Meskipun masih kerap menjadi bahan perdebatan, kehadiran kecerdasan buatan membuka cakrawala baru bagi manusia. Salah satu perannya adalah membantu mengatasi persoalan kesehatan mental.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·5 menit baca
AP PHOTO
Para orangtua menanti dengan cemas dan saling berangkulan saat mendengar kabar penembakan di SMA Marjory Stoneman Douglas, Parkland, Florida, AS, Rabu (14/2/2018) waktu setempat.
Rentetan tembakan dari senapan semi otomatis Nikolas Cruz membahana, memenuhi ruang udara Marjory Stoneman Douglas, sebuah sekolah menengah di Parkland, Florida, Amerika Serikat. Di tengah asap berbau mesiu, aroma darah tercium. Sebanyak 14 siswa dan tiga staf sekolah tewas dalam serangan brutal yang terjadi pada 14 Februari 2018 itu. Dalam sebuah reka ulang yang dilakukan pada 5 Agustus 2023 lalu, diketahui setidaknya ada 139 tembakan dilepaskan Cruz.
Horor yang berlangsung selama kurang lebih enam menit itu masih membekas kuat dalam ingatan Kai Koerber, alumni – penyintas – Marjory Stoneman Douglas. Seperti banyak rekannya, Koerber mengatakan dia menderita gangguan stres pasca-trauma. Dalam waktu yang lama Koerber dan rekan-rekannya sesama penyintas berada dalam situasi mental yang tidak sehat dan baru belakangan ini kondisinya membaik.
Berangkat dari upaya untuk berjuang kembali menjadi normal, Koerber yang baru saja lulus dari University of California di Berkeley memulai suatu upaya membantu seseorang mengatur emosi mereka. Pendekatan yang dilakukan Koerber adalah menggunakan bantuan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Hasilnya adalah Joy: AI Wellness Platform. Algoritma “perangkat” ini oleh Koerber dan timnya dirancang untuk mengenali perasaan seseorang dari suaranya, apapun kata atau bahasa yang mereka gunakan. Sebagai “tanggapan” platform itu lantas menyarankan sejumlah aktivitas yang tepat, penuh empati, mindfulness, berdasarkan perasaan subjek.
“Segera setelah tragedi tersebut, hal pertama yang terlintas dalam pikiran kami setelah mengalami peristiwa mengerikan dan traumatis ini adalah bagaimana kami bisa pulih secara pribadi?” kata Koerber. “Sangat menyenangkan mengatakan oke, kami akan membangun infrastruktur hukum yang lebih baik untuk mencegah penjualan senjata, meningkatkan pemeriksaan latar belakang, dan semua hal legislatif. Namun, banyak pihak tidak memikirkan sisi kesehatan mental,” kata Koerber sebagaimana dikutip kantor berita Associater Press pada Kamis (21/9/2023).
AP PHOTO/GODOFREDO A. VáSQUEZ
Kai Koerber berpose di salah satu ruang di University of California, Berkeley pada Kamis (27/7/2023).
Dipicu oleh situasi itu, Koerber lantas memulai upayanya. Saat ia memulai kuliah di University of California, Koerber meminta ijin membentuk tim untuk membangun AI inovatif. “Idenya adalah untuk memberikan platform kepada orang-orang yang sedang berjuang dengan, katakanlah kesedihan, duka, kemarahan agar bisa mendapatkan latihan mindfulness untuk memenuhi kebutuhan emosional kita saat beraktifitas,” kata Koerber.
Yang unik, aktvitas yang ditawarkan aplikasi itu justru terkesan tidak meditatif. “Gagasan tentang mindfulness sebagai aktivitas menyendiri atau sesuatu yang terbatas pada duduk di kamar sambil bernapas adalah sesuatu yang kami coba hilangkan,” kata Koerber yang awalnya berniat menjadi ahli roket itu.
Yang ditawarkan adalah aktivitas yang dapat dilakukan dengan cepat, terkadang hanya berlangsung beberapa detik, di mana pun pengguna berada. Untuk menggunakan Joy, seseorang cukup berbicara melalui smarfphone yang telah mengunduh aplikasi tersebut. Setelah mengenali perasaan seseorang dari suara yang diucapkannya, AI itu lantas menyarankan sebuah aktivitas singkat. ke dalam aplikasi. AI seharusnya mengenali perasaan Anda dari suara Anda, lalu menyarankan aktivitas singkat.
Katakanlah, AI mengenali seseorang sedang merasa “netral” saat ini, aplikasi lantas menyarankan beberapa aktivitas, seperti olahraga 15 detik. Namun untuk suasana perasaan yang lain, aplikasi itu dapat menyarankan atau melatih seseorang untuk membuat permintaan maaf. Atau saran lain seperti menulis surat untuk diri sendiri di masa depan, atau melacak berapa kali Anda tertawa dalam tujh hari terakhir untuk melihat momen apa yang memberi rasa gembira.
Pendek kata, sejatinya aplikasi ini menyarankan untuk bertindak dengan sadar (aware) untuk membangun sikap penuh kesadaran (awareness), atau dengan kata lain “bertindak dengan penuh kesadaran”. Soal keakuratan, semakin banyak orang menggunakannya, keakuratannya kian meningkat.
AP PHOTO/GODOFREDO A. VáSQUEZ
Kai Koerber memamerkan Joy, aplikasi yang dibuatnya pada Kamis (27/7/2023).
Mohammed Zareef-Mustafa, mantan teman sekelas Koerber yang telah menggunakan aplikasi ini selama beberapa bulan, mengatakan terbantu. “Saya menggunakan aplikasi ini sekitar tiga kali seminggu, karena latihannya singkat dan mudah dilakukan. Ini sangat membantu saya dengan cepat menghilangkan stres sebelum saya melakukan hal-hal seperti wawancara kerja,” katanya.
Apresiasi atas karya Koerber juga datang dari Dacher Keltner, seorang profesor di Berkeley. Menurutnya, Koerber berhasil menggagas dan fokus pada upaya, bagaimana menggunakan teknologi untuk menghadapi krisis mental di era kini. “Hal ini muncul dari pengalaman hidupnya, dan, tidak seperti para ahli teknologi di masa lalu, ia tampaknya merasa bahwa inilah yang harus dilakukan oleh teknologi, yaitu membuat dunia menjadi lebih sehat,” kata Keltner.
Meskipun demikian, seseorang tetap perlu bijak saat menggunakan aplikasi seperti itu. Colin Walsh, profesor informatika biomedis di Vanderbilt University mengatakan, banyak aplikasi kesehatan di pasaran mengklaim dapat membantu orang-orang dengan masalah kesehatan mental, namun tidak selalu jelas apakah aplikasi tersebut betul-betul berhasil. Lebih lanjut, menurut Walsh yang telah mempelajari penggunaan AI dalam pencegahan bunuh diri, mengambil suara seseorang dan mengumpulkan beberapa aspek dari keadaan emosinya adalah hal yang mungkin dilakukan.
“Tantangannya adalah jika Anda sebagai pengguna merasa bahwa umpan balik tersebut tidak benar-benar mencerminkan keadaan Anda saat ini, itu adalah sebuah masalah,” katanya. “Harus ada mekanisme yang dapat digunakan untuk mengembalikan umpan balik tersebut.”
Ia menilai meskipun aplikasi-aplikasi sejenis dibangun dengan niat baik, dan sistem itu juga memberikan hasil yang baik, tetap masih ada kesenjangan, atau celah yang memungkinkan “sesuatu” yang tidak diharapkan terjadi. Namun jika risikonya lebih rendah, dimana teknologi hanya mengarahkan seseorang untuk menghabiskan waktu di luar ruangan, menurut Walsh hal itu masih dapat diterima. Teknologi, menurutnya, dapat membantu menghasilkan produk berkualitas yang dapat menjembatani hal itu. (AP)