Serangan yang diduga dilakukan militer Myanmar menewaskan puluhan pengungsi. Pada saat yang hampir bersamaan, banjir di wilayah selatan Myanmar memaksa belasan ribu warga mengungsi.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
BANGKOK, SELASA — Selepas kudeta militer pada Februari 2021, rakyat Myanmar terus dirundung duka. Dalam dua hari terakhir, negeri itu dikejutkan dengan berita serangan udara di wilayah utara dan banjir di wilayah selatan.
Pada Senin (9/10/2023), 29 warga sipil, sebelas di antaranya anak-anak, dikabarkan tewas dalam serangan udara dan artileri yang diduga dilakukan militer Myanmar. Para korban tinggal di sebuah kamp pengungsian di Negara Bagian Kachin. Juru bicara Tentara Pembebasan Kachin, Kolonel Naw Bu, mengatakan, selain menewaskan 29 warga sipil, serangan itu juga melukai 57 orang.
Serangan terjadi pada Senin malam sekitar pukul 23.00. Naw Bu mengatakan, belum ada kejelasan bagaimana serangan itu bisa terjadi, apalagi itu terjadi di tengah malam. Mengutip media lokal, Kachin News Media, kantor berita Associated Press (AP) menyebutkan, korban tewas terbunuh akibat serangan bom yang dijatuhkan dari pesawat tempur.
Kepada AP, Selasa (10/10), juru bicara Pengawas Hak Asasi Manusia Kachin, Jacob, mengatakan, serangan udara dan artileri militer diarahkan ke kamp pengungsi Mung Lai Hkyet. Kamp tersebut dekat kota Laiza yang berada tak jauh dari perbatasan Myanmar-China. ”Kami mengecam keras pembunuhan tak berperikemanusiaan ini. Serangan ini menimbulkan kebencian di kalangan masyarakat Kachin,” kata Jacob.
Kecaman juga datang dari National Unity Government (NUG), pemerintah bayangan di Myanmar. NUG menegaskan, dunia harus mengambil tindakan untuk menghentikan kekejaman itu dan mengadili para petinggi militer Myanmar. ”Tindakan junta militer itu merupakan kejahatan perang dan kejahatan melawan kemanusiaan,” kata juru bicara NUG, Kyaw Zaw.
Ia menambahkan, serangan di perbatasan China itu menandakan junta militer Myanmar tidak menghormati permintaan negara-negara di sekitar Myanmar untuk menjaga perdamaian dan stabilitas. Seorang aktivis mahasiswa yang dipanggil Justin dan tengah berada di Laiza mengatakan, seluruh kota merasakan guncangan ledakan dari serangan itu. Warga pun mengungsi.
”Kami terus waspada karena kami khawatir bisa saja ada serangan bom kedua,” katanya.
Junta militer Myanmar membantah tudingan tersebut. Dalam pernyataan melalui telepon kepada televisi pemerintah MRTV, juru bicara junta, Mayor Jenderal Zaw Min Tun, menegaskan bantahan itu. Ia juga menambahkan, ledakan itu mungkin saja berasal dari amunisi kelompok pemberontak etnis.
”Kami sedang menyelidikinya. Kami selalu menjaga situasi di perbatasan itu damai,” kata Zaw Min Tun kepada People Media. Lantas, ia menjelaskan bahwa militer Myanmar memiliki kapabilitas untuk menyerang markas semua kelompok pemberontak Myanmar.
Situasi di Myanmar saat ini sedang kacau setelah militer menggulingkan pemerintahan terpilih pimpinan Aung San Suu Kyi pada Februari 2021. Kudeta itu memicu pertentangan luas di kalangan rakyat. Setelah unjuk rasa damai warga ditanggapi dengan tekanan militer yang mematikan, para penentang junta militer mengangkat senjata. Sikap itu memicu konflik di sebagian besar wilayah di Myanmar.
Banjir
Di saat konflik berdarah terjadi di bagian utara Myanmar, warga di bagian selatan negeri itu dirundung derita karena bencana alam. Hujan deras yang mengguyur wilayah selatan Myanmar merendam area datar dan jalur kereta yang menghubungkan kota-kota besar di Myanmar.
Lebih dari 14.000 orang mengungsi setelah banjir menggenangi wilayah Bago. Siaran MRTV, Senin petang, melaporkan, jumlah pengungsian di kota Bago yang terletak 68 kilometer timur laut Yangon terus bertambah. Sejumlah sekolah dan biara Buddha juga digunakan sebagai tempat mengungsi.
”Ini pertama kali rumah saya kebanjiran sepanjang hidup saya,” kata Phwar Than Hme kepada kantor berita AFP di biara tempat ia mengungsi. ”Tetangga saya dan petugas penyelamat mengatakan kepada saya untuk tidak tinggal di rumah dan pergi ke kamp. Mereka menggendong saya dan membawa saya ke sini,” katanya.
Pejabat Senior Kementerian Kesejahteraan Sosial, Bantuan, dan Permukiman Kembali Myanmar Lay Shwe Zin Oo mengatakan, hujan yang terus-menerus mengguyur wilayah Bago mulai akhir pekan lalu membuat wilayah kota Bago yang rendah kebanjiran. Meski begitu, belum ada laporan korban jiwa.
Pada Minggu (8/10/2023), Departemen Meteorologi Myanmar melaporkan wilayah Bago diguyur hujan dengan intensitas 200 milimeter dalam 24 jam. Itu merupakan rekor hujan tertinggi dalam 59 tahun. Hujan deras diperkirakan terus berlanjut hingga Senin atau Selasa. (AP/AFP/Reuters)