Gen Z Ogah Pacaran Rumit
Untuk urusan pacaran, Gen Z tak mau susah-susah. Proses simpel, transparan, dan tulus itu saja yang diinginkan.
Beda zaman, beda gaya. Bagi generasi Z atau Gen Z yang berusia awal 20-an, gaya kencan atau pacaran zaman bapak-ibunya atau om-tantenya terlalu rumit, ribet. Gen Z memandang urusan pacaran tidak serumit generasi sebelumnya yakni generasi milenial. Gen Z tidak mau lagi sibuk dan pusing bermain pikiran seperti berusaha keras untuk mendapatkan dan memberikan sinyal yang beragam ke orang yang ditaksir.
Mereka juga lebih memprioritaskan cinta pada diri sendiri dan mencari orang yang tidak ribet juga. Ini semua karena Gen Z lebih mengutamakan kepentingan dan kesehatan mentalnya sendiri. Tetapi karena tak mau melewati proses rumit dan serba deg-degan tidak jelas terlalu lama, mereka menjadi lebih bergantung pada aplikasi-aplikasi kencan.
Baca juga: Mencari Jodoh dalam Aplikasi
Ini merupakan hasil dari survei yang dilakukan aplikasi kencan, Tinder, dan dipublikasikan harian The South China Morning Post, 23 September 2023. Survei Tinder dilakukan pada 4.000 orang berusia 18-25 tahun yang masih lajang dan aktif berpacaran selama kurun waktu Januari-Februari 2023. Sebanyak 4.000 orang lajang lainnya berusia antara 33 dan 38 tahun pada bulan April di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia.
Meski menginginkan proses pacaran yang lebih longgar atau santai, Gen Z tetap mengutamakan faktor “keaslian, keterbukaan, dan mengutamakan kesehatan emosional” dirinya. Mereka tidak mau lagi susah-susah memberikan isyarat tidak jelas dan berlama-lama memainkan perasaan seperti yang diakui dilakukan tiga dari empat responden berusia antara 33 dan 38 tahun sebagai hal umum yang dilakukan ketika mereka masih muda.
Wakil Presiden Komunikasi Asia-Pasifik di Tinder, Papri Dev, menjelaskan Gen Z adalah kelompok yang memprioritaskan kualitas seperti transparansi dan intensionalitas dengan cinta diri dan kepuasan pribadi sebagai pertimbangan utama. “Sekitar 80 persen dari remaja berusia 18-25 tahun membenarkan perawatan diri menjadi prioritas utama mereka saat berpacaran dan 79 persen menginginkan calon pasangannya melakukan hal yang sama,” ujarnya.
Baca juga: Teknologi Mengubah Perilaku Seksual Generasi Z
Ikut terapi untuk meningkatkan kepercayaan diri dan menyembuhkan trauma masa lalu juga kini menjadi sesuatu yang menarik bagi Gen Z. Hampir 75 persen Gen Z menganggap seseorang akan lebih menarik jika mereka bersikap terbuka atau sedang berusaha memperbaiki kondisi mentalnya.
Salah satu pendiri Coffee Meets Bagel, aplikasi kencan lainnya, Dawoon Kang, juga melihat tren ini. Gen Z memandang aplikasi kencan sebagai media untuk terhubung dengan orang-orang yang berpikiran sama dan berbagi harapan dan tujuan hubungan mereka. Mereka tidak menganggap aplikasi kencan sebagai platform untuk interaksi dangkal.
“Tren ini menunjukkan Gen Z menghargai efisiensi, ketulusan, kejujuran, dan menjalin hubungan bermakna kalau mereka mau pacaran,” kata Kang.
Survei Tinder juga menemukan Gen Z menantang norma-norma berpacaran dari generasi sebelumnya. Sebanyak 69 persen responden setuju gaya berpacaran perlu diubah agar sesuai dengan masyarakat yang lebih modern dan beragam. Bagi mayoritas responden, karena mereka merasa nyaman berinteraksi di aplikasi kencan maka mereka tidak lagi menganggap berisiko jika bertemu dan berinteraksi dengan orang asing melalui aplikasi kencan dan komunitas daring.
Menurut penelitian “Masa Depan Kencan” di Amerika Serikat pada tahun 2018 yang dilakukan oleh Google dan Qualtrics, sekitar 65 persen dari mereka yang disurvei -berusia antara 18 dan 24 tahun- mengatakan situs web dan aplikasi kencan memungkinkan mereka berkencan dengan orang di luar wilayah tempat tinggal mereka. Hasilnya, mereka juga menjadi lebih beragam dalam memilih dan menemukan orang yang hendak didekati untuk berpacaran.
Aktif mencari
Chan Lik-sam, peneliti budaya aplikasi kencan global dan penulis “The Politics of Dating Apps: Gender, Sexuality, and Emergent Publics in Urban China” yang terbit pada 2021, mengatakan lebih dari 40 persen penduduk Hong Kong pernah menggunakan aplikasi kencan. Semua mahasiswanya yang berusia awal 20-an menggunakan aplikasi ini.
Tren penggunaannya menurun pada orang-orang yang berusia 34-44 tahun karena rata-rata pada usia itu orang sudah menikah. Baru akan meningkat lagi penggunaan aplikasi kencannya setelah usia 44 tahun seiring dengan terjadinya perceraian.
“Meningkatnya kencan daring membuat para lajang sangat nyaman karena orang seperti terus-menerus berada di dalam “pasar kencan”. Dulu, orang hanya berada di pasar kalau sedang mencari. Sekarang, orang selalu aktif,” kata Chan yang juga assistant professor di Sekolah Jurnalisme dan Komunikasi Universitas China Hong Kong.
Baca juga: Tren Cari Teman Lewat Aplikasi Kencan
Dia menambahkan ketika Tinder, salah satu aplikasi kencan paling populer, pertama kali diluncurkan pada 2012, kencan daring dianggap berisiko dan bahkan tabu. Lebih dari 10 tahun kemudian, Tinder kini mengklaim 68 persen Gen Z di kawasan Asia-Pasifik telah menggunakan aplikasi kencan.
Direktur Komunikasi Asia-Pasifik di aplikasi kencan Bumble, Lucille McCart, memperkirakan meluasnya tren berpacaran secara lebih sadar di kalangan anak muda kemungkinan juga sebagian disebabkan oleh pandemi Covid-19. Pada masa itu aplikasi kencan menjadi jalur penyelamat bagi hubungan sosial dan media bertemu orang baru secara virtual selama masa-masa suram itu.
Pandemi Covid-19 membuat para lajang memikirkan kembali apa yang sebenarnya hendak mereka cari. Sekitar 43 persen komunitas Bumble di seluruh dunia saat ini menggambarkan gaya berpacaran mereka sebagai “eksplorasi”. Dan 48 persen lainnya mengaku mereka telah menilai kembali “tipe” yang mereka inginkan.
Yang menarik, menurut Bumble, ada 53 persen pengguna aplikasi itu yang merasa puas dengan menjadi lajang untuk sementara waktu. “Tahun 2023 ini semuanya tentang upaya menemukan seseorang, bukan menerima siapa pun. Ke depan, orang-orang akan secara sadar membuat keputusan untuk melajang,” kata McCart.
Baca juga: Kebahagiaan ala Generasi Z
Di AS, mulai berkembang tren generasi milenial memutuskan menunda pernikahan karena berbagai alasan sosial. Menurunnya angka pernikahan dan kelahiran di China juga telah menimbulkan kekhawatiran, bahkan bagi pemerintah. Namun, Kang mengatakan penelitian Coffee Meets Bagel menunjukkan Gen Z sebenarnya tetap memiliki komitmen menemukan hubungan yang serius dan bermakna, sama seperti generasi milenial.
Chan sependapat. Orang mengartikan “pacaran” secara berbeda berdasarkan budaya masing-masing dan dari generasi mana. Ketika melihat tren generasi muda yang tidak lagi berpacaran seperti generasi sebelumnya, Chan menduga arti pacaran sudah berubah. “Saya yakin masyarakat masih ingin mengeksplorasi berbagai jenis keintiman dan hubungan dekat. Hanya saja Gen Z dan generasi muda milenial mungkin tidak menyebutnya sebagai kencan,” ujarnya.
Saat ini ada terminologi baru seperti “situationship” atau sebuah hubungan yang melibatkan perasaan tetapi tidak memiliki kejelasan status. Ada juga “friends with benefit” atau teman tapi mesra. Mungkin generasi sebelumnya juga dulu menganggapnya pacaran. Tetapi, anak muda zaman sekarang menganggap itu bukan pacaran karena tidak serius.
Generasi muda sekarang mengklaim jarang berpacaran. Tetapi bagi Chan ini tidak benar karena mungkin hanya berbeda definisi saja. Gen Z mungkin mendefinisikan pacaran dengan cara yang berbeda dari apa yang biasa didefinisikan generasi sebelumnya. “Tetapi mereka tetap ingin mengeksplorasi keintiman baik secara emosional maupun fisik,” ujarnya.
Baca juga: Gen Z Lelah, tetapi Tak Mampu Lepas dari Ponsel
Chan mengingatkan Gen Z masih berada di masa-masa penemuan jati diri. Dan di masa-masa itu, keinginan mereka untuk berkomitmen dalam suatu hubungan tampaknya berkurang karena mereka tidak lagi melihat pernikahan sebagai sesuatu yang mendesak.
Tren ini meluas di China, kata Chan, karena cara berpikir tradisional China yang menyamakan pernikahan dengan membeli properti dan memiliki anak. “Membeli rumah saja sudah susah sekali bagi generasi muda di Hong Kong, misalnya. Apalagi untuk urusan lain. Jadi, tampaknya segala sesuatunya tidak semudah dulu,” ujarnya.
Kantor berita Reuters, 13 Juni lalu, menyebutkan jumlah pernikahan di China mengalami penurunan pada 2022 ke level terendah. Jumlahnya terus turun selama 10 tahun terakhir. Menurut data Kementerian Urusan Sipil China, hanya 6,83 juta pasangan yang menyelesaikan pencatatan pernikahan mereka tahun lalu.
Jumlah ini turun sekitar 800.000 pasangan dari tahun sebelumnya. Pada 2022, populasi China turun untuk pertama kalinya dalam 60 tahun. Penurunan ini diperkirakan menandai dimulainya periode panjang penurunan jumlah penduduk yang berdampak besar pada perekonomian China dan dunia.
Baca juga: Utak-atik China Angkat Tingkat Kelahiran
Tingkat kelahiran di China juga turun tahun lalu menjadi 6,77 kelahiran per 1.000 orang. Ini rekor terendah dari sebelumnya 7,52 pada tahun 2021. Para ahli demografi memperingatkan China akan menjadi tua sebelum menjadi kaya karena jumlah tenaga kerjanya menyusut dan pemerintah daerah yang berutang mengeluarkan lebih banyak dana untuk populasi lansia.
Untuk mendorong pernikahan dan meningkatkan angka kelahiran yang lesu, China akan meluncurkan proyek percontohan di lebih dari 20 kota untuk menciptakan budaya pernikahan dan melahirkan anak. Bahkan sejumlah provinsi juga memberikan perpanjangan cuti menikah berbayar kepada pengantin baru.