Segitiga Bencana Perdagangan Orang di Asia Tenggara
Penyelidikan berbagai pihak terkait perdagangan orang mengarah pada dua pusat di Asia Tenggara, yakni perbatasan Kamboja-Thailand-Laos dan perbatasan Laos-Myanmar-Thailand.
Datang dengan angan untuk segera lebih sejahtera, ratusan ribu orang malah menderita. Oknum aparat dari berbagai negara terlibat memasok orang-orang ke sana. Bisnis itu menggiurkan. Omzetnya bisa mencapai miliaran rupiah per menit.
Penyelidikan berbagai pihak mengarah pada dua pusat daerah penderitaan itu di Asia Tenggara. Pusat pertama berlokasi di perbatasan Kamboja-Thailand-Laos. Adapun pusat kedua berada di perbatasan Laos-Myanmar-Thailand.
”Laos dan Thailand terutama menjadi daerah transit walau ada juga sebagian aktivitas di sana,” kata Judha Nugraha, Direktur Perlindungan WNI pada Kementerian Luar Negeri RI, Rabu (6/9/2023), di Jakarta.
Kesimpulan soal lokasi itu antara lain disebutkan dalam laporan Kantor Pendukung Kawasan (RSO) Bali Process. Dibentuk pada 2002, Bali Process merupakan forum kawasan untuk menangani perdagangan manusia dan migrasi ilegal.
Dalam laporan pada Juli 2023, RSO Bali Process menyebut, setidaknya 100.000 orang menjadi korban sindikat penipuan dan perjudian daring di Kamboja saja. Di Myanmar dan dua negara lain juga diduga ada puluhan ribu orang menjadi korban sindikat itu.
Baca juga: Lagi, Warga Indonesia Jadi Korban Sindikat Penipuan Daring
Laporan tersebut dikeluarkan hanya berselang beberapa pekan setelah para pemimpin ASEAN mendeklarasikan perang melawan sindikat tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menyoroti fenomena itu dengan getir. Setelah deklarasi pada Mei 2023, jumlah kasus TPPO yang terkait penipuan dan perjudian daring malah terus melonjak. Di Indonesia, setidaknya 700 kasus TPPO terkait penipuan dan perjudian daring terungkap pada Juni-Agustus 2023.
Omzet besar
Sindikat terus beraksi antara lain karena perputaran uang dalam bisnis itu memang besar sekali. Kepolisian Singapura tengah menyelidiki pencucian uang hasil sindikat itu. Sejauh ini, nilai uang dan aneka benda sitaan sudah mencapai Rp 20 triliun. Kepolisian Singapura tidak menampik potensi sitaan masih terus bertambah. Padahal, itu baru dari satu kelompok sindikat saja.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menaksir omzet judi daring di Indonesia saja setara Rp 165 juta per menit. Jika digabung dengan omzet di sejumlah negara lain, nilainya bisa menembus miliaran rupiah per menit.
Penyelidikan oleh kepolisian Singapura selaras dengan kesimpulan PPATK. ”Korbannya ada dua jenis, orang-orang ditipu secara daring atau terjerat perjudian daring serta orang-orang yang dipaksa menjadi operator penipuan dan perjudian daring,” kata Judha.
Disebut korban walau menjadi operator, menurut Judha, karena ada yang dipaksa bekerja di sana. ”Korban jenis ini setidaknya berasal dari 59 negara. Bukan hanya dari Asia, ada korban dari Afrika sampai Eropa,” katanya.
Baca juga: Sindikat Perdagangan Orang di Kapal China Diungkap
Mereka biasanya diimingi pekerjaan bergaji tinggi. Sindikat berpura-pura menawarkan pekerjaan pada beragam sektor, mulai dari teknologi sampai perhotelan. Sebagian besar lowongan disebut berada di Thailand. ”Saat tiba di Thailand, para korban dibawa ke Kamboja atau Myanmar,” ujar Judha.
Selain itu, banyak korban terpaksa tetap bekerja di sana karena tidak bisa keluar dari gedung tempat mereka tinggal. Operator melarang mereka keluar sampai utang mereka lunas. Utang itu ditetapkan secara sepihak oleh sindikat dengan alasan untuk membiayai perekrutan para korban.
Memang banyak tawaran kerja itu tak menyebutkan ada biaya perekrutan. Para korban hanya diminta berangkat ke negara tertentu, lalu terjebak di tempat-tempat yang menjadi pusat penipuan dan perjudian daring.
Pusat perjudian
Laporan RSO Bali Process mencantumkan, sejumlah kawasan ekonomi khusus di Kamboja malah menjadi pusat perjudian dan penipuan daring. Sementara laporan oleh Nikkei Asia, Al Jazeera, The New York Times, dan The Straits Times mengungkap, dulu Kamboja dan Myanmar menjadi pusat perjudian. Banyak kasino beroperasi di sejumlah daerah di Kamboja dan Myanmar. Bahkan, Kamboja membangun suatu kota yang diangankan menjadi pusat perjudian.
”Sebelum 2020, mayoritas tempat itu fokus di perjudian. Mereka terutama melayani warga China dan Thailand berjudi di akhir pekan atau berjudi lewat pelantar daring,” kata Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch Asia.
Pandemi Covid-19 membuat banyak kasino tutup. ”Sindikat pengelola kasino mengubah bisnis. Mereka fokus pada penipuan dan perjudian daring. Di salah satu daerah perbatasan Kamboja-Thailand ada 30 kasino. Mereka leluasa berbisnis karena menyuap besar-besaran aparat di sana. Polisi dan tentara terlibat,” kata Robertson.
Indo-China, wilayah Asia Tenggara yang berdekatan dengan India dan China, sudah bertahun-tahun menjadi sorotan. Tidak ada satu pun dari lima negara di kawasan itu bebas dari sindikat TPPO serta penipuan dan perjudian daring.
Diperparah konflik
”Konflik di Myanmar menambah persoalan penanganan TPPO. Di sana tidak ada aparat penegakan hukum yang efektif dan bisa menindak sindikat,” kata Vanda Felbab-Brown, peneliti Brookings Institute.
Banyak daerah di Myanmar praktis menerapkan hukum rimba. Aparat tidak punya kekuasaan di sana, milisi bersenjata beradu. ”Militer dan polisi Myanmar tidak sempat lagi mengurusi TPPO. Mereka sibuk menghadapi pemberontakan yang semakin gencar sejak kudeta 2021,” kata Felbab-Brown.
Baca juga: Cerita Korban TPPO di Kamboja: Saya Dipaksa Jadi Operator Penipuan Daring Menarget WNI
Ia dan Robertson sepakat tidak mungkin mengandalkan aparat dari satu atau dua negara saja untuk menangani masalah tersebut. Perlu tekanan dan kerja sama lintas negara untuk menangani kasus itu. Apalagi, korbannya juga berasal dari sejumlah negara.
Judha mengatakan, ada ratusan kasus penipuan daring dilaporkan dari perbatasan Myanmar-China. Pusatnya terutama di Myawaddy, Tachilek, Kokang, dan Muse. ”Tidak ada kejelasan siapa yang berwenang di sana. Aparat pemerintahnya tidak mampu ke sana, milisinya juga banyak sekali,” katanya.
KBRI Yangon dan KBRI Bangkok berulang kali menyelamatkan warga Indonesia dari sana. Penyelamatan itu berisiko tinggi karena tim harus melewati wilayah konflik bersenjata.
Ironisnya, berdasarkan data pemulangan dari sejumlah KBRI di Indo-China, ada warga Indonesia malah kembali bekerja di sana setelah diselamatkan. ”Kami tahu saat yang bersangkutan kembali meminta diselamatkan. Setelah diperiksa, ada kecocokan data,” ujar Judha.
Baca juga: ASEAN Melawan Perdagangan Orang secara Kolektif
Ada orang-orang yang secara sadar berangkat ke Kamboja untuk bekerja di operator perjudian. Mereka tergiur dengan potensi imbalan dari operator. Sebagian operator itu memberlakukan sistem komisi. Jika mencapai target tertentu, komisinya bisa mencapai 40 persen dari omzet.
Kondisi tersebut menjadi salah satu tantangan dalam pemberantasan TPPO yang berujung pada perjudian dan penipuan daring. Dalam laporan The New York Times aparat Kamboja kerap berkilah soal TPPO. Mereka menyebut, orang-orang yang bekerja sebagai operator perjudian dan penipuan daring itu datang sendiri. Kalaupun ada kasus, kepolisian menganggapnya sebagai perselisihan hubungan kerja.
Judha membenarkan ada kasus-kasus seperti itu. Oleh karena itu, Kemenlu dan KBRI kini benar-benar memeriksa setiap laporan. ”Negara tetap hadir untuk membantu warganya yang kesulitan di luar negeri,” katanya.