Majelis Umum PBB: Dari Reformasi, Utang, sampai Lobi
Agenda di dalam gedung Markas PBB di New York pada Sidang Majelis Umum Ke-78 padat merayap. Mulai dari isu reformasi lembaga, utang negara miskin, hingga lobi akan mewarnai dinamika di kompleks seluas 17 hektar itu.
Selama sepekan ini, padat merayap akan menjadi dinamika di kota New York. Di gedung PBB seluas 82.600 meter persegi di atas tanah seluas 17 hektar, ratusan agenda akan berlangsung paralel sekaligus maraton.
Ratusan kepala negara dan menteri berikut delegasi akan hadir pada Sidang Majelis Umum Ke-78 PBB berikut pertemuan sampingan, 19-26 September 2023. Selain debat umum, terdapat sepuluh pertemuan puncak dan ratusan pertemuan sampingan lainnya, termasuk acara yang digelar organ-organ PBB dan pertemuan bilateral antar-anggota PBB.
Waktu tempuh antara dua lokasi di kota New York yang biasanya kurang dari setengah jam kali ini bisa makan waktu hingga dua jam.
Sehubungan dengan perhelatan itu, sejumlah ruas jalan di sekitar Markas Besar PBB di kawasan Manhattan mulai ditutup sejak Minggu (18/9/2023) pagi hingga hari terakhir Sidang Majelis Umum PBB. Akibatnya, kendaraan pun padat merayap di mana-mana, bahkan kemacetan terjadi di banyak ruas jalan di kota itu.
Baca juga : Ukraina Menanti ”Resolusi Perdamaian” Majelis Umum PBB
Waktu tempuh antara dua lokasi di kota New York yang biasanya kurang dari setengah jam kali ini bisa makan waktu hingga dua jam. Warga setempat kesal dan marah-marah setiap tahun akibat dampak kegiatan PBB ini.
Isu reformasi
Tema Sidang Majelis Umum Ke-78 PBB adalah ”Membangun Kembali Kepercayaan dan Menyalakan Solidaritas Global: Mempercepat Aksi Agenda 2030 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Menuju Perdamaian, Kemakmuran, Perkembangan, dan Kesinambungan untuk Semuanya”. Adalah Dennis Francis dari Trinidad Tobago yang sejak 2021 menjadi perwakilan tetap negaranya di PBB sebagai Presiden Majelis Umum Ke-78 PBB.
”Kita akan lihat bagaimana asal negara dari Presiden Majelis PBB akan berpengaruh pada isu-isu yang akan diangkat dalam rangkaian pertemuan Sidang Majelis Umum PBB,” kata Wakil Tetap RI untuk PBB di New York Arrmanatha Christiawan Nasir dalam penjelasan kepada sejumlah wartawan dari Indonesia di New York, Minggu (18/9/2023).
Isu yang akan mengemuka, menurut Arrmanatha, antara lain, adalah Sustainable Development Goals (SDGs), kesehatan, perubahan iklim, pembiayaan pembangunan, pembiayaan perubahan iklim, dan utang negara miskin-berkembang. Ada pula pembahasan mengenai reformasi sistem multilateral, yakni reformasi PBB serta reformasi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Ada dorongan semakin kuat untuk reformasi. Itu akan menjadi isu yang menjadi perhatian tahun ini.
”Jadi, isu reformasi itu akan kental. Dilihat dari beberapa tahun terakhir, terutama sejak Covid-19, banyak negara merasa sistem multilateral ini sudah ketinggalan, tidak bisa menghadapi tantangan-tantangan saat ini. Ada dorongan semakin kuat untuk reformasi. Itu akan menjadi isu yang menjadi perhatian tahun ini,” katanya.
Baca juga : Kala Aula Majelis Umum Kembali “Bernyawa”
Ada pula isu-isu terkait sains, teknologi, dan inovasi. Turunan ketiga isu tersebut, antara lain, adalah kecerdasan buatan, digitalisasi, dan eksplorasi ruang angkasa. Isu pangan dan keamanan juga akan mencuat, termasuk kudeta-kudeta di Afrika, perang di Ukraina, dan isu-isu demokrasi.
”Ini juga akan jadi porsi yang banyak dirujuk oleh banyak negara dalam pernyataan-pernyataannya,” katanya.
180 undangan
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, kata Arrmanatha, mendapat lebih dari 180 undangan. Namun, tidak semua bisa dihadiri karena keterbatasan waktu. Indonesia juga menjadi sponsor pertemuan bersama kelompok perempuan Afghanistan, Irlandia, dan Kanada tentang isu perempuan Afghanistan.
Retno dijawalkan menggelar pertemuan bilateral lebih dari 30 kali selama di New York. Ada pula pertemuan bilateral singkat sambil berdiri yang jumlahnya sekitar 20 kali. Dengan demikian, akan ada sekitar 50 pertemuan bilateral.
”Tahun ini kita sedang memperjuangkan dua isu utama. Kita sedang melakukan pencalonan untuk menjadi anggota Dewan HAM PBB periode 2024-2026. Pemilihan akan dilakukan pada Oktober 2023. Tinggal beberapa minggu lagi, jadi perlu pendekatan,” ujar Arrmanatha.
Proses aksesi OECD akan sangat panjang karena prosesnya perlu negosiasi berbagai isu yang harus kita penuhi sesuai standar OECD.
Indonesia juga sedang mencalonkan menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). ”Menlu akan banyak ketemu dengan negara-negara anggota OECD. Kalau tidak salah, OECD terdiri dari 51 negara anggota. Dari awal melakukan lobi meskipun proses aksesi OECD akan sangat panjang karena prosesnya perlu negosiasi berbagai isu yang harus kita penuhi sesuai standar OECD,” katanya.
Masih ada sejumlah pertemuan lain yang akan dihadiri Retno. Salah satu yang sedang diusahakan adalah pertemuan para menteri luar negeri ASEAN. ”Untuk brainstorming tentang apa yang sedang terjadi saat ini. Ini menunjukkan kedekatan menteri-menteri ASEAN,” katanya.
Setiap tahun sejak 1946, semua anggota PBB berhimpun pada sesi Majelis Umum PBB. Inti dari sesi ini adalah debat umum, forum bagi para pemimpin negara anggota PBB untuk menyampaikan perspektif pemerintahnya masing-masing terhadap isu-isu utama di dunia politik.
Presiden Joko Widodo sebagaimana pada Sidang Majelis Umum PBB yang sudah-sudah tidak akan hadir di New York. Ia mendelegasikannya kepada Retno. Berdasarkan jadwal, Retno akan membacakan pidato Presiden Jokowi pada 23 September siang waktu New York atau 24 September tengah malam WIB.
Presiden Jokowi sebagaimana pada Sidang Majelis Umum PBB yang sudah-sudah tidak akan hadir di New York.
Mengawali rangkaian pertemuan maraton di New York adalah Pertemuan Puncak SDGs, Senin (19/9/2023). Dalam pertemuan tersebut, para pemimpin anggota PBB akan bersama-sama mengevaluasi dan membahas SDGs.
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Tri Tharyat, saat menyampaikan penjelasan kepada sejumlah wartawan Indonesia di New York, Minggu, menyatakan, capaian SDGs secara global memprihatinkan. Dari 169 target, hanya 12 persen yang berjalan sesuai rencana. Sekitar 50 persen berjalan lambat. Sisanya mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran.
Namun, Indonesia termasuk negara yang ia sebut mencatatkan capaian positif. Berdasarkan analisis dari 222 indikator SDGs, 141 indikator atau 63 persen telah mencapai target yang ditetapkan pada RAN 2021-2024 untuk 2021.
Jika ditambahkan dengan 15 persen atau 33 indikator yang menunjukkan tren membaik atau akan tercapai, maka terdapat 78 persen indikator SDGs yang telah tercapai dan mengalami kemajuan menuju pencapaian lebih baik.
”Akan tetapi, kita perlu memfokuskan upaya pada indikator yang memerlukan perhatian khusus yang mencakup sekitar 22 persen atau 48 indikator,” katanya.
Pada laporan SDGs 2023, Indonesia berada di urutan ke-75 dari 193 negara dalam hal capaian terhadap SDGs.
Pada laporan SDGs 2023, Indonesia berada di urutan ke-75 dari 193 negara dalam hal capaian terhadap SDGs. Sementara Thailand berada di urutan ke-43, Malaysia di urutan ke-78, dan Vietnam di urutan ke-55.
Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 diadopsi oleh semua negara anggota PBB pada 2015. Ini memberikan cetak biru bersama untuk perdamaian dan kemakmuran bagi manusia dan planet Bumi saat ini dan di masa depan.
Inti dari SDGs adalah 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang merupakan seruan mendesak agar semua negara, baik negara maju maupun berkembang, mengambil tindakan dalam kemitraan global. Mereka menyadari bahwa mengakhiri kemiskinan dan kekurangan lainnya harus berjalan seiring dengan strategi yang meningkatkan kesehatan dan pendidikan, mengurangi kesenjangan, dan memacu pertumbuhan ekonomi, sekaligus mengatasi perubahan iklim dan berupaya melestarikan lautan dan hutan.
”Tahun 2030, kemungkinan SDGs tidak akan tercapai. Menyelamatkan SDGs! Jadi, tujuan pertemuan puncak kali ini untuk menggalang komitmen politik. Salah satu isu terbesar yang akan didorong adalah pembiayaan SDGs karena itu jadi sumbatan untuk mendorong akselerasi pencapaian SDGs di banyak negara,” kata Tri Tharyat
Rata-rata 40 persen dari produk domestik bruto negara-negara miskin habis untuk membayar utang.
Pembiayaan yang dimaksud berarti komitmen negara maju. Ini juga berarti reformasi pada arsitektur keuangan internasional yang oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres disebut mengandung korupsi moral pada situasinya selama ini.
Ini merujuk pada situasi bahwa rata-rata 40 persen dari produk domestik bruto negara-negara miskin habis untuk membayar utang. Jika profilnya seperti ini, negara-negara miskin yang terjerat utang tidak akan pernah bisa mencapai target SDGs karena tak lagi memiliki anggaran untuk program-program SDGs.