Seruan Reformasi PBB Kian Santer
Reformasi menjadi aspirasi banyak negara, terutama negara miskin dan berkembang. Negara-negara maju yang menikmati keuntungan ”status quo” berusaha mengikuti arus dengan format reformasi yang menjamin kepentingan mereka.

Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba berpidato pada sesi khusus ke-11 Dewan Keamanan PBB di aula Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, Rabu (22/2/2023).
NEW YORK, KOMPAS — Seruan reformasi kian santer berkumandang di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dimulai secara sporadis oleh sejumlah pemimpin beberapa tahun silam, reformasi terhadap lembaga multilateralisme terbesar dunia itu semakin menjadi aspirasi banyak negara, terutama negara-negara berkembang.
Reformasi PBB menjadi salah satu isu utama yang diangkat para pemimpin pada hari pertama Sidang Majelis Umum Ke-78 PBB di New York, Selasa (19/9/2023). Forum tersebut akan berlangsung sampai 23 September dan ditutup pada 26 September 2023.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres secara eksplisit menyampaikan kebutuhan untuk mereformasi PBB. Intinya, kelembagaan PBB berikut lembaga multilateralisme terkait lain yang ada saat ini sudah kedaluwarsa. Oleh sebab itu, reformasi kelembagaan menjadi prasyarat agar multilateralisme relevan dan efektif menjawab tantangan zaman mutakhir dan masa depan.
Baca juga: Sidang Umum PBB Dimulai, Dunia Diingatkan Agenda SDGs Bisa Molor 42 Tahun
Guterres menyatakan, dunia dengan cepat memasuki dunia multipolar. Dalam banyak hal, ini positif karena membawa peluang-peluang baru untuk keadilan dan keseimbangan dalam hubungan internasional.
Namun, multipolar sendiri tidak bisa menjamin perdamaian. Awal abad ke-20 adalah era multipolar dengan sejumlah kekuatan di Eropa. Akan tetapi, karena tak memiliki lembaga-lembaga multipolar yang kokoh, yang terjadi kemudian adalah Perang Dunia I.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F07%2F86f39396-92da-4dda-aa6f-30b816a4360d_jpg.jpg)
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memberikan penjelasan saat konferensi pers di sela-sela perhelatan KTT Ke-43 ASEAN di Jakarta, Kamis (7/9/2023). Guterres, antara lain, menjelaskan tentang keamanan pangan, penyelesaian konflik Myanmar, dan peran ASEAN untuk meredam potensi konflik di kawasan.
Sebuah dunia multipolar, Guterres melanjutkan, membutuhkan lembaga-lembaga multilateral yang kuat dan efektif. Namun, tata kelola global saat ini terjebak di masa lalu, seperti Dewan Keamanan PBB dan sistem Bretton Woods. Sistem ini merefleksikan realitas politik dan ekonomi pada 1945 ketika banyak anggota PBB masih di bawah dominasi kolonial.
”Dunia telah berubah. Namun, lembaga-lembaga multilateral kita tidak. Kita tidak bisa efektif menangani persoalan-persoalan yang ada jika lembaga-lembaga tak mencerminkan dunia apa adanya. Alih-alih mengatasi persoalan-persoalan, lembaga-lembaga multilateralisme justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri,” katanya.
Sejumlah tantangan dunia lantas dipaparkan Guterres. Di antaranya adalah kesehatan, kemiskinan, krisis pangan, perubahan iklim, teknologi, transformasi energi, dan kesenjangan negara-negara di dunia. Pada saat yang sama, keterbelahan di antara kekuatan ekonomi dan militer dunia makin nyata.
Baca juga: Majelis Umum PBB: Dari Reformasi, Utang, sampai Lobi
Perbedaan di antara Utara dan Selatan, Timur dan Barat, kian gamblang. Dunia makin dekat dengan ”patahan dahsyat” dalam sistem ekonomi-keuangan dan hubungan dagang yang berisiko merusak kerangka kerja keamanan.
”Kini saatnya untuk memperbarui lembaga-lembaga multilateral berdasarkan realitas ekonomi dan politik abad ke-21 yang berakar pada kesetaraan, solidaritas, dan universalitas, serta berjangkar pada prinsip-prinsip Piagam PBB dan hukum internasional,” kata Guterres.

Anggota Dewan Keamanan PBB mengikuti sesi diskusi membahas soal pengiriman gandum dan produk biji-bijian Ukraina yang terganggu pascapenundaan keikutsertaan Rusia di Dewan Keamanan PBB, Senin (31/10/2022).
Keamanan dan keuangan
Hal itu, Guterres menekankan, berarti mereformasi Dewan Keamanan sesuai dengan situasi dunia hari ini. Hal itu juga berarti mendesain ulang arsitektur keuangan internasional yang tak berfungsi, kedaluwarsa, dan tak adil. Dengan demikian, lembaga-lembaga ini benar-benar menjadi universal dan melayani negara-negara berkembang yang bermasalah selaku jaring pengaman global.
”Saya tidak sedang berilusi. Reformasi adalah pertanyaan soal kekuatan. Saya tahu, ada banyak kepentingan dan agenda yang saling bersaing. Namun, alternatifnya adalah reformasi bukan status quo. Alternatif di luar reformasi adalah fragmentasi yang kian jauh. Reformasi atau perpecahan,” katanya.
Politik, menurut Guterres, adalah kompromi. Diplomasi adalah kompromi. Kepemimpinan yang efektif adalah berkompromi. Para pemimpin memiliki tanggung jawab istimewa untuk mencapai kompromi dalam membangun masa depan bersama yang damai dan sejahtera demi kebaikan bersama.
”Reformasi mendalam tidak bisa berlangsung dalam waktu singkat. Namun, sekarang kita bisa mengambil langkah-langkah yang ditetapkan untuk membantu negara-negara yang sedang mengalami krisis,” katanya.
Baca juga: Negara Besar Absen, Negara Kecil Maju Jadi Teladan Konservasi Alam
Tahun depan akan digelar Konferensi Puncak tentang Masa Depan. ”Ini merupakan peluang sekali dalam satu generasi guna mengatasi tantangan-tantangan mutakhir yang dilakukan dalam kerangka Piagam PBB,” kata Guterres.
Negara-negara anggota akan menentukan bagaimana bergerak ke depan pada sejumlah area. Di antaranya dalam urusan perdamaian, teknologi digital, reformasi arsitektur keuangan internasional, dan berbagai proposal lain guna mengatasi tantangan-tantangan dan membawa keadilan dan kesetaraan dalam tatanan global.

Dari kiri ke kanan, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, Presiden China Xi Jinping, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Perdana Menteri India Narendra Modi, dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov berpose pada sesi foto pertemuan puncak BRICS di Sandton Convention Centre di Johannesburg, Afrika Selatan, Rabu (3/8/2023).
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menyatakan, komunitas global harus memastikan kualitas-kualitas penting yang mendefinisikan kemanusiaan terefleksikan jelas di lembaga-lembaga yang mengatur pelaksanaan hubungan internasional.
”Kita memerlukan lembaga-lembaga yang inklusif, representatif, demokratis, dan memajukan kepentingan semua negara. Kita memerlukan komitmen baru terhadap multilateralisme berdasarkan aturan yang jelas dan didukung oleh lembaga-lembaga yang efektif,” katanya.
Inilah saat yang tepat, menurut Cyril, untuk melanjutkan reformasi Dewan Keamanan PBB. Tujuannya, agar lembaga itu memberikan makna pada prinsip persamaan kedaulatan negara-negara dan memungkinkannya memberikan respons yang lebih efektif terhadap realitas geopolitik saat ini.
”Kami gembira bahwa Posisi Bersama Afrika mengenai reformasi Dewan Keamanan semakin mendapat dukungan luas. Proses ini harus beralih ke perundingan berbasis teks sehingga menciptakan peluang bagi konvergensi antarnegara anggota. Kita harus memastikan bahwa suara Benua Afrika dan negara-negara Selatan diperkuat di PBB dan sistem multilateral yang lebih luas,” katanya.
Perubahan paradigma
Presiden Iran Seyyed Ebrahim Raisi menyampaikan tentang perubahan paradigma. Dunia, menurut Raisi, berada di persimpangan yang kritikal seiring negara-negara berkembang non-Barat tengah mengupayakan hubungan ekonomi dan politik satu sama lain yang semakin dekat.
”Lanskap global sedang mengalami perubahan paradigma menuju tatanan internasional baru, sebuah tren yang tidak mungkin dikembalikan lagi,” katanya.
Seiring dengan munculnya negara-negara non-Barat, Raisi berpendaat, terdapat harapan kolektif untuk terciptanya tatanan dunia yang baru dan adil. Iran menganjurkan konvergensi ekonomi dan politik maksimum.

Presiden Ebrahim Raisi sambil memegang Al Quran berpidato di sesi Debat Umum Sidang Majelis Umum ke-78 PBB di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa (19/9/2023).
Raisi menambahkan, ia juga tertarik untuk berinteraksi dengan komunitas global berdasarkan prinsip keadilan. ”Melalui rasa saling percaya secara politik, kerja sama ekonomi, dan langkah-langkah keamanan masyarakat adat, tujuan mitra regional dapat dicapai dengan lebih mudah,” kata Raisi.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi pada Pertemuan Puncak SDGs pada Senin (18/9/2023) menyatakan, tatanan global saat ini tidak pas dan tidak memberikan kesempatan yang setara kepada negara-negara Selatan. Akibatnya, dunia benar-benar di luar jalur pencapaian target SDGs pada 2030.
”Tak ada pilihan lain. Dunia harus mendorong terciptanya lingkungan yang kondusif bagi negara-negara berkembang untuk tumbuh dan membuat lompatan pembangunan. Diskriminasi perdagangan harus dihentikan. Negara berkembang harus diberikan kesempatan untuk melakukan hilirisasi industri,” ujar Retno.
Baca juga: Erdogan dan Netanyahu Bertemu di Tengah Desakan Perubahan Radikal Sikap Israel
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Joe Biden juga menyinggung reformasi. Bedanya, sebagai pencipta sistem yang berlangsung selama ini, ia meyakinkan bahwa proses reformasi itu telah berlangsung dan ia bertekad melanjutkannya.
”Kita harus menghadirkan lebih banyak kepemimpinan dan kemampuan yang ada di mana-mana, terutama dari daerah-daerah yang belum sepenuhnya tercakup dalam hal ini. Kita harus bergulat dengan tantangan yang lebih saling terkait dan lebih kompleks. Kita juga harus memastikan bahwa kita memberikan layanan kepada orang-orang di mana saja, tidak hanya di suatu tempat. Di mana pun,” katanya.
”Dalam pidato saya di hadapan badan ini tahun lalu, saya mengumumkan bahwa AS akan mendukung perluasan Dewan Keamanan, meningkatkan jumlah anggota tetap dan tidak tetap,” katanya.

Layar di Pusat Media di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa (19/9/2023), menayangkan Presiden AS Joe Biden saat menyampaikan pidato pada sesi debat umum.
Untuk itu, Biden melanjutkan, AS telah melakukan konsultasi serius dengan banyak negara anggota. ”Dan, kami akan terus melakukan bagian kami untuk mendorong upaya-upaya reformasi yang lebih lanjut, mencari titik temu, dan membuat kemajuan di tahun mendatang,” katanya.
PBB, menurut Biden, harus mampu memecahkan kebuntuan yang sering kali menghambat kemajuan dan menghalangi konsensus di Dewan Keamanan. PBB memerlukan lebih banyak suara dan lebih banyak perspektif. ”AS berupaya secara menyeluruh untuk menjadikan lembaga-lembaga global lebih responsif, lebih efektif, dan lebih inklusif,” katanya.
Sudah jalan
Biden, misalnya, mengklaim bahwa AS telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk mereformasi Bank Dunia. Salah satunya adalah memperluas pembiayaannya ke negara-negara berpendapatan rendah dan menengah sehingga dapat membantu meningkatkan kemajuan dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sekaligus mengatasi tantangan-tantangan yang saling terkait, seperti perubahan iklim, dengan lebih baik.
Baca juga: Sekjen PBB Minta ASEAN Meredam Tensi Soal Laut Cina Selatan dan Politik Myanmar
Di bawah kepemimpinan Presiden Bank Dunia yang baru, Biden menjelaskan, perubahan sudah mulai mengakar. Bulan lalu, misalnya, ia telah meminta Kongres AS untuk memberikan dana tambahan guna memperluas pembiayaan Bank Dunia senilai 25 miliar dollar AS.
Adapun G20, AS menggalang kekuatan untuk memobilisasi lebih banyak pendanaan. Secara kolektif, upaya-upaya itu dapat memberikan dorongan transformasional terhadap pinjaman Bank Dunia.
”Dan, karena bank pembangunan multilateral merupakan salah satu alat terbaik yang kita miliki untuk memobilisasi investasi modern yang transparan dan berkualitas tinggi di negara-negara berkembang, maka reformasi lembaga-lembaga ini dapat membawa perubahan besar,” katanya.
Biden juga menyatakan bahwa AS telah mengusulkan untuk memastikan negara-negara berkembang memiliki suara dan keterwakilan yang kuat di Dana Moneter Internasional (IMF). Ia juga berjanji untuk melanjutkan mereformasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
”Bulan ini kami memperkuat G20 sebagai forum penting, menyambut Uni Afrika sebagai anggota tetap. Namun, meningkatkan dan memperkuat institusi kita, itu hanya separuh dari gambaran yang ada. Kita juga harus menjalin kemitraan baru, menghadapi tantangan baru,” katanya.