Raja Charles III: Tidak Ada Alasan Pembenar untuk Kolonialisme
Di Kenya, Raja Charles III menyesalkan kolonialisme Inggris di masa lampau. Tidak ada alasan pembenar bagi penjajahan. Akan tetapi, dia tidak meminta maaf.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Di bawah rintik hujan, Raja Charles III dan permaisurinya, Camilla, berjalan di atas karpet merah di Taman Uhuru, Nairobi, Kenya, Selasa (31/10/2023) siang. Didampingi Presiden Kenya William Ruto, Charles III dan Camilla meletakkan karangan bunga di lokasi yang dikenal sebagai makam prajurit tak dikenal itu.
Pada Selasa malam, di acara makam malam kenegaraan, Charles III membahas hubungan Inggris-Kenya di masa lalu dan peluangnya di masa depan. Dalam pidatonya, Charles III menyebut penjajahan Inggris di Kenya tidak bisa dibenarkan.
”Ada tindakan kekerasan yang menjijikkan dan tidak dapat dibenarkan yang dilakukan terhadap rakyat Kenya saat mereka berjuang untuk kemerdekaan dan kedaulatan. Dan, untuk itu, tidak ada alasan (yang bisa membenarkan Inggris terhadap rakyat Kenya),” kata Charles.
Charles III juga menyebut, kesalahan yang dilakukan oleh para pendahulunya adalah penyebab kesedihan terbesar. Dia berharap bisa bertemu dengan beberapa anggota keluarga atau komunitas yang terkena dampak dari kekejaman yang dilakukan negaranya pada masa lampau.
Ia juga mengakui, pernyataannya di Nairobi maupun tindakan lain Inggris di masa kini tidak akan mengubah masa lalu. ”Namun, dengan menyikapi sejarah kita dengan kejujuran dan keterbukaan, kita mungkin dapat menunjukkan kekuatan persahabatan kita saat ini. Dengan melakukan hal ini, saya berharap kita dapat terus membangun ikatan yang lebih erat di tahun-tahun mendatang,” katanya.
Ia menyebut Kenya bermakna khusus baginya dan keluarganya. Kenya adalah tempat Ratu Elizabeth II, ibu Charles III, mengetahui statusnya berubah dari Putri Mahkota menjadi Ratu Inggris.
Raja George VI meninggal kala Elizabeth dalam perjalanan di Kenya pada 1952. Sejak itu sampai 2022, Elizabeth II menjadi kepala negara Inggris dan belasan negara lain selama 70 tahun.
Taman kebebasan
Charles III menyatakan itu setelah mengunjungi lokasi yang menjadi simbol penting bagi kedua negara. Dalam bahasa Swahili, Uhuru berarti kebebasan. Taman Uhuru dibangun di bekas tempat pusat penahanan warga Kenya oleh pasukan pendudukan Inggris. Pusat penahanan itu beroperasi pada 1952-1960. Tahanan di sana terutama para pejuang kebebasan Kenya.
Masa itu dikenal sebagai periode darurat dan berdarah. Setidaknya 10.000 orang, mayoritas dari suku Kikuyu, tewas. Selain itu, ada puluhan ribu orang ditangkap lalu ditahan tanpa melewati pengadilan. Di tempat penahanan sering terdengar penyiksaan hingga eksekusi tanpa perintah pengadilan.
Karena itu, Rutto menghargai pernyataan Charles III. Keberanian Charles III membahas fakta tidak menyenangkan dalam hubungan Inggris-Kenya adalah modal penting untuk kemajuan berikutnya. Pernyataan Charles III melampaui ketidakjelasan sikap Inggris selama ini.
Ada tindakan kekerasan yang menjijikkan dan tidak dapat dibenarkan yang dilakukan terhadap rakyat Kenya saat mereka berjuang untuk kemerdekaan dan kedaulatan. Dan, untuk itu, tidak ada alasan.
Sebelum ini, memang para pejabat Inggris tidak pernah membuat pernyataan setegas Charles III. Menjelang kunjungan ke Kenya pada 2005, Perdana Menteri Gordon Brown malah menyebut Inggris harus berhenti meminta maaf atas ulah nenek moyangnya.
Bahkan, Brown malah mengajak pemuda Inggris bangga dengan kolonialisme Inggris di Afrika. Sebab, kolonialisme itu dipandang sekaligus menyebarkan nilai kebebasan dan toleransi.
Selanjutnya pada 2013, Menteri Luar Negeri Inggris Willaim Hague menyatakan penyesalan atas penjajahan Inggris di Kenya. Meski demikian, tidak ada permintaan maaf.
Lalu, beberapa hari sebelum Charles III tiba di Kenya, Komisi Hak Asasi Manusia Kenya mendesak Charles III meminta maaf secara terbuka di Kenya. Komnas HAM Kenya juga mendesak Inggris membayar ganti rugi atas pelanggaraan-pelanggaran yang dilakukan di masa kolonial.
Pada 2013, London memang sepakat memberi kompensasi total 20 juta pound sterling untuk lebih dari 5.000 warga Kenya. Penerima adalah korban kekerasan Inggris pada 1952-1960.
Karena itu, meski ada apresiasi dari Rutto untuk Charles III sebagian warga Kenya tidak menghargainya. Sebab, Charles III juga tidak meminta maaf atas penjajahan Inggris. ”Dampak negatif penjajahan masih terasa sampai saat ini. Dampaknya diturunkan dari generasi ke generasi, dan wajar jika raja meminta maaf untuk memulai proses penyembuhan,” kata Simson Mwangi (22), seorang sopir pengantar barang.
Memang, tidak semua warga Kenya mengharapkan Inggris meminta maaf. Maureen Nkatha (33) menyebut, hal terpenting adalah melangkah maju dan tidak mengulangi lagi kesalahan lama. ”Dia (Charles) tidak perlu meminta maaf. Ini saatnya kita melangkah maju dan maju,” ujarnya.
Kenya dan Inggris adalah mitra ekonomi. Nilai perdagangan kedua negara mencapai 1,5 miliar dollar AS hingga Maret 2023. Inggris juga membantu Kenya untuk mengatasi berbagai tantangan pembangunan, khususnya perubahan iklim. (AFP/AP)