"Global South" Miliki Peran Arahkan Dunia
Di bawah Presiden Lula da Silva, Brasil bersikap berbeda. Menjalin kembali hubungan dengan negara tetangga dan institusi internasional hingga merangkul negara-negara untuk sama-sama menjaga hutan hujan tropis di Amazon.
Di bawah Presiden Luiz Inacio Lula da Silva, kebijakan luar negeri Brasil terlihat lebih segar, lebih “bersahabat” dengan mitra-mitranya di Kawasan dan juga di luar Kawasan. Tak hanya itu, beberapa kebijakan yang prolingkungan, juga sejak awal telah dicetuskan oleh Presiden Lula sebagai upaya pemenuhan janji kampanyenya.
Tak hanya mencoba memperbaiki situasi di dalam negeri, gerak Brasil juga terlihat lebih lincah dengan melibatkan diri dalam aliansi ekonomi lintas kawasan, BRICS. Di KTT BRICS Johannesburg, Afrika Selatan, aliansi ekonomi yang dimotori kekuatan ekonomi baru dunia, yaitu China, India dan Brasil, menerima enam anggota baru, di antaranya Uni Emirat Arab, Mesir, Arab Saudi, serta Iran. Masih ada sekitar 40 negara lagi yang diklaim ingin bergabung dengan aliansi ini.
Indonesia sempat disebut-sebut berminat untuk menjadi anggota aliansi, meski hingga pelaksanaan KTT usai, taka da pernyataan resmi mengenai hal ini.
BRICS sendiri dipandang banyak analis sebagai upaya negara-negara selatan-selatan atau yang kini sering kali disebut sebagai global south menyatukan diri membentuk kekuatan ekonomi baru. Tidak ada pernyataan apakah kerja sama global south ini sebagai tandingan organisasi serupa yang sudah ada sebelumnya atau tidak, akan tetapi banyak yang menilai aliansi baru ini adalah “pemberontakan” atau bahkan pembangkangan terhadap tata kelola pemerintahan global yang menguntungkan segelintir negara semata, dalam hal ini negara maju.
Baca juga : Lula Menang, Pemerintahan Haluan Kiri Kembali ke Brasil
Kompas mendapat kesempatan untuk mewawancarai Menteri Luar Negeri Brasil Mauro Vieira yang tengah berada di Jakarta selama beberapa hari untuk melakukan pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan sejumlah pengusaha di Jakarta, untuk membahas kerja sama kedua negara.
Berikut petikan wawancara yang dilakukan secara tertulis :
Tanya : Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva saat berada di Sidang Majelis Umum PBB menyebut bahwa Brasil kembali terhubung dengan kawasan dan global. Bisakah Anda mengelaborasi hal ini? Dan bagaimana Pemerintah Brasil melihat situasi dan kondisi global saat ini?
Jawab : Membangun kembali jembatan dengan mitra kami di seluruh dunia merupakan prioritas nomor satu pada bulan Januari, ketika Presiden Lula mulai menjabat. Dan, seperti yang disampaikan Presiden dalam pidatonya di Majelis Umum PBB, kami perlu fokus pada upaya untuk berhubungan kembali dengan dunia. Alasannya cukup sederhana dan sudah diketahui umum: di bawah pemerintahan sebelumnya, Brasil mengabaikan dan sering bersikap bermusuhan pada negara tetangga, mitra strategis di kawasan lain, dan lembaga internasional.
Brasil kembali ke strategi kebijakan luar negeri tradisionalnya, yang berarti melanjutkan hubungan konstruktif dengan dunia dan memperbaiki kesalahan-kesalahan serius tersebut. Sektarianisme dalam kebijakan luar negeri adalah salah satunya, dan hal ini menyebabkan situasi isolasionisme yang belum pernah terjadi sebelumnya. Untungnya, masa-masa itu sudah berakhir.
Instruksi pertama yang sama terima dari Presiden Lula adalah untuk membangun kembali jembatan yang rusak dengan dunia, terutama dengan negara-negara tetangga kami serta negara mitra utama kami di Amerika, Eropa, Asia dan Afrika. Hal itulah yang menjelaskan mengapa jadwal presiden sangat padat karena banyaknya pertemuan, termasuk pertemuan bilateral. Dalam sembilan bulan pertama masa pemerintahan Presiden Lula, dia telah bertemu dengan 55 kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden Lula juga sudah bertemu dua kali dengan kepala negara serta kepala pemerintahan Kawasan Amerika Selatan. Salah satunya adalah saat KTT Amazon, Agustus lalu ketika Brasil mengangkat isu mengenai pengelolaan Amazon.
Saya sendiri sudah terlibat dalam 143 kali pertemuan bilateral dengan menteri luar negeri negara mitra dan sahabat Brasil, kepala pemerintahan/kepala negara serta lembaga-internasional, termasuk badan-badan PBB. Dari jumlah tersebut, 70 di antaranya adalah Menteri luar negeri. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dan angka-angka di atas merefleksikan usaha dan kerja yang tengah kami jalankan.
Baca juga : Kemenangan Lula di Brasil Bukan Sekadar Perkara Ideologi
Presiden sudah sangat jelas tentang pentingnya melakukan reformasi tata Kelola pemerintahan global dan Lembaga-lembaganya untuk menghadapi dan mengelola tantangan yang dihadapi umat manusia, seperti kemiskinan dan ketidaksetaraan, perubahan iklim dan transisi energi. Di saat Brasil akan memegang Keketuaan G20 mulai Bulan Desember nanti, beberapa masalah di atas akan menjadi perhatian dan prioritas utama Brasil.
Dalam perjalanan Brasil untuk mewujudkan dunia yang lebih setara, Brasil memiliki aliansi dengan negara-negara di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kunjungan saya kali ini ke Jakarta, Kamboja dan Filipina mencerminkan perkembangan hubungan ekonomi Brasil dengan Kawasan ini dan juga bagian dari kebijakan Brasil untuk mendukung pembangunan di negara-negara berkembang yang menjadi mitra aliansinya. Negara-negara anggota ASEAN adalah contoh bagaimana sebuah negara, bangsa, menavigasi tata Kelola pemerintahan global yang kompleks sekaligus tetap mengupayakan sentralitasnya (disebut sebagai otonomi ASEAN)
Saya berkunjung ke Jakarta untuk membawa pesan bahwa Brasil tidak hanya sebagai mitra dagang dan ekonomi yang relevan, yang itu sudah pasti, akan tetapi juga menjadi rekan – sekutu untuk membentuk tatanan internasional, di mana negara berkembang bisa mendapat tempat dan menyuarakan kepentingannya lebih kuat lagi.
Tanya : Apakah Brasil melihat dunia tengah terjebak dalam era Perang Dingin baru? Apa yang bisa Brasil dan negara-negara Global South lakukan untuk mengurangi dampak pertikaian baru dalam sistem internasional ini dan apa yang bisa diperkuat?
Jawab : Meski ada elemen persaingan geopolitik dalam lanskap tatanan internasional sekarang ini, termasuk perang yang tengah berkecamuk di Eropa dan ketegangan di berbagai Kawasan lain, kita, pada satu titik tertentu, tidak perlu terburu-buru untuk mengambil kesimpulan bahwa dunia tengah mengalami periode “Perang Dingin” yang baru. Kita pastinya tidak sedang terjebak dalam perang dingin yang baru dan harus menghindarinya (menghindari perang dingin) karena hal ini akan membuat tekanan dan ancaman yang harus kita hadapi lebih berat.
Bahkan, sebenarnya, kita tengah terjebak dalam krisis iklim yang mengancam keberadaan seluruh umat manusia dan bahaya itulah yang seharusnya menjadi prioritas utama. Sebagai contoh, negara-negara maju telah sudah lama terlambat untuk memenuhi komitmen yang mereka buat pada tahun 2009, untuk menghibahkan 100 juta dolar per tahun untuk membantu negara-negara miskin berkembang memitigasi krisis iklim. Komitmen itu hingga saat ini belum terwujud, dana yang dijanjikan itu belum bertambah jumlahnya dan sejak saat itu kebutuhan terhadap bantuan keuangan serta sumber teknologi (untuk memitigasi krisis iklim) terus meningkat. Saat ini, 100 juta dolar per tahun tidak mencukupi lagi.
Baca juga : Masyarakat Adat Amerika Selatan Minta Amazon Jadi Hutan Lindung
Tantangan kemiskinan dan kesenjangan juga harus diatasi dengan pendanaan yang tepat. Namun yang kita lihat adalah pengeluaran militer tahunan sebesar 2 triliun dolar AS, seperti yang disebutkan Presiden Lula dalam pidatonya di PBB. Itu tidak masuk akal.
Negara-negara Global South memiliki peran penting untuk menyetir, mengarahkan diskusi global ke arah yang benar, menjauh dari konsep Perang Dingin yang usang, lawas serta konsep yang salah arah (saat ini). Kita bisa mencapai kesuksesan jika mengingatkan negara-negara maju bahwa mereka memiliki tanggung jawab dan komitmen publik, begitu juga retorika yang tidak koheren (tidak sebangun) dengan tindakan konkret yang ditujukan untuk menghadapi ancaman-ancaman nyata yang telah saya sebutkan di atas.
Kondisi yang tidak sengaja tercipta telah menempatkan empat negara berkembang, Indonesia, India, Brasil dan Afrika Selatan, memimpin negara-negara Kelompok 20 atau G20, empat tahun berturut-turut, dari 2022-2025. Dan, pada masa keketuaan Brasil tahun depan, diplomasi Brasil akan memastikan memprioritaskan agenda bermasalah yang tengah dihadapi masyarakat global saat ini dan mendesak tindakan nyata, efektif dan terokestrasi dari masyarakat internasional.
Tanya : Apakah kita memerlukan tatanan global baru? Di mana posisi Brasil dalam politik kawasan dan global untuk mencari keseimbangan baru antara Barat-Timur, Utara-Selatan?
Jawab : Adalah sangat jelas bahwa institusi yang didirikan pasca Perang Dunia II tidak memiliki pengaruh politik dan keterwakilan yang diperlukan untuk menyelesaikan berbagai tantangan dan ancaman bagi umat manusia saat ini. PBB, Dewan Keamanan PBB serta berbagai lembaga uang bersandar pada prinsip Bretton Woods tidak lagi bisa merefleksikan realita abad ke 21. Dan, hal itu membahayakan kemampuan masyarakat internasional/global untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Bahkan WTO yang didirikan tahun 1995 telah memperlihatkan sejumlah kegagapan atau kecacatan? beberapa tahun terakhir dan hal itu tidak bisa ditoleransi lagi oleh negara-negara, seperti Brasil dan Indonesia, yang bergantung pada sistem kerja sama multilateralisme.
Kita harus meletakkan gagasan bersama, secara kolektif, tatanan global yang baru dan yang lebih efisien, karena tatanan global yang lama sebentar lagi akan memasuki usia 80 tahun. Reformasi menjadi sebuah hal yang mendesak saat ini. Tidak melakukan aksi apa pun bukan pilihan saat ini.
Kebijakan luar negeri Brasil selama tiga dekade terakhir telah mendedikasikan waktu dan sumber daya untuk membawa hal-hal ini menjadi pusat perhatian dan diskusi bersama. Sidang Majelis Umum PBB baru-baru ini di New York menunjukkan ada momentum yang semakin berkembang dan mendukung yang mendorong diskusi atau bahkan debat tentang reformasi tata kelola pemerintahan global. Sejauh menyangkut Brasil, kami akan mendedikasikan upaya terbaik kami untuk meloloskan agenda (reformasi) ini, yang tanpanya akan sangat sulit untuk mewujudkan kemajuan kolektif yang telah diharapkan dan diimbau oleh masyarakat di seluruh dunia.
Baca juga : Seruan Reformasi PBB Kian Santer
Tanya : Indonesia dan Brasil sama-sama disebut sebagai paru-paru dunia, negara pemilik hutan hujan tropis alami. Bukan tugas mudah saat ini. Tapi, Brasil, hanya dalam beberapa bulan telah menyatakan mampu mengurangi laju deforestasi hingga 30 persen. Dalam pandangan Brasil, bagaimana seharusnya negara pemilik hutan mengelola dan melindungi hutan-hutannya yang sangat penting di tengah krisis iklim? Apakah Brasil juga akan menuntut dana 100 juta dolar AS yang menjadi komitmen negara-negara maju untuk membantu mengurangi dampak iklim?
Jawab : Indonesia dan Brasil adalah dua negara pemangku kepentingan yang relevan dalam perdebatan global melibatkan hutan hujan tropis alami (tropical rainforest) dan ancaman yang dihadapi, yang menjadi elemen kunci gambaran keseluruhan tentang perubahan iklim global. Dialog yang konstruktif antara kedua negara akan sangat penting bagi dunia.
Kabar gembira dari Brasil adalah pencegahan laju deforestasi atau penggundulan hutan adalah tugas yang layak dilakukan. Tren percepatan laju deforestasi di Kawasan, yang tercatat pada pemerintahan sebelumnya, kini berbalik arah. Hanya dalam waktu delapan bulan, laju deforestasi hutan Amazon di Kawasan berkurang sebesar 48 persen.
Baca juga : BRICS dan Fragmentasi Global
Lingkungan hidup dan konsep pembangunan berkelanjutan – dalam tiga pilarnya, aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidup – merupakan landasan kebijakan luar negeri dan dalam negeri Presiden Lula. Hal ini telah terlihat jelas sejak hari pertama pemerintahannya, pada bulan Januari, ketika pemerintah menindak operasi penambangan ilegal yang berkembang pada masa pemerintahan sebelumnya, di wilayah Amazon. Warisan kerusakan lingkungan dan krisis kemanusiaan yang mengancam keberadaan kelompok etnis asli, seperti ianomâmis, ditangani dengan segera, dan penolakan keras dari Negara Brazil, kepolisian, dan angkatan bersenjata memberikan hasil yang baik dalam hitungan minggu.
Kami juga berkoordinasi dengan negara-negara tetangga yang Sebagian wilayahnya melingkupi Kawasan Amazon untuk mengembangkan kebijakan Bersama guna mengatasi tantangan di Kawasan. Bulan Agustus lalu, Presiden Lula menjadi tuan rumah delapan negara di Kawasan Amazon. Indonesia juga diundang untuk hadir dan ikut serta di dalamnya. Hasil dialog tersebut kami bagikan ke komunitas internasional pada UNGA kemarin dan juga akan dipresentasikan pada COP 28 yang akan diadakan di Uni Emirat Arab. Brasil juga akan menjadi kandidat tuan rumah COP ke-30 dan rencananya akan diadakan di jantung Amazon, di Kota Belem, yang kemarin menjadi tuan rumah KTT Amazon.
Lihat juga : Wajah Kekeringan yang Melanda Amazon
Jelas bahwa negara-negara maju tidak memenuhi peran yang dijanjikannya dalam mengatasi krisis iklim, baik dalam hal pendanaan maupun pembatasan emisi melalui kebijakan tegas menuju transisi energi. Dalam hal ini, Brasil juga telah menjadi negara terdepan dan juga memiliki praktik terbaik yang dapat dibagikan, karena matriks energi kita termasuk yang terbersih di dunia. Sekitar 87 persen pasokan energi listrik kita berasal dari sumber terbarukan, dan program etanol dan biofuel di Brasil telah menjadi alternatif pengganti bahan bakar fosil selama beberapa dekade.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa kita bisa bergerak menuju tujuan pembangunan berkelanjutan yang seimbang, yang tidak mengabaikan warga negara kita dan kebutuhan mereka.