Terbawa Mesin Waktu di Kota Pingyao
Berada di tengah-tengah kota kuno Pingyao, Provinsi Shanxi, China, serasa dilempar ke masa lalu hingga 2.700 tahun silam.
Coba duduk atau berdiri di Jalan Mingqing di tengah-tengah kota kuno Pingyao sambil mengamati sekeliling. Diam lima menit saja, jalan poros tengah Pingyao sepanjang 400 meter itu rasanya membawa kita kembali kembali ke 2.700 tahun silam. Rumah-rumah tua di kiri-kanan jalan komersial terpenting dan termakmur di Pingyao itu menambah suasana jadul kota kuno di kota Datong, Provinsi Shanxi, China, ini.
Apalagi, banyaknya wisatawan domestik berjalan-jalan sambil mengenakan pakaian tradisional China, lengkap dengan aksesori payung atau kipas yang bisa disewa seharian. Tak jarang juga terlihat mereka berbicara dan berperilaku di depan ponsel mereka, seolah-olah seperti sedang berada di zaman kerajaan.
Hampir semua rumah tua di Pingyao berubah menjadi toko oleh-oleh, kerajinan, jajanan atau camilan, restoran, bar, atau penginapan sederhana bed and breakfast. Bentuk asli semua rumah tua itu dipertahankan. Yan Biang Ling, pemandu wisata Pingyao yang menemani sepanjang jalan, menceritakan bahwa rumah tua dan benteng yang mengelilingi Pingyao terawat baik karena kondisi cuaca yang mendukung.
Baca juga : Bertemu Aneka Buddha di Yungang
Ditambah lagi, Pingyao jarang terjamah perang saudara karena menjadi pusat ajaran intelektual dan filsuf China, Konfusius, pada masa itu. ”Kompleks ini selalu dilindungi meski kondisi perang. Di sini ada kuil Konfusius, 84 patung Konfusius, dan 72 siswanya yang terkenal di antara 3.000 total siswanya,” kata Yan.
Meski sudah menjadi lokasi wisata sejarah yang tidak pernah sepi pengunjung, masih ada sekitar 30.000 orang tinggal di dalam Pingyao. Di wilayah seluas 225 hektar itu terdapat 3.797 rumah pekarangan. Di sepanjang Jalan Mingqing, ada 78 toko kuno yang dulu menjadi bank, pegadaian, apotek, toko daging, toko daging asap, toko kelontong, toko kain sutra, dan lain-lain.
Dari tata kota yang rapi terlihat Pingyao adalah kota besar. Kota ini didirikan pada abad ke-14 dan menjadi pusat perdagangan hingga awal abad ke-20. Pingyao merupakan contoh kota tradisional khas kelompok etnis Han semasa Dinasti Ming (1368-1644) dan Qing (1644-1911). Kota itu terdaftar sebagai situs warisan budaya dunia UNESCO pada tahun 1997.
Baca juga : China Buka Pintu Lebar-lebar bagi Warga Asing
Tata kota Pingyao terdiri dari empat jalan besar dan delapan jalan kecil yang disatukan dengan 72 gang yang tersusun rapi dan simetris. Kota kuno ini dirancang sesuai pemikiran arkeologi tradisional China dengan bentuk persegi dan semua jalan bersilangan secara horizontal dan vertikal.
Kota kuno ini dirancang sesuai pemikiran arkeologi tradisional China dengan bentuk persegi dan semua jalan bersilangan secara horizontal dan vertikal.
Jika dilihat dari ujung Tembok Kota Utara, bentuknya seperti penyu. Para pendiri Pingyao meyakini, kota ini akan bertahan selamanya berkat hewan yang berumur panjang itu.
”Wall Street” China
Sambil jalan-jalan keliling sebagian tembok benteng yang total panjangnya 6 kilometer, Yan menjelaskan, Pingyao dibangun semasa pemerintahan Raja Xuan dari Dinasti Zhou Barat (827-782 SM) dengan niat membangun benteng untuk menahan serangan dari bangsa Mongol dan Tatar. Pingyao dianggap sebagai salah satu tembok kota kuno yang paling terpelihara di China. Tembok itu dilindungi parit kota dengan kedalaman dan lebar 3 meter. Di luar gerbang kota ada jembatan angkat.
Tembok benteng Pingyao terdiri dari 6 gerbang, 4 menara, 72 menara pengawas, dan 3.000 benteng yang melambangkan 72 siswa terpandai Konfusius dan 3.000 total siswa Konfusius. Tinggi temboknya 12 meter dengan lebar bagian atas yang kami lewati berkisar 3-6 meter. Di atas tembok masih terpasang meriam-meriam yang sudah berkarat.
Pingyao juga dikenal sebagai kota yang melahirkan sistem perbankan pertama di China. Kota ini dihuni mayoritas orang kaya pada zaman Dinasti Ming dan Qing. Dengan kondisi seperti itu, Pingyao kerap disebut juga dijuluki sebagai ”Wall Street”-nya China.
Ketika berjalan melewati tembok benteng ini, teringat tembok benteng di Kota Yogyakarta dan Solo. Mirip. Tembok benteng Yogyakarta dan Solo juga melindungi kompleks keraton dan permukiman penduduk di sekitar keraton. Banyak juga yang sudah berubah jadi tempat usaha.
Melongok dari atas tembok benteng Pingyao yang berusia 600 tahun—tembok benteng dibangun setelah kota tua terbentuk—terlihat aktivitas sehari-hari warga. Ada yang sedang menjemur pakaian, duduk-duduk saja di teras belakang, atau bercocok tanam di halaman belakang. Ada sebagian tembok yang tertutup terpal tebal karena sedang diperbaiki.
Baca juga : Prajurit Terakota Penjaga Mimpi China
Subsidi perbaikan rumah
Merestorasi dan merawat rumah kuno di Pingyao tidak murah. Warga mendapatkan subsidi Rp 950.000 hingga Rp 3,3 juta per meter persegi untuk perbaikan struktur bangunan dan restorasi eksterior.
Liu Xueru (58), salah seorang pemilik rumah kuno, mewarisi rumah pekarangan seluas 900 meter persegi dari orangtuanya. Neneknya membeli rumah dari Dinasti Qing pada 1920-an. Liu lalu mengajukan permohonan dana restorasi dan menerima subsidi Rp 156 juta. Dia lalu membangun Xiang Sheng Yuan Guest House dengan 20 kamar.
Guru besar di Sekolah Ekonomi dan Manajemen Universitas Shanxi, Geng Yeqiang, menjelaskan bahwa kota-kota menjadi pembawa budaya dan ekonomi lokal, membentuk lingkaran wisata budaya yang mendukung perlindungan dan pembangunannya. Ini efektif membantu ekonomi rakyat dan pelestarian peninggalan budaya.
Baca juga : Keluar sebagai ”Pahlawan” di Tembok Besar
Pingyao dikembangkan menjadi kota multifungsi semasa Ming dan Qing, tempat bermula bisnis komersial di Shanxi dan tempat lahirnya bank modern pertama di China, Rishengchang Exchange House. Bank ini didirikan pengusaha kaya Lei Lvtai dan Li Daquan pada 1823. Pendirian bank tersebut awalnya bertujuan mengamankan aliran modal. Ini bank wesel pertama sehingga Lei dan Li disebut sebagai ”Bapak Perbankan China”.
Pingyao dikembangkan menjadi kota multifungsi semasa Ming dan Qing, tempat bermula bisnis komersial di Shanxi dan tempat lahirnya bank modern pertama di China.
Bank wesel mengizinkan penggunaan uang kertas, bukan emas dan perak, sebagai alat transaksi. Artinya, pedagang yang pergi ke wilayah lain untuk berbisnis tidak perlu membawa emas atau perak dalam jumlah besar sehingga lebih aman. Dulu, pengiriman uang koin perak butuh waktu lama dan kerap jadi sasaran perampokan meski sudah dikawal ketat.
Rishengchang Exchange House punya 30 cabang di dalam negeri dan meluas sampai Jepang, Singapura, dan Rusia pada 1940-an. Tetapi, kemudian tumbang di usia ke-108 tahun.
Pingyao menjadi salah satu pusat komersial paling makmur di China semasa Ming dan Qing dan salah satunya berkat bank tersebut. Dulu kota ini berisi para pebisnis kaya raya. Sampai sekarang sebagian keturunan mereka masih tinggal di Pingyao.
Kejayaan bisnis Pingyao mencapai puncaknya pada abad ke-19. ”Kota ini sering disebut ’Wall Street’-nya China,” kata Yan.
Teater partisipatif
Menambah perasaan seperti dilempar ke masa lalu, kami dibawa menonton pertunjukan teater See Pingyao Again. Teater ini berkisah tentang tradisi kelangsungan garis keturunan dan kelangsungan hidup masyarakat Pingyao.
Kisahnya berawal dari bankir terkenal di Pingyao bernama Zhao Yishuo yang hidup di masa Qing. Dia menghabiskan kekayaan keluarganya untuk pergi ke Rusia dan membawa pulang satu-satunya keturunan atau putra tunggal keluarga Wang, penjaga bank cabang miliknya di Rusia.
Selama Revolusi Besar Sosialis Oktober, bisnis bank di Rusia terdampak dan 13 anggota keluarga Wang terbunuh. Putra tunggal mereka diculik. Untuk menyelamatkannya, Zhao ditemani 232 pengawal. Tujuh tahun kemudian, Zhao dan semua pengawalnya menemui ajal di perjalanan. Namun, satu-satunya keturunan keluarga Wang itu selamat dan akhirnya pulang kampung.
Baca juga : Imaji Karakter Masyarakat China di Gunung Huang
Yang menarik, ini bukan pertunjukan teater biasa. Penonton tiba-tiba dibawa masuk ke ruangan yang berlatar suasana kota Pingyao, 150 tahun silam. Sekitar 300 aktor dari tim ”Impression” beredar ke mana-mana dan menyatu dengan penonton, berperan sebagai pedagang keliling, pemilik toko kain, penjual makanan, perajin, warga biasa, dan lain-lain. Suasananya hiruk-pikuk seperti kota betulan.
Nuansa di dalam labirin gedung Teater Sha Wa itu lebih seperti studio film dengan serangkaian set yang dilalui penonton. Kita semua ikut ambil bagian dalam lakon ini dan bisa berinteraksi, bahkan mengobrol dengan para aktor, seakan-akan kita menjadi bagian dari cerita.
Pertunjukan selama 90 menit ini memakai format ”penonton yang berjalan”. Tidak ada kursi atau panggung permanen di dalam teater, kecuali di bagian akhir atau penutup cerita.
Penonton berpindah-pindah seiring alur cerita yang berkembang, mulai dari adegan ”232 pengawal berangkat”, ”memilih istri”, ”jiwa pulang ke rumah”, dan ”pertunjukan tepung” yang menyoroti tradisi moral Pingyao dan emosi pedih dari tradisi itu.
Berdiri dan berpindah ruangan terus selama satu jam ternyata membuat kaki terasa sakit. Tetapi, itu sepadan dengan pertunjukan teater yang dinamis, tidak membosankan, dan atraktif dengan permainan lampu sorot dan teknologi layar 3D yang berhasil membuat penonton ikut merasakan emosi sedih, takut, putus asa, marah, dan bangga yang ditunjukkan para aktor.
Baca juga : Serba Masa Depan di Negeri Masa Lalu
Menjelajahi Pingyao dalam sehari ternyata tak cukup. Butuh setidaknya dua hingga tiga hari. Agar lebih terasa seperti ”akamsi” atau anak kampung sini, mungkin lain kali ada baiknya jalan-jalan keliling kota dengan menyewa pakaian tradisional sambil makan es krim kurang manis seharga Rp 22.000 atau mi potong kuah khas Shanxi.