Australia-China Buka Jalan untuk Rujuk dan Saling Bicara Lagi
PM Australia Anthony Albanese akan ke China pada akhir tahun ini sebagai upaya memperbaiki hubungan kedua negara yang selama bertahun-tahun berselisih tentang banyak hal.
Jakarta, Kamis - Untuk menstabilkan hubungan Australia dengan China, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese akan berkunjung ke China pada akhir tahun ini. Jika terealisasi, ini akan menjadi kunjungan pertama perdana menteri Australia ke China sejak tahun 2016.
Keputusan Australia ini akhirnya keluar setelah selama bertahun-tahun terjadi perselisihan sengit dipicu isu-isu politik, hak asasi manusia, dan ekonomi dan perdagangan, termasuk sanksi China terhadap produk-produk impor Australia. Pada November lalu, Albanese sudah bertemu dengan Xi di sela-sela pertemuan tingkat tinggi G20 di Pulau Bali, Indonesia.
Baca juga: Di KTT G20, PM Albanese Berharap Bisa Berdialog dengan Xi
Kepastian rencana itu diumumkan Albanese di sela-sela pertemuan tingkat tinggi (KTT) Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara ke-43, Kamis (7/9/2023), di Jakarta. “Saya sudah mengonfirmasi undangan dari Presiden Xi (Jinping). Saya akan menerima undangan itu dan akan berkunjung ke China pada akhir tahun ini pada waktu yang disepakati bersama,” kata Albanese setelah menggelar pertemuan bilateral dengan PM China, Li Qiang.
Pembicaraan dengan Li, kata Albanese, berjalan konstruktif dan positif dan kedua belah pihak memerlukan lebih banyak dialog untuk meningkatkan hubungan. Albanese mengakui ini adalah pertemuan yang penting dan Australia mengatakan kepada China bahwa Australia akan terus bekerja sama semampu Australia, dan akan mengajukan keberatan jika harus.
Australia mengirimkan delegasi yang terdiri dari perwakilan industri, pemerintah, akademisi, media, dan seni ke China untuk berdialog dengan rekan-rekan mereka di sana, Kamis. Dialog tingkat tinggi antara Australia dan China yang terhenti pada tahun 2020 ini akan fokus pada perdagangan, hubungan antarmasyarakat, dan keamanan.
“Saya menyambut baik perkembangan positif baru-baru ini dalam hubungan bilateral tetapi kami tahu masih banyak yang harus dilakukan,” kata Ketua Delegasi Australia dan mantan Menteri Perdagangan Australia, Craig Emerson.
Baca juga: Australia Anggap China sebagai Tersangka Utama Aktor Serangan Siber ke Negaranya
Mantan Menteri Luar Negeri China, Li Zhaoxing, mengatakan kedua negara harus bekerja sama. Akan tetapi ia menambahkan, kedua belah pihak harus mematuhi liberalisasi perdagangan dan bersama-sama menentang mentalitas Perang Dingin, konfrontasi blok, dan proteksionisme perdagangan.
Mencair
Dimulainya kembali dialog bilateral itu menjadi pertanda terbaru dari mencairnya konflik. Menteri Luar Negeri Australia, Penny Wong, pada pekan lalu mengatakan dialog bilateral itu menggambarkan langkah lain menuju peningkatan keterlibatan bilateral dan menstabilkan hubungan Australia dengan China.
Selama pembekuan hubungan dengan Beijing, Australia membentuk kemitraan nuklir dengan Amerika Serikat dan Inggris yang memungkinkan Australia memiliki kapal selam bertenaga nuklir. Hubungan China dan Australia merosot tajam selama pandemi Covid-19.
Pemerintahan Australia sebelumnya mengesahkan undang-undang yang melarang campur tangan asing secara terselubung dalam politik dalam negeri, melarang raksasa telekomunikasi milik China, Huawei, meluncurkan jaringan 5G Australia karena masalah keamanan dan menyerukan penyelidikan independen terhadap pandemi Covid-19. Kebijakan itu memicu kemarahan China. Lantas Beijing mengambil langkah "balasan" diantaranya menutup akses impor beragam barang produksi Australia, diantaranya anggur, daging, dan pengenaan tarif impor besar untuk gandum.
Sebagai tanggapannya, China secara efektif memblokir jelai Australia pada tahun 2020 dengan mengenakan tarif sebesar 80,5 persen yang secara luas dianggap Australia sebagai hukuman. China juga mengenakan tarif terhadap minuman alkohol, daging sapi, dan batu bara Australia, dan produk lainnya.
Baca juga: Perang Mulut Berdampak pada Penangguhan Impor Daging Sapi China
China baru-baru ini mencabut tarif terhadap jelai. Australia juga berharap ada terobosan dalam kasus lima warga Australia yang ditahan di China, diantaranya adalah Cheng Lei, wartawan yang sudah dipenjara selama tiga tahun. Selain itu ada juga penundaan kasus Yang Jun, akademisi Australia yang dipenjara di China karena tuduhan spionase.
Yang Jun, warga Australia kelahiran China, dipenjara di China sejak 2019 dan pada bulan lalu mengatakan dia tidak takut mati di penjara jika dia tidak menerima perawatan medis. Hal itu diungkapkannya dalam sebuah catatan yang diberikan kepada teman dan keluarganya.
China mengatakan pihaknya menangani kasus itu dengan baik dan menegaskan China adalah negara yang diatur oleh hukum. “Kami terus mengadvokasi kasus warga Australia yang ditahan di China,” kata Emerson. (REUTERS/AP)