Vietnam ”Darling” Investor, Tidak Hanya Mengentak Batam
Laporan DBS pada 3 Juli menjuluki Vietnam sebagai ”darling”-nya investor global. Jika bicara soal program ekonomi, Vietnam tergolong pragmatis, tidak bertele-tele.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
Pada dekade 2010-an, Batam terentak dengan pelarian investor. Tingkat hunian perumahan dan kawasan industri anjlok drastis. Rezeki para pengemudi Gojek turut lenyap. Kisah Batam sampai ke Istana Negara, salah satunya akibat pelarian para investor global yang hengkang ke Vietnam. Pada 2019, Presiden Joko Widodo turut berbicara tentang pulau yang tidak terlalu diminati investor asing. Untunglah Batam kemudian bergegas. Kini pertumbuhan ekonomi Batam di atas rata-rata nasional dan mencapai 6,84 persen pada 2022.
Hanya saja, pihak yang terentak pada dekade 2010-an silam tidak hanya Batam. Saat bersamaan, Vietnam juga mengentak Malaysia, Thailand, hingga Singapura. Para investor global ramai-ramai memasuki Vietnam, termasuk korporasi trans-nasional kaliber dunia, seperti Apple, Samsung, Canon, hingga Perusahaan afiliasi Nike dan banyak lagi lainnya.
Vietnam memiliki 10 alasan sebagai tujuan investasi asing, yakni lokasinya yang strategis, pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerintahan stabil, keberadaan para pekerja muda, kemudahan berbisnis, keberadaan zona industri khusus, iklim investasi yang menarik, pertumbuhan konsumen, jaringan ekonomi dunia lewat penekenan free trade area (FTA) dengan banyak negara dan kawasan, serta integrasi aturan lokal dengan peraturan dunia.
Hasil ”doi moi”
Semua ini berawal dari program reformasi ekonomi, dinamai doi moi, diterjemahkan sebagai keterbukaan dan reformasi. Vietnam mengenang pemimpin Partai Komunis Vietnam, Truong Chinh (1907-1988), peletak dasar doi moi pada Juli 1986. Kemiskinan yang melilit kehidupan 80 persen warga menjadi salah satu pemicu doi moi, yang membuka peran swasta besar-besaran.
Doi moi bukan sebuah jaminan. Pemerintahan Vietnam juga tidak ”kaya kata-kata”, tetapi serius mendalaminya, termasuk dengan mencanangkan rencana pembangunan lima tahun (repelita), meniru Indonesia. Segala kemudahan berbisnis dicanangkan, termasuk insentif bisnis.
Doi moi tidak cukup. Pemerintah mendalami aspek pendidikan. Di Vietnam ada lembaga bernama Vietnam Union of Science and Technology Associations (VUSTA), organisasi sosial politik bagi kaum intelektual sains dan teknologi. Salah satu tujuannya adalah agar negara tidak saja menyediakan pekerja muda berupah murah, tetapi produktif. ”Insentif bagi pebisnis yang sangat murah hati bukan satu-satunya alasan korporasi trans-nasional mengucurkan dana miliar dollar AS untuk investasi di Vietnam. Kelebihan Vietnam dari tetangga adalah keberadaan pekerja muda dengan talenta insinyur dengan gaji relatif murah,” demikian dituliskan Asia Times, 16 November 2022.
”Sekitar 40 persen lulusan universitas dan sekolah tinggi di Vietnam berasal dari jurusan sains dan engineering. Vietnam masuk dalam daftar 10 besar negara di dunia yang terbanyak meluluskan sarjana sains,” demikian situs tersebut.
Hal ini sangat menguntungkan Vietnam kala dunia membutuhkan jaringan global untuk produksi barang elektronik dan teknologi informasi. Hanya ada segelintir negara yang mengotaki jenis produksi ini, yang dibutuhkan hampir semua barang di dunia. Akan tetapi, diperlukan beberapa negara yang menjadi perakitnya, termasuk Vietnam.
Kelebihan lain, Vietnam adalah keberadaan peraturan yang sinkron mulai dari pusat hingga ke daerah. Kelebihan lain tentu adalah kedekatan dengan China.
Perang dagang dan geopolitik
Hal inilah yang membuat Vietnam jadi masuk dalam radar ekosistem semikonduktor global. Mendadak, kemelut geopolitik antara China dan AS mencuat. Presiden Donald Trump mulai tahun 2018 menembaki China dengan tarif impor, termasuk produk elektronik dengan alasan produk impor China telah mengacaukan sektor industri manufaktur AS.
Korporasi global yang berkiprah di China segera mencari lokasi baru untuk perakitan produk, termasuk produk terkait semikonduktor agar tidak terkena tarif saat memasuki pasar AS. Korporasi global menemukan Vietnam sebagai bagian dari strategi ”China Plus One”.
Vietnam pun sangat tanggap dengan situasi baru tersebut. ”Pada 2020, saat perusahaan-perusahaan teknologi informasi melanjutkan relokasi ke China, Vietnam menciptakan satu kelompok kerja dengan tugas merangsang masuk investor, termasuk menawarkan insentif lebih dari peraturan yang berlaku. Para perdana menteri dari beda era telah bertemu korporasi raksasa untuk mendorong investasi bidang semikonduktor,” demikian Asia Times.
Data dari ASEAN menunjukkan, posisi Vietnam melejit sebagai mitra dagang terbesar China di antara negara-negara ASEAN, khususnya untuk produksi komponen elektronik. Semua ini termasuk akibat limpahan produksi dari Shenzhen.
Pada 2015 adalah Singapura dan Malaysia yang menempati urutan teratas sebagai mitra perdagangan terbesar dengan China untuk produksi serupa. Pada 2016 dan 2017, Vietnam sudah mengalahkan Malaysia, tetapi masih di bawah Singapura. Mulai 2018 hingga sekarang, Vietnam menggusur semua negara ASEAN sebagai mitra terbesar China dalam perdagangan produk serupa.
Rebutan AS dan China
Sebenarnya Indonesia masih jauh lebih unggul dari Vietnam dalam jumlah lulusan sarjana sains dan engineering.Countries That Produce the Most Engineers - World Atlas. Vietnam juga kalah dalam peringkat global tentang indeks kemudahan berbisnis (ease of doing business). Vietnam ada di urutan ke-70 dalam indeks ini, kalah dari Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam. Tentu Indonesia kalah dari Vietnam dalam indeks ini dengan posisi ke-73.
Akan tetapi, ada kelebihan Vietnam di luar hierarki pasar. Vietnam jadi salah satu sasaran aksi saling rebut antara AS dan China. Amerika Serikat melihat Vietnam yang tidak ingin terjebak pada China karena dominasi ekonomi, dan sengketa wilayah di Laut China Selatan. Presiden Biden mengunjungi Vietnam, Minggu (10/9) dan Senin.Biden menggambarkan Vietnam sebagai ”kekuatan penting di dunia dan penentu arah di kawasan penting ini”.
Pemanis bisnis pun meluncur lewat pernyataan pihak AS. ”Komunitas bisnis AS berharap ada perbaikan tarif dan transfer teknologi dan intelijen, khususnya,” kata Greg Testerman, Ketua Kamar Dagang dan Industri Amerika Serikat di Vietnam. Tampaknya akan ada penurunan tarif masuk ekspor Vietnam ke pasar AS dan janji transfer teknologi AS serta niat perusahaan teknologi AS memasuki Vietnam lewat investasi.
China juga menawarkan hal lebih kurang serupa pada Vietnam. Sebagaimana dikutip China Daily, 26 Agustus lalu, Wang Huning seorang teknokrat yang juga kepercayaan Presiden Xi Jinping mencanangkan hubungan bilateral yang strategis dengan Vietnam. Perdana Menteri China Li Qiang juga sudah menawarkan kolaborasi ekonomi, yang terbukti telah mendorong perekonomian Vietnam.
Netralitas bangsa
Vietnam menerima kedua belah pihak setidaknya secara verbal. Terhadap China, Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh menyambut penguatan kolaborasi di antara dua negara komunis tersebut. Chinh memuji peran China sebagai mesin pertumbuhan global serta berharap hubungan bilateral meningkat ke posisi lebih kuat.
Pada Senin, 11 September, kepada Biden, PM Chinh menyatakan, kolaborasi dua negara akan berguna untuk perdamaian, kerja sama, dan pembangunan di kawasan dan dunia. Hanya saja, sehari sebelumnya, Sekjen Partai Komunis Vietnam Nguyen Phu Trong mengingatkan agar tidak ada campur tangan negara asing soal hak asasi di Vietnam.
Vietnam sama-sama pernah diserang oleh AS dan China. Negara ini ada di garda terdepan tentang efek dari sikap kekuatan geopolitik dunia, yang sewaktu-waktu bisa berubah dan semena-mena. Sewaktu-waktu juga bisa berubah ramah.
Akan tetapi, status Vietnam yang melejit secara ekonomi di Asia bukan pada belas kasih semata dari AS dan China. Semua itu adalah hasil langkah pemerintah Vietnam. Maka, laporan DBS pada 3 Juli menjuluki Vietnam sebagai darling-nya investor global. Jika bicara soal program ekonomi, Vietnam tergolong pragmatis, tidak bertele-tele. (AP/AFP/REUTERS)