dan masyarakat,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wengbin dalam keterangan kepada media, Jumat (3/11/2023).
Ini adalah kunjungan Albanese pertama ke China setelah menjabat sebagai perdana menteri pada tahun 2022. Dia juga menjadi pemimpin Australia pertama yang mengunjungi China dalam tujuh tahun terakhir, bertepatan dengan peringatan 50 tahun kunjungan pertama pemimpin Australia, PM Gough Whitlam, ke China.
Baca juga: Australia-China Buka Jalan untuk Rujuk dan Saling Bicara Lagi
Banyak pihak menilai, kunjungan ini merupakan upaya kedua negara memecah kebekuan hubungan yang telah berlangsung sejak pandemi Covid-19. Beberapa media China menyebut kunjungan itu sebagai awalan baru hubungan bilateral yang lebih baik. Duta Besar China untuk Australia Xiao Qian dalam tulisan opininya di Australian Financial Review menyebut kunjungan ini sebagai era baru hubungan bilateral kedua negara setelah tegang dalam beberapa tahun terakhir.
Xiao menyatakan, hubungan kedua negara berada berada pada titik kritis untuk memulai dan berlayar lagi. Dia mendesak lebih banyak kerja sama di bidang tradisional, seperti energi, pertambangan, pertanian, pendidikan, dan pariwisata.
Hubungan bilateral kedua negara memanas saat pandemi berkecamuk setelah Canberra mendesak Beijing bersikap terbuka pada para ahli yang ingin menyelidiki asal-usul merebaknya Covid-19 yang berawal dari virus SARS-CoV-2 di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Australia menggemakan tuntutan Pemerintah Amerika Serikat dan sejumlah negara Barat lainnya. Hal inilah yang membuat hubungan keduanya menjadi tegang.
Tekanan dari Australia berbuah penghentian impor sejumlah produk pertanian dan peternakan dari Australia, mulai dari produk daging sapi, jelai (barley), anggur, hingga produk kapasnya.
Hubungan yang terus memburuk tak hanya sebatas berdampak pada hubungan ekonomi dan perdagangan saja, tetapi juga berdampak pada hubungan di bidang pendidikan dan pariwisata. Pemerintah China mengeluarkan peringatan perjalanan (travel warning) kepada para pelajar China dan warganya yang berkunjung ke Australia terhadap kemungkinan adanya tindakan rasial terhadap mereka.
Sanksi perdagangan resmi dan tidak resmi yang dijatuhkan China pada Australia telah menyebabkan kerugian bagi eksportir Australia hingga 20 miliar dollar Australia atau sekitar 13 miliar dollar AS per tahun.
Baca juga: Perang Mulut Berdampak pada Penangguhan Impor Daging Sapi China
Kesalahan serius pertama Australia di mata Beijing terjadi pada tahun 2018 setelah kebijakan yang diambil Parlemen Australia menekankan China sebagai ancaman keamanan. Parlemen Australia saat itu mengesahkan undang-undang keamanan nasional yang berisi larangan campur tangan asing secara terselubung dalam politik dalam negeri dan menjadikan spionase industri yang dilakukan oleh kekuatan asing sebagai kejahatan.
Dua bulan kemudian, pemerintah melarang raksasa telekomunikasi China, Huawei, meluncurkan jaringan 5G-nya di Australia karena masalah keamanan yang tidak dijelaskan secara spesifik.
Terpilihnya pemerintahan kiri-tengah Albanese tahun lalu menggantikan pemerintahan konservatif menciptakan peluang untuk melakukan pengaturan ulang. ”Australia berkepentingan untuk menjalin hubungan baik dengan China,” kata Albanese, Oktober 2022, ketika mengumumkan rencana perjalanan tersebut.
Albanese membantah telah memberikan konsesi kepada Beijing setelah pembebasan Cheng Lie, jurnalis Australia yang ditahan selama tiga tahun karena dugaan membocorkan rahasia China, demi memperbaiki hubungan kedua negara. Namun, sebelum rencana perjalanannya diumumkan, pemerintahan Albanese menyatakan tidak akan membatalkan sewa Pelabuhan Darwin yang telah dikelola oleh sebuah perusahaan China selama 99 tahun.
Terkait hal itu, AS menyampaikan kekhawatirannya soal kemungkinan fasilitas itu digunakan untuk memata-matai keberadaan militernya di ”Benua Kanguru” itu.
Baca juga: Fase Baru Hubungan dengan China, Produk Agrikultur Australia Terimbas
Albanese telah mengkritik sewa tersebut sejak ditandatangani pada tahun 2015. Beberapa analis keamanan menafsirkan keputusan untuk membiarkan Shandong Landbridge Group mempertahankan sewa tersebut sebagai konsesi bentuk konsesi kepada Beijing.
Meredam
Meski ada upaya untuk memperbaiki hubungan bilateral kedua negara, khususnya dalam bidang ekonomi dan perdagangan, Canberra tidak ingin terlalu berlebihan dalam bersikap, terutama karena mereka menilai masih ada hambatan dalam bidang keamanan.
”China adalah sumber kekhawatiran keamanan terbesar kami. China juga merupakan mitra terbesar kami dan kami sangat menghargai hubungan yang produktif,” kata Menteri Pertahanan Australia Richard Marles kepada wartawan di Washington beberapa hari lalu.
Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong juga menyebut, meski ada hal positif dalam hubungan bilateral kedua negara, hubungan Australia-China tidak akan kembali seperti 15 tahun yang lalu.
Baca juga: Kuatkan Pertahanan Maritim, Australia Belanja Ranjau Laut
Direktur eksekutif Asia Society Australia Richard Maude, mantan diplomat dan penulis buku putih kebijakan luar negeri Australia tahun 2017, mengatakan bahwa daftar permasalahan yang membuat ketegangan hubungan kedua negara sangatlah panjang. Meski pemerintahan Albanese coba menempatkan dialog sebagai pusat pendekatannya terhadap China, sebagian besar kebijakannya tetap sama, yakni persoalan keamanan.
Permasalahan di Laut China Selatan, Taiwan, hingga persaingan perebutan pengaruh di Pasifik adalah beberapa hal yang menjadi ganjalan utama hubungan Australia-China. Sikap agresif China di Laut China Selatan tidak hanya mendapat tentangan dari Filipina dan sejumlah negara anggota ASEAN yang tidak ingin kedaulatan teritorialnya terganggu. Penentangan juga disampaikan Amerika Serikat, sekutu utama Australia dan juga Inggris.
”Di bidang pertahanan, pemerintahan Albanese telah melipatgandakan dukungannya kepada Amerika Serikat dalam membangun struktur pencegahan militer di seluruh Indo-Pasifik. Dualitas pendekatan tersebut cukup jelas bagi China,” kata Maude.
Baca juga: Perang Dingin di Halaman ASEAN
Untuk meningkatkan pertahanan wilayahnya, Australia sepakat untuk membeli kapal selam bertenaga nuklir hasil pengembangan teknologi AS dan Inggris. Kerja sama itu sendiri berlangsung dalam kerangka AUKUS, yang dikhawatirkan menjadi bumerang bagi negara-negara tetangga, termasuk Indonesia.
Tidak hanya menambah kekuatan armada pertahanan lautnya, pada Januari 2023 Australia memutuskan menganggarkan 1 miliar dollar Australia atau sekitar Rp 10,5 triliun untuk membeli ranjau laut (sea mines). Pembelian ranjau laut ini adalah bagian dari rencana penguatan sistem pertahanan maritim sekaligus persiapan pergeseran arena konflik baru, dalam hal ini untuk mencegah potensi agresor yang secara aktif mengincar kedaulatan teritorial Australia.
Ekonomi sebagai jangkar
Dampak memburuknya hubungan bilateral kedua negara sudah diteriakkan banyak pihak, terutama para pengusaha, yang menjadikan pasar China sebagai pasar terbesarnya. Albanese, Selasa kemarin, mengatakan bahwa seperempat pendapatan ekspor Australia berasal dari China, lebih banyak dari gabungan tiga mitra dagang berikutnya, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang.
Presiden Dewan Bisnis Autralia-China David Olsson mengatakan, ekonomi—khususnya perdagangan—bisa menjadi jangkar untuk stabilitas dan kepastian hubungan kedua negara di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian. Dia menilai, kehadiran Albanese di Shanghai akan mengirim sinyal pada sistem dan komunitas bisnis China bahwa ada hal positif dalam hubungan dengan Australia sebagai mitra dagang di tengah dinamika hubungan kedua negara.
Baca juga: Menjaga ASEAN di Jalur yang Tepat
Ketua Komite Keterlibatan Global Dewan Bisnis Australia Warwick Smith menekankan pentingnya dialog kedua negara dilanjutkan kembali.
Senin lalu, Menteri Perdagangan Australia Don Farrell mengumumkan bahwa negosiasi perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa gagal. Pada saat yang sama, Farrell juga mengumumkan bahwa kerugian perdagangan dengan China, yang dinyatakan olehnya sebagai hambatan perdagangan, akan segera berkurang dari puncaknya sebesar 20 miliar dollar Australia per tahun menjadi hanya tinggal 1 miliar dollar Australia atau 643 juta dollar AS.
Pakar China Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Washington, Jude Blanchette, mengatakan, dengan upaya ini, Australia dinilai tengah berusaha menemukan keseimbangan yang tepat antara masalah keamanan dan kebutuhan untuk memiliki kawasan yang damai serta hubungan ekonomi yang produktif dengan China. Ia menyebut meningkatnya pembicaraan mengenai pengurangan risiko di Australia, atau tidak terlalu bergantung pada satu negara secara ekonomi, kemungkinan juga akan menjadi perhatian Albanese dan Xi dalam pembicaraan tersebut.
Wang Yiwei, profesor hubungan internasional di Universitas Renmin, mengatakan, China menginginkan hubungan diplomatik yang stabil dengan Australia untuk mendukung hubungan ekonomi. ”China masih berharap akan ada perbedaan yang tepat antara keamanan dan ekonomi,” kata Wang. (AP/AFP/REUTERS)