Sebanyak 351 kandidat didaftarkan sebagai calon penerima penghargaan Nobel Perdamaian 2023. Siapakah pemenangnya?
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
OSLO, JUMAT — Seperti biasa, Komite Nobel Norwegia tidak mengeluarkan petunjuk apa pun mengenai calon penerima Nobel Perdamaian. Terlebih dunia saat ini berhadapan dengan masalah global yang saling berkelindan, dari suhu bumi yang makin panas sepanjang tahun, perang di Ukraina yang belum selesai, ruang konflik yang terbuka lebar antarnegara adidaya dan pemilik senjata nuklir, persaingan dagang dan resesi ekonomi, hingga perjuangan kelompok rentan/marjinal untuk ikut menentukan kehidupan mereka. Itu semua membuka peluang bagi usulan bakal calon penerima penghargaan bergengsi ini.
Penerima hadiah Nobel Perdamaian 2023 akan bergabung dengan sejumlah nama yang lebih dulu menerima penghargaan ini. Sebut saja Winston Churchill, Jimmy Carter, Bunda Teresa, Muhammad Yunus, Maria Ressa, hingga lembaga atau gerakan seperti Kampanye Internasional untuk Melarang Ranjau Darat dan Program Pangan Dunia.
Lantaran tingkat kerahasiaannya tinggi, sejumlah lembaga bahkan rumah taruhan mengeluarkan daftar yang diharapkan bisa menjadi rujukan bagi orang-orang yang penasaran tentang siapa yang pantas menjadi pemenang Nobel Perdamaian setiap tahunnya. Tak ketinggalan tahun ini.
Dikutip dari laman penyelenggara, tahun ini panitia menerima 351 kandidat penerima, terdiri dari 259 individu dan 92 organisasi. Menurut panitia, usulan nama kandidat tahun ini terbanyak kedua setelah tahun 2016. Saat itu mereka menerima 376 usulan nama individu dan organisasi.
”Baik nomine dan nominasi Hadiah Nobel Perdamaian tidak boleh diungkapkan sampai 50 tahun berlalu,” tulis panitia.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy kembali digadang-gadang sebagai kandidat penerima Nobel Perdamaian tahun ini. Upayanya dinilai tak kenal lelah untuk mencari keadilan bagi negaranya, terutama saat menghadapi invasi Rusia. Ini dipandang sebagai hal bisa membawa Zelenskyy berada dalam daftar teratas kandidat penerima. Walakin, pada saat yang sama, dia juga meminta negara-negara sekutunya terus mengucurkan bantuan persenjataan.
Namun, Direktur Institut Penelitian Perdamaian Oslo Hendrik Urdal tidak sependapat. ”Saya rasa panel tidak bisa memberikannya kepada pemimpin nasional di tengah perang dua negara,” kata Urdal.
Proyeksi tahunan Urdal tentang calon pemenang hadiah selalu dicermati oleh berbagai kalangan. Meski dia tidak memiliki informasi dari orang dalam, Urdal pernah dengan tepat menebak pemenang penghargaan ini. Pada 2018 dia menyebut dua nama, yakni Denis Mukwege dan Nadia Murad. Tahun berikutnya Abiy Ahmed. Prediksinya tepat pada dua tahun itu. Namun, setelah itu tebakannya meleset.
Tahun ini, pilihan utama Urdal tahun ini jatuh pada aktivis hak asasi manusia Narges Mohammadi dari Iran dan Mahbouba Seraj dari Afghanistan. ”Tahun ini tepat 75 tahun sejak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Jadi, ini akan menjadi penghargaan yang sangat tepat waktunya bagi Narges Mohammadi jika panel ingin fokus pada hak asasi manusia,” kata Urdal.
Mohammadi adalah satu dari tiga jurnalis Iran yang dipenjara dan menerima Penghargaan Kebebasan Pers Dunia dari PBB awal tahun ini. Adapun Seraj, menurut Urdal, memiliki peluang untuk menjadi pemenang karena kerja-kerjanya selama 26 tahun di pengasingan untuk membela hak kelompok perempuan dengan mendirikan sebuah organisasi nirlaba, Jaringan Perempuan Afghanistan dan Organisasi Penelitian Perdamaian dan Solidaritas.
Lembaga penyiaran publik Norwegia, NRK, menyebut peluang Mohammadi atau aktivis Iran lainnya cukup besar karena menyoroti kehidupan perempuan di Iran. Apalagi terjadi protes nasional tahun lalu setelah kematian Mahsa Amini dalam tahanan aparat negara tersebut.
Jika panel tersebut memilih lembaga, bukan individu, Urdal memiliki beberapa kandidat. Mahkamah Internasional (ICJ) yang berbasis di Belanda dan memediasi konflik internasional atau Kelompok Analisis Data Hak Asasi Manusia berbasis di AS yang mendokumentasikan dan menganalisis data tentang pelanggaran hak asasi manusia dinilai layak menerima penghargaan ini.
Pada tahun yang disebut Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres sebagai tahun yang sangat panas, sejumlah pihak berspekulasi penghargaan perdamaian akan diberikan kepada aktivis iklim. Nama yang mencuat di antaranya Greta Thunberg dari Swedia atau Vanessa Nakate dari Uganda. Komite belum pernah memberikan penghargaan Nobel Perdamaian untuk bidang perubahan iklim sejak penghargaan bagi mantan Wakil Presiden AS Al Gore dan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada tahun 2007.
Dalam daftar yang disebut Urdal, dikutip dari laman majalah Time, ada nama Victoria Tauli-Corpuz, aktivis hak-hak masyarakat adat kelahiran Filipina dan Juan Carlos Jintiach, pemimpin masyarakat adat Ekuador sebagai kandidat penerima penghargaan. Urdal percaya kaitan masyarakat adat dengan krisis iklim adalah tema yang dapat menjadi prioritas komite tahun ini.
Satu kandidat lain dari Asia yang masuk dalam daftar Urdal adalah Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun dan Dewan Permusyawaratan Persatuan Nasional Myanmar. Urdal memasukkan keduanya karena peran mereka mengadvokasi demokrasi di negara Asia Tenggara tersebut. (AP)