Kepulauan Pasifik dan bangsa-bangsa di lingkar Samudra Hindia resmi bermitra dengan ASEAN. Kerja sama didasarkan pada relasi yang inklusif, tepat tujuan, dan berbasis hak-hak bersama.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, LUKI AULIA, KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran ASEAN menjadi ruang bagi penguatan negara-negara berkembang dan negara kecil. Sebagai sebuah perhimpunan yang memiliki nilai strategis di kawasan, ASEAN berhasil memainkan posisi sebagai jembatan untuk menjalin beragam potensi kawasan, terutama di kawasan Asia dan Pasifik.
Di sela-sela pertemuan Para Menteri Luar Negeri Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Jakarta, Senin (4/9/2023), Forum Kepulauan Pasifik (PIF) menegaskan, mereka tidak mau lagi ditinggalkan dan diabaikan di dalam perkembangan situasi global. Bersama dengan Asosiasi Lingkar Samudra Pasifik (IORA), mereka menginginkan kerja sama yang inklusif, tepat tujuan, dan berbasis hak-hak bersama di kawasan Indo-Pasifik.
”Kita belajar dari pandemi Covid-19 bahwa solidaritas, kerja sama, transparansi, dan keuletan adalah kunci dari segala kemajuan,” kata Perdana Menteri Kepulauan Cook Mark Brown. Kepulauan Cook bertindak sebagai Ketua PIF 2023.
Pernyataan Brown itu mengiringi penandatanganan nota kesepahaman kerja sama antara PIF, ASEAN, dan IORA. Nota kesepahaman tersebut ditandatangani oleh Sekjen ASEAN Kao Kim Hourn, Sekjen IORA Salman Al Farisi, dan Deputi Sekjen PIF Esala Nayasi, disaksikan, antara lain, oleh Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi dan Menlu Bangladesh AK Abdul Momen sebagai Ketua IORA.
Lebih lanjut Brown menekankan, kerja sama untuk kesejahteraan bersama ialah saling mendengar. Intinya, selama ini suara dari negara-negara yang kecil sering tidak digubris, bahkan kalah di forum-forum internasional. Padahal, setiap bangsa berdaulat memiliki hak setara. Oleh sebab itu, Pasifik menolak untuk diam.
PIF terdiri atas 18 negara. Selama beberapa tahun terakhir, PIF menjadi pusat persaingan geopolitik, terutama antara Amerika Serikat dan China yang berebut pengaruh di kawasan tersebut. Beberapa contoh ialah kerja sama pertahanan China dengan Kepulauan Solomon dan kerja sama pertahanan AS dengan Papua Niugini.
Pada saat yang sama, walaupun diperebutkan dukungan politiknya, PIF merasa aspirasinya diabaikan. Hal ini tampak, misalnya, di kasus pelepasan air limbah radioaktif pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi milik Jepang. Air itu memang sudah diolah dan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) mengatakan bahwa tidak ada residu berbahaya.
Namun, PIF, China, dan sejumlah negara menolak pelepasan itu karena belum ada kajian jangka panjangnya. Terkait isu nuklir dan limbahnya, Kepulauan Pasifik mengalami trauma karena sepanjang abad ke-20 menjadi ladang uji coba persenjataan nuklir AS dan Perancis. PIF lantas menginisiasi Zona Pasifik Bebas Nuklir (PNFZ) pada tahun 1985 yang menentang segala pelepasan limbah nuklir ke kawasan.
Bahu-membahu
Terkait kerja sama ASEAN-IORA-PIF, Retno mengatakan, penandatanganan kerja sama dengan kedua organisasi ini penting bagi ASEAN karena dalam konstelasi Indo-Pasifik, PIF dan IORA juga masuk di dalamnya. ASEAN dan kedua organisasi ini juga berbagi wilayah perairan.
”Sudah sepatutnya kita bahu-membahu memastikan kawasan ini tidak menjadi perpanjangan tangan persaingan global. Jika ingin berjalan cepat, jalan sendirian. Jika ingin berjalan jauh, jalan bersama dan ini yang kita lakukan,” tuturnya.
Kerja sama tersebut, menurut Retno, amat penting artinya untuk memperkuat hubungan ASEAN dengan negara-negara di Samudra Hindia dan Pasifik.
”Negara-negara di Samudra Hindia dan Pasifik adalah bagian tak terpisahkan dari kawasan Indo-Pasifik. Kita berbagi kawasan yang sama. Apa pun yang terjadi di kawasan ini akan memengaruhi kita semua,” ucap Retno dikutip dari laman resmi Kemenlu.
ASEAN serta negara-negara di Samudra Hindia dan Pasifik harus bekerja sama menjaga perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran kawasan. Retno lantas menegaskan, jangan sampai Indo-Pasifik menjadi teater rivalitas kekuatan-kekuatan besar ataupun menjadi medan perang bagi konflik yang sejatinya terjadi di kawasan lain.
”Ini hanya bisa dilakukan jika kita menganut nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang sama, yaitu paradigma kolaborasi, bukan kompetisi, mentalitas win-win bukan zero-sum, dan pendekatan engagement bukan pengucilan,” kata Menlu.
Kepala Departemen Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies Lina Alexandra ketika dihubungi mengatakan, Indonesia telah memiliki modal kuat karena sejak tahun 1980-an mengembangkan kerja sama selatan-selatan. Tinggal intensitas dengan PIF dan IORA ditingkatkan.
Dalam hal ini, Indonesia harus bisa menjadi mitra yang membantu. Skemanya bisa melalui pendanaan Indonesian AID atau bisa juga triangular. Artinya, Indonesia menerima dana, baik dari negara maupun lembaga penyantun, dan kemudian membuatkan program untuk negara lain yang memerlukan.
”ASEAN, PIF, dan IORA penting untuk menjaga kenetralan Indo-Pasifik. ASEAN sebagai organisasi yang lebih besar dan mapan mempunyai tanggung jawab moral membantu suara dari negara-negara sahabat ini didengar di tataran global,” ujarnya.