Teknologi Mengubah Perilaku Seksual Generasi Z
Tsunami informasi, termasuk informasi seksualitas, mengubah perilaku seksual anak muda. Namun, orangtua yang diharapkan mendampingi anaknya mengenal seksualitas justru absen.
Akrab dengan teknologi sejak lahir membuat generasi Z hidup berlimpah informasi, termasuk informasi tentang seksualitas. Fakta, hoaks, mitos, budaya, hingga hiburan tentang seks hadir bersama-sama tanpa mereka mampu memilah mana yang benar maupun salah serta yang sesuai atau bertentangan dengan nilai masyarakat.
Generasi Z yang lahir antara 1997-2012 adalah generasi terbesar dalam struktur penduduk Indonesia. Jumlahnya mencapai 71.5 juta orang atau 28 persen penduduk pada 2020. Di usia mereka saat ini, antara 10-25 tahun, mereka sedang mematangkan emosi dan pikirannya, mulai mengenal seks, serta menjalin hubungan romantis dengan orang lain.
Namun bagi generasi Z, membina hubungan romantis maupun membangun relasi seksual dengan orang lain menjadi masalah yang penuh tekanan yang tidak dirasakan oleh generasi sebelumnya. Mudahnya mencari orang baru, yang lebih cantik, lebih menarik, atau lebih menggoda, kini hanya tinggal dilakukan dengan menggeser layar gawai mereka.
"Dengan dating apps (aplikasi kencan), memilih pasangan sekarang seperti memilih sepatu," kata seksolog klinis Zoya Amirin di Jakarta, Senin (14/2/2022).
Kebiasaan melirik atau mencari orang lain, meski sudah memiliki pasangan itu, menurut Nobi (21), pekerja lepas perusahaan kreatif di Jakarta, dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Hanya dengan membuka media sosial miliknya, anak muda bisa mencari orang baru yang mereka suka. Jika ingin berkenalan, mereka hanya perlu menulis pesan dalam kolom yang tersedia.
Mudahnya generasi Z mencari kenalan baru itu membuat komitmen mereka terhadap hubungan yang mereka jalin sangat rendah. "Yang cewek jadi gampangan, yang cowok jadi murahan. Sudah tahu punya pacar, masih suka tergoda melihat orang lain," katanya.
Baca juga : Mendidik Generasi Z
Situasi itu pada ujungnya membuat relasi yang dijalin menjadi tidak sehat. Pacaran yang dijalin senantiasa dibayang-bayangi ketakutan besar akan mudahnya kehilangan pasangan. Situasi itu seringkali memunculkan rasa cemburu yang berlebihan, lupa bahwa pasangan mereka juga memiliki kehidupan pribadi dengan teman maupun keluarga.
Ketakutan kehilangan orang yang dicintai itu juga menimbulkan sikap posesif yang membuat anak muda mau melakukan apapun. Relasi pacaran pun dilakukan tanpa logika hingga membuat mereka bisa bertindak diluar nalar umum, rela ngebucin alias menjadi budak cinta. Bahkan, sebagian orang masih mau mempertahankan hubungan meski harus disakiti, direndahkan, atau dilecehkan.
"Sudah tahu pacarnya brengsek, sering nyakitin, suka bohong, bahkan menyakiti secara fisik, tapi masih mau saja jadi pacarnya," ujar Nobi saat menceritakan kisah percintaan sebagian temannya.
Namun, memutus hubungan dianggap bukan solusi. Bayang-bayang orang baru akan melakukan hal sama, mudah mencari orang lain, selalu ada karena hampir semua anak muda memiliki media sosial. Kondisi itu akhirnya memengaruhi kesehatan mental anak muda. Stres, gangguan kecemasan, depresi, bahkan bunuh diri banyak dialami anak muda gara-gara cinta.
Membolehkan
Tak hanya membuat hubungan pacaran menjadi penuh tekanan, media sosial juga membuat hal-hal yang sebelumnya tidak layak dilakukan menjadi boleh dijalankan. Remaja beberapa dekade lalu umumnya berpandangan hanya laki-laki yang boleh menyatakan cinta terlebih dahulu. Namun, remaja saat ini berbeda.
Generasi Z adalah kelompok yang lebih terbuka dibanding generasi sebelumnya. Pendiri Youth Laboratory Indonesia Muhammad Faisal mengatakan remaja putri saat ini lebih terbuka menunjukkan perasaannya kepada laki-laki, tidak menunggu dikejar oleh laki-laki. Cara mereka mengungkapkan perasaannya pun sederhana, dengan mengirim pesan teks atau suara di media sosial.
Baca juga : Generasi Z dan Y Dominasi Media Daring
Situasi berbeda dialami remaja sebelum tahun 2000, baik generasi X atau Y (Milenial). Untuk menyatakan cinta, dan biasanya dilakukan laki-laki, mereka biasanya menulis surat cinta dalam kertas warna-warni nan wangi, mengirim salam via teman atau siaran radio sebagai kode bahwa sang lelaki menyukai sang putri. Di saat itu, remaja putri umumnya hanya pasif menunggu.
Media sosial memberi peran besar pada keterbukaan (self-disclosure) remaja saat ini. Ideologi libertarian di media sosial yang membebaskan atau membolehkan yang sebelumnya ditabukan diterima remaja sebagai informasi yang 'valid'. Jarang mereka mau melakukan cek ulang dengan sumber lain atau sekedar berpikir tenang atas informasi yang mereka terima.
"Rujukan media sosial itu diserap remaja tanpa filter. Padahal, di setiap tempat tinggal remaja, memiliki nilai-nilai yang beragam yang tidak selalu sejalan dengan apa yang ada di media sosial," kata Faisal.
Keterbukaan itu tak hanya soal urusan mengungkapkan perasaan suka, tetapi juga tentang orientasi seksual. Menurut Zoya, banyak remaja SMP dan SMA sudah terbuka dengan orientasi seksual.
Rujukan media sosial itu diserap remaja tanpa filter. Padahal, di setiap tempat tinggal remaja, memiliki nilai-nilai yang beragam yang tidak selalu sejalan dengan apa yang ada di media sosial.
Sebagian bahkan mengumumkan di media sosialnya. Orientasi itu tak hanya gay, lesbian atau transpuan yang lebih dulu dikenal, tapi juga queer (orientasi seksual yang mengidentifikasikan ketertarikan dirinya dengan banyak jender) dan panseksual (ketertarikan pada orang lain tanpa memandang jender atau jenis kelamin).
Sebagian anak muda pun bisa menerima keberagaman seksual itu, tidak menghakimi. "Makin kesini, anak muda makin bisa menerima LGBTQ+ (lesbian, gay, transeksuel, queer, dan lain-lain), lebih menghargai pilihan orang, serta tidak peduli dengan urusan orang lain selama tidak merugikan," kata Nobi.
Seks
Teknologi tak hanya berpengaruh dalam relasi seksualitas remaja, tetapi juga kehidupan seks mereka. Di masa lalu, Nobi mengenal masturbasi saat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kini, keponakannya yang masih Sekolah Dasar (SD) sudah fasih membicarakannya. Tak hanya laki-laki, remaja putri di SMP pun kini juga lebih bebas berbicara soal masturbasi pada perempuan.
Jalur utama pengetahuan tentang masturbasi itu masih sama, yaitu informasi antarteman. Namun, internet membuat sumber informasi seksualitas remaja makin luas dan bisa diakses saat ini juga. Bahkan, informasi itu kini tak hanya berupa cerita, percakapan, atau video porno, tetapi juga siaran langsung hubungan seks yang ada di sejumlah media sosial.
Baca juga : Perilaku Seksual Remaja Kian Berisiko, Waspadai Kanker Serviks
Informasi seksualitas di internet itu saling menumpuk antara yang benar, salah atau imaji semata. Otak dan jiwa remaja yang belum matang membuat mereka mudah terpapar informasi keliru tentang seks. Karena itu, pendampingan orangtua mutlak diperlukan saat anak remajanya mengakses informasi tentang seksualitas.
"Jika peduli dan sayang dengan anak, orangtua harus mau belajar tentang media sosial maupun seksualitas, tidak boleh gaptek (gagap teknologi), hingga bisa mendampingi anak menjalani kehidupan seksual," kata Zoya.
Meski situasi yang ada seolah menunjukkan generasi Z makin terbuka dengan hal-hal berbau seksualitas, nyatanya tingkat seks bebas atau seks pranikah di kalangan generasi Z justru lebih rendah dibanding generasi sebelumnya di umur yang sama.
Studi Peter Ueda dan rekan (2020) juga di Amerika Serikat (AS) menemukan laki-laki 18-24 tahun yang tidak aktif secara seksual naik dari 18,9 persen pada tahun 2000-2009 jadi 30,9 persen pada 2016-2018. Sementara untuk perempuan yang tidak aktif seksual pada periode dan umur sama juga naik dari 15,1 persen menjadi 19,1 persen.
Hasil itu konsisten dengan studi serupa di negara lain pada waktu berbeda. Namun, penurunan intensitas seks itu diyakini bukan masalah generasi Z saja, tapi fenomena 'resesi seks' manusia modern yang terjadi di semua kelompok umur. Di Indonesia, turunnya frekuensi hubungan seksual itu, dikutip dari Kompas, 18 Oktober 2018, turut memicu turunnya tingkat fertilitas (TFR) yang sejak 2002-2012 stabil di 2,6 anak per perempuan usia subur jadi 2,4 anak pada 2017.
Menurut Scott J South dan Lei Lei di Sage Journals, 1 Maret 2021, penurunan intensitas hubungan seks pada laki-laki muda itu terjadi karena penurunan konsumsi alkohol, peningkatan waktu bermain video gim, dan banyaknya anak muda yang masih tinggal dengan orangtuanya. Sementara pada perempuan, penurunan dipicu oleh berkurangnya konsumsi alkohol.
Meski intensitas hubungan seks turun, studi Avnit Dhanoa dan rekan di Eureka, 30 Desember 2020 menemukan 33 persen generasi Z memiliki pasangan lebih dari tiga orang, jauh lebih tinggi dibanding generasi Milenial yang hanya 2,5 persen pada usia sama.
Banyaknya pasangan itu membuat perilaku seksual generasi Z jadi lebih berisiko. Terlebih, kepatuhan menggunakan kondom generasi Z saat berhubungan badan tidak lebih baik dibanding Milenial. Kondisi itu dikhawatikan makin memicu penularan penyakit, kehamilan tidak diinginkan, ketidakstabilan emosi, hingga masalah sosial yang menyertai.
Besarnya jumlah pasangan seksual generasi Z itu salah satunya dipicu oleh pubertas dini. Menurut Zoya, status gizi yang membaik dan konsumsi zat pangan tertentu yang mengganggu keseimbangan hormon membuat pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki bisa terjadi di usia 9-10 tahun. Padahal, pada 30 tahun lalu, pubertas itu biasanya terjadi umur 14-17 tahun.
Selain itu, banyaknya pasangan seksual generasi Z menunjukkan rendahnya komitmen dalam menjalin hubungan. Mereka kurang nyaman dengan keterikatan saat menjalin sebuah hubungan.
Kini, pilihan ada pada orangtua. Mereka harus mau dan mampu mendampingi anak remaja mereka hingga bisa menjalani tahap perkembangan seksualnya dengan baik dan sehat. Jika mereka terus menghindar dan menabukan membicarakan seks dengan anak, maka itu sama saja dengan menjerumuskan anak dalam perilaku seksual yang tidak sehat. Penabuan seks hanya membuat anak dipaksa jadi 'petarung' untuk bisa mengelola dorongan seksualnya tanpa mereka dibekali keterampilan apapun.
Karena itu, baik Nobi, Zoya dan Faisal sama-sama menilai pentingnya pendidikan seksual sesuai umur pada anak. Pendidikan seksual ini bukan untuk mendorong anak melakukan seks bebas, tetapi agar anak bisa mengelola dorongan seksual secara bertanggung jawab, sehat, sesuai norma masyarakat, serta tidak merugikan orang lain.