Turbulensi di Uni Eropa
Petinggi Uni Eropa mengeluarkan pernyataan yang dinilai tidak merepresentasikan negara-negara anggotanya dalam memandang konflik Palestina-Israel. Uni Eropa terpecah.
Pada 9 Oktober, dua hari setelah Kelompok Hamas melakukan serangan ke wilayah Israel, Oliver Varhelyi - Komisioner Uni Eropa asal Hungaria membagikan pernyataan bahwa semua bantuan pembangunan untuk Palestina senilai 729 juta dolar Amerika Serikat, sedang ditinjau. Dalam cuitan lainnya dia menyebut semua pembayaran akan ditangguhkan.
“Tidak ada bisnis seperti biasa,” tulis Várhelyi di platform X.
Komisi Eropa membutuhkan waktu beberapa jam untuk mengklarifikasi bahwa dana kemanusiaan akan terus mengalir.
Baca juga : PBB: Jeda Kemanusiaan Perkara Hidup-Mati Jutaan Warga Palestina
Komisi kemudian mengakui bahwa Várhelyi telah bertindak atas inisiatif pribadinya dan belum mendapatkan restu dari Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen sebelum memublikasikan pesan tersebut secara daring. “Pengumuman yang dibuat oleh Komisaris Várhelyi tidak didahului dengan konsultasi dengan anggota mana pun,” kata Eric Mamer, juru bicara Komisi.
Seorang anggota parlemen Eropa dari Irlandia, Barry Andrews menyebut Várhelyi telah melampaui kompetensi hukumnya dan kedudukannya di Brussel. Dia dinilai telah membuat reputasi UE sangat buruk di semua kalangan. Andrews, dikutip dari lamanEuronews, menggambarkan UE kini terjebak dalam kolam lumpur.
Baca juga : Kemanusiaan Sedang Berlibur Dari Sekitar Gaza
Belum usai masalah dengan Varhelyi, anggota UE dikejutkan dengan pernyataan Von der Leyen, Kamis (19/10/2023), ketika berbicara di depan Institut Hudson, sebuah lembaga pemikir konservatif di Washington. Di sana dia secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap hak Israel untuk mempertahankan diri dari serangan Kelompok Hamas. Von der Leyen tidak menyebutkan solusi dua negara sebagai solusi permasalahan dan dukungannya terhadap warga Gaza, bagian dari posisi kebijakan Uni Eropa.
Akibatnya, 800 orang staf UE mengirimkan surat terbuka, memprotes pernyataannya dan menyebutnya sebagai bias. Apalagi, tak lama setelah serangan Hamas ke Israel, Von der Leyen langsung terbang ke Tel Aviv dan menyatakan dukungan penuhnya terhadap Israel.
Posisi Von der Leyen dipandang sangat pro-Israel. Apalagi dalam pernyataanya, dia tidak menyerukan Israel untuk mematuhi hukum internasional karena telah mengebiri hak-hak dasar rakyat Palestina dengan memotong aliran listrik, air, bahan bakar hingga pemboman terhadap Gaza.
Seorang pejabat senior UE, dikutip dari laman Politico, menuding Von der Leyen mengungkapkan pandangan pribadinya yang tidak seimbang dan bias. Dia mengingatkan bahwa posisi UE adalah untuk membantu terbangunnya kembali proses perdamaian di Timur Tengah sebagai satu-satunya solusi yang mungkin untuk Gaza saat ini.
“Kebijakan luar negeri diputuskan oleh negara-negara anggota, oleh Dewan Eropa. Selebihnya, dengan penuh hormat, yang disampaikan adalah pendapat pribadi,” kata pejabat tersebut.
Raja Yordania, Abdullah, mengkritik keras pernyataan Von der Leyen. Dia menilai sikap Von der Leyen bisa dipandang sebagai memandang rendah hak hidup warga Palestina, khususnya di Gaza, dibandingkan dengan warga Israel. Sang Istri, Ratu Rania, dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi CNN menuding negara-negara Barat menerapkan standar ganda dalam konflik ini.
Baca juga : EUBAM, Antara Cita-cita dan Realitas yang Gagap
Menteri Luar Negeri Belanda Hanke Bruins Slot, saat ditemui di kediaman Duta Besar Belanda di Jakarta, Selasa (31/10/2023) malam, tidak mau terlalu banyak mengelaborasi soal perbedaan pandangan negara-negara UE ini. Dia menyebut sikap UE satu, yaitu meminta Israel membuka koridor kemanusiaan untuk Gaza.
Spektrum yang Luas
Deputi Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Irlandia Micheal Martin, saat berbicara di Forum Global Irlandia pekan lalu di Dublin, Selasa (24/10/2023), mengakui ada perbedaan sikap antara negara-negara anggota UE. Martin, secara diplomatis menyebut perbedaan pandangan ini dengan istilah spektrum yang luas karena latar belakang sejarah dan pandangan politik, termasuk Von der Leyen. “Sebagai seorang yang memiliki darah Jerman di dalam tubuhnya, seperti ada kewajiban bagi Jerman untuk melindungi Israel,” katanya.
Setelah blunder yang dilakukan sejumlah pemimpin UE, Martin menyebut, Dewan Eropa bergerak cepat dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan terbaru, hasil pembicaraan bersama negara-negara anggota. Martin menyatakan, dalam berbagai pertemuan darurat yang dilakukan secara maraton, dia menilai ada keinginan yang kuat dari negara-negara anggota UE tentang perlunya jeda kemanusiaan dan gencatan senjata.
Baca juga : Irlandia, Suara Berbeda di Eropa Menyikapi Perang Gaza
“Meski tidak semua sepakat, sejumlah wakil negara menginginkan hal itu (jeda kemanusiaan untuk membangun koridor pengiriman bantuan dan gencatan senjata),” kata Martin.
Irlandia sendiri dalam beberapa pernyataan menyatakan sikap yang agak berbeda dengan negara besar Eropa, seperti Inggris, Jerman dan Perancis yang secara terang-terangan membela Israel. Jerman dan Inggris bahkan secara terbuka menyatakan akan membantu persenjataan yang dibutuhkan militer Israel. Sikap yang senada dengan sekutu utama Israel, Amerika Serikat.
Martin mengingatkan kondisi sekarang ini bisa terjadi karena negara-negara barat tidak cukup memberi dukungan terwujudnya solusi politik yang damai. Otoritas Palestina, menurutnya, juga telah kehilangan kredibilitasnya di mata rakyat Palestina.
Martin mengingatkan, gencatan senjata perlu terus didorong karena hal ini memberi jaminan rasa aman bagi semuanya. “Pengeboman terus menerus di Gaza akan menciptakan generasi baru martir di masa depan," ujarnya.
“Tidak boleh ada hukuman kolektif terhadap warga Gaza. Jangan sampai tindakan balasan menghancurkan kehidupan warga Gaza dan jangan sampai menghalangi warga untuk mengakses bantuan kemanusiaan, seperti makanan, air, obat-obatan untuk rumah sakit serta bahan bakar,” katanya.
Baca juga : Makna dari Aksi Kota-kota di Inggris Akui Negara Palestina
Sementara, Slot, saat memberikan kuliah umum di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok, Bogor, menyebut, munculnya gerakan anak-anak muda, termasuk gerakan pemuda Islam dan Yahudi yang menyuarakan keinginan untuk terjadinya gencatan senjata dan perdamaian di Gaza, harus didengar, termasuk di Belanda sendiri.
“Gerakan ini melambangkan sebuah dialog. Apa yang mereka sampaikan adalah sebuah harapan, bagi keamanan dan masa depan semua,” katanya.
Sengkarut
Mengutip penelitian Sinem Akgul-Acikmese, Kristina Kausch dan Soli Ozel yang diterbitkan oleh Barcelona Center for International Affairs (CIDOB) pada Februari 2023, perbedaan internal tentang permasalahan Palestina-Israel ini dipengaruhi banyak faktor, termasuk evolusi politik dalam negeri masing-masing anggota yang akhirnya memengaruhi kebijakannya. Ketiga peneliti membagi negara-negara ini dalam tiga kelompok besar : pertama adalah kelompok negara yang menekankan hak asasi manusia (HAM) dan hukum internasional sebagai basis kebijakan mereka.
Negara-negara yang masuk dalam kelompok ini antara lain adalah Irlandia, Belgia, Swedia dan Luksemburg. Mereka dicap sebagai negara pro-Palestina.
Kelompok negara ke dua adalah kelompok negara yang menekankan pada keseimbangan dan hubungan baik antara Israel dan Palestina. Negara yang masuk dalam kelompok ini adalah Denmark, Swedia, Perancis, Jerman dan Spanyol. Sementara kelompok ke tiga memiliki kecenderungan berada satu barisan dengan Israel, yakni Austria, Hongaria dan Republik Ceko.
Baca juga : ”Nakba Kedua” di Jalur Gaza
Meski ada tiga kelompok besar negara yang memiliki sikap berbeda dalam memandang persoalan konflik Palestina-Israel, sejatinya negara-negara yang berada di bawah payung UE telah menyepakati Israel dan Palestina adalah bagian dari “tetangga dekat”-nya. Sejak 1970-an, masyarakat Eropa telah menjadikan konflik Israel-Palestina sebagai barometer utama kemampuan UE merumuskan kebijakan luar negerinya.
Sejak tahun 2003, UE secara eksplisit menugaskan dirinya untuk menjadi bagian dari upaya penanganan konflik Palestina-Israel. Mediasi konflik Palestina-Israel disebut dalam dokumen Strategi Keamanan Eropa sebagai prioritas untuk diselesaikan. Tiga tahun kemudian, dalam dokumen Strategi Global UE 2016, disebutkan bahwa misi UE adalah menangani konflik Palestina-Israel serta mendorong prospek solusi dua negara berdasarkan perbatasan 1967 dan menciptakan kondisi untuk negosiasi yang adil.
Tindakan aktif UE di lapangan diantarnaya adalah pembentukan delegasi Komisi Eropa di Tel Aviv sejak tahun 1981 dan kantor perwakilan UE di Tepi Barat dan Jalur Gaza sejak tahun 1984. Bersama dengan misi Kebijakan Keamanan dan Pertahanan Bersama (CSDP) serta perwakilan Departemen Bantuan Kemanusiaan Komisi Eropa (ECHO) mengatur bantuan untuk Palestina, UE mencoba membangun Palestina dari dalam sekaligus terus mendorong solusi dua negara.
UE adalah penyedia bantuan eksternal terbesar bagi Palestina. Pada tahun 2017–2020, pendanaan UE di bawah European Neighbourhood Instrument (ENI), yang merupakan instrumen keuangan utama bagi Palestina, berjumlah 1,28 miliar euro. Tahun 2021-2024, UE berencana menyediakan bantuan hingga 1,152 miliar euro melalui program Instrumen Lingkungan, Pembangunan, dan Kerja sama Internasional (NDICI).
Baca juga : Pelapor PBB: Israel Bukan Bela Diri di Gaza
Ketiga peneliti, yakni Sinem Akgul-Acikmese, Kristina Kausch dan Soli Ozel menyebut meski ada tiga kelompok besar negara dalam memandang persoalan Palestina-Israel, tidak jarang hal itu mencair. Mereka mencontohkan Yunani, yang sebelumnya cenderung mendukung Palestina, kini cenderung pro-Israel karena evaluasi kebijakan pemerintahannya.
Akan tetapi ada juga kelompok negara yang serta merta memperlihatkan dukungannya ke Israel karena UE akan mengeluarkan pernyataan bersama yang isinya mengritik “Kemakmuran untuk Perdamaian”, rencana kerja pemerintahan Donald Trump pada bulan Januari 2020. Negara-negara ini memblokirnya meski UE akan menyatakan bahwa rencana Trump tersebut akan semakin mempersempit wilayah Negara Palestina (berpihak pada Palestina).
“Dalam beberapa kasus, kebijakan negara-negara tersebut bukanlah melobi agar UE mempunyai posisi tertentu. Namun, agar UE tidak melontarkan kritik apa pun pada Israel,” tulis para peneliti dalam laporannya.
Selain itu, Perjanjian Abraham yang menjadi bagian dari upaya AS untuk memotori normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab dinilai tidak menyentuh permasalahan sesungguhnya, yakni perdamaian dan keamanan regional. Perjanjian normalisasi hampir tidak menyertakan syarat yang berkaitan dengan hak dasar rakyat Palestina.
Baca juga : Posisi Iran dan Proksinya dalam Perang Gaza
Perjanjian itu hanya memberikan legitimasi pada Israel untuk memulai hubungan baik dengan banyak negara di dunia tanpa memberikan perlu memberikan jaminan atau investasi dalam proses perdamaian dengan Palestina. Tim peneliti menemukan kebingungan di antara para pengambil kebijakan di dalam UE tentang cara menyikapi perjanjian itu.
Kebijakan untuk tidak menjalin komunikasi dengan Kelompok Hamas, juga berpengaruh terhadap kemampuan UE dan lembaga-lembaganya untuk memiliki jangkauan yang luas terhadap aktor-aktor politik Palestina. Untuk menjangkau kelompok-kelompok militan, seperti Hamas dan Jihad Islam, hanya bisa melalui negara penghubung, yakni Qatar atau Iran, Turki. Pada saat yang sama, pengaruh Otoritas Palestina telah merosot drastis di mata rakyatnya.
Ketiga peneliti menilai, meski secara ekonomi dan sosial UE memiliki dampak di Palestina, tetapi, mereka tidak memiliki pengaruh politik yang signifikan. Konsensus internal adalah hambatan terbesar bagi UE untuk memiliki pengaruh pada upaya perdamaian di Palestina-Israel.
Langkah yang bisa dicoba oleh UE, menurut mereka, adalah mengoptimalkan komunikasi internal, mengembangkan proses konsensus politik serta memanfaatkan program bantuan dengan bekerja bersama lembaga lain untuk mengemas, mendorong semuanya menjadi bagian dari perjanjian keamanan regional yang lebih besar. (Reuters)