Lula Menang, Pemerintahan Haluan Kiri Kembali ke Brasil
Ini pemilu presiden paling ketat di Brasil sejak kembali ke pemerintahan demokrasi tahun 1985. Untuk pertama kalinya pula, presiden petahana gagal terpilih kembali.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·4 menit baca
SAO PAULO, SENIN — Dua puluh tahun setelah memenangi jabatan presiden untuk pertama kali, Luiz Inacio Lula da Silva (77) kembali naik ke puncak kekuasaan di Brasil. Ia mengalahkan kandidat petahana, Presiden Jair Bolsonaro, dalam pertarungan sangat ketat, Minggu (30/10/2022). Kemenangan Lula, demikian dia dikenal di dunia, menambah panjang daftar pemimpin berhaluan kiri di Amerika Latin.
Dengan hampir seluruh suara pada pemilihan presiden putaran kedua dihitung, Lula mengantongi 50,9 persen suara, sedangkan Bolsonaro mendapat 49,1 persen. Selisih suara penentu hanya sekitar 2 juta suara. Ini pemilu presiden paling ketat di Brasil sejak kembali ke pemerintahan demokrasi tahun 1985. Untuk pertama kalinya pula, presiden petahana gagal terpilih kembali.
Sekitar pukul 22.00 waktu setempat, tiga jam setelah hasil pilpres masuk, lampu-lampu di Istana Kepresidenan padam. Bolsonaro tidak mengaku kalah dan tidak bereaksi apa pun. Sebelum pemilu, Bolsonaro berulang kali melontarkan klaim yang belum terbukti tentang kemungkinan terjadinya manipulasi suara.
Ketika Lula menyampaikan pidato kemenangan di hadapan pendukungnya pun, Bolsonaro belum menyatakan kalah. ”Hari ini, pemenangnya adalah rakyat Brasil. Ini bukan kemenangan saya atau Partai Pekerja, atau partai-partai yang mendukung saya dalam kampanye. Ini kemenangan gerakan demokratis yang dibangun di atas partai politik, kepentingan pribadi, dan ideologi,” ujar Lula yang menjadi Presiden Brasil pada 2003-2010.
Kemenangan ini menandai kembalinya Lula sebagai ikon haluan kiri yang dinilai karismatik. Ia mengakhiri masa jabatannya tahun 2010 sebagai presiden paling populer dalam sejarah Brasil dengan tingkat persetujuan 80 persen. Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyebut Lula sebagai politisi paling populer di bumi.
Popularitas itu berkat program kesejahteraan besar-besaran yang diterapkan selama dua kali masa jabatannya. Program ini mengangkat hidup jutaan warga kelas menengah Brasil dan meningkatkan perekonomian.
Namun, kesuksesannya ternoda kasus korupsi dan pencucian uang yang membuatnya dipenjara selama 18 bulan. Dakwaan itu kemudian dianulir oleh Mahkamah Agung Brasil dengan alasan hakim yang menjatuhkan keputusan bias dan berkolusi dengan jaksa. Itulah sebabnya, dia bisa maju dalam pemilihan presiden lagi.
Terbelah
Pilpres kali ini juga paling membelah masyarakat Brasil, dengan Lula berhaluan kiri dan Bolsonaro berhaluan kanan. Lula pun menyerukan agar rakyat kembali bersatu. ”Saya akan memerintah 215 juta warga Brasil, bukan bagi mereka yang memilih saya saja. Tidak ada dua Brasil. Kita satu negara, satu bangsa besar,” katanya.
Thomas Traumann, analis politik independen, membandingkan hasil pilpres Brasil dengan pilpres AS yang dimenangi Joe Biden tahun 2020. Ia menyebut Lula mewarisi masyarakat yang sangat terbelah. ”Tantangan besar Lula adalah menenangkan rakyat. Mereka tidak hanya terbelah dalam soal politik, tetapi juga memiliki nilai, identitas, dan opini berbeda. Terlebih lagi, mereka tidak peduli dengan nilai, identitas, dan opini kelompok yang berseberangan,” paparnya.
Carlos Melo, profesor ilmu politik pada Insper University, di Sao Paulo, membandingkan iklim politik kali ini dengan yang dialami mantan Presiden Dilma Rousseff, pengganti Lula setelah masa jabatan kedua. ”Kemenangan Lula berarti Brasil mencoba mengatasi kekacauan politik sejak pemilihan Presiden Rousseff tahun 2014. Pilpres itu seakan tak pernah berakhir. Oposisi meminta penghitungan ulang, dia memerintah di bawah tekanan, dan dimakzulkan dua tahun kemudian. Perpecahan semakin besar dan kemudian Bolsonaro datang,” ujarnya.
Bolsonaro mulai berkuasa empat tahun lalu di tengah kemarahan publik terhadap politik. Ia dikenal sebagai konservatif garis keras dan secara terbuka menyatakan diri sebagai penggemar mantan Presiden AS Donald Trump. Bahkan, dia dijuluki ”Tropical Trump” atau Trump dari wilayah tropis. Pemerintahannya dikritik soal buruknya penanganan pandemi Covid-19 yang menewaskan 680.000 orang dan deforestasi terburuk di hutan hujan Amazon dalam 15 tahun.
Lula juga mewarisi perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi. Ia pun berjanji menambah anggaran untuk membantu warga miskin, membangun kembali hubungan dengan pemerintah asing, dan bertindak keras untuk menghentikan laju deforestasi di Amazon.
Kiri
Kemenangan Lula mengonsolidasikan ”gelombang merah jambu” atau pink tide di Amerika Latin, yakni deretan negara di kawasan itu yang dipimpin orang-orang yang cenderung berhaluan kiri. Dimulai dari Meksiko tahun 2018 dan Argentina tahun 2019, pemerintahan berhaluan kiri terbentuk di Bolivia tahun 2020 bersama Peru, Honduras, dan Chile tahun 2021, kemudian di Kolombia dan Brasil tahun 2022.
The New York Times menyebutkan, setelah bertahun-tahun cenderung berhaluan kanan, Amerika Latin menyaksikan gabungan kekuatan yang memercayakan kekuasaan pada kelompok kiri tersebut. Mereka terpicu oleh kemarahan akibat kemiskinan dan kesenjangan sosial, yang kemudian diperburuk oleh pandemi Covid-19.
Pelantikan Lula dijadwalkan pada 1 Januari 2023. (AP/AFP/REUTERS)