Negara-negara yang memprotes peta terbaru China semakin banyak. Menteri Luar Negeri India Subhramanyam Jaishankar kepada NDTV mengatakan klaim China ini abdsurd dan sama sekali tidak berdasarkan fakta apapun.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
PUERTO PRINCESA, JUMAT – Penerbitan peta terbaru China semakin meningkatkan ketegangan tidak hanya di Laut China Selatan, tetapi juga di negara-negara tetangga China itu sendiri. Jumlah negara yang menolak klaim China atas wilayah kedaulatan mereka semakin bertambah. Menariknya, rilis peta ini dilakukan satu pekan sebelum Konferensi Tingkat Tinggi G20 dan KTT Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara.
“Filipina dengan tegas menolak klaim peta terbaru yang diterbitkan oleh Pemerintah China. Kita akan mengambil tindakan tegas untuk menyatakan kedaulatan wilayah Filipina,” kata Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr di Puerto Princesa, Palawan, Jumat (1/9/2023) dikutip oleh CNN Filipina. Panglima Militer Romeo Brawner menambahkan, Manila akan berhenti mengirim kadet untuk mengikuti pelatihan militer di China.
Peta itu diterbitkan pada Senin (28/8/2023). Ada begitu banyak daerah yang disengketakan dimasukkan begitu saja sebagai wilayah kedaulatan China. Bahkan, wilayah yang sejatinya adalah milik negara lain juga diaku oleh Beijing. Contohnya ialah Negara Bagian Arunachal Pradesh dan Dataran Tinggi Doklam yang resmi merupakan milik India. Selain itu, ada wilayah Aksai Chin yang masih diperebutkan Delhi-Beijing.
Menteri Luar Negeri India Subhramanyam Jaishankar kepada NDTV mengatakan klaim China ini abdsurd dan sama sekali tidak berdasarkan fakta apapun. Setelah protes India, Pemerintah Malaysia mengeluarkan penolakan tertulis. Disusul dengan Taiwan, dan Vietnam.
Peta China memasukkan Sepuluh Garis Putus-Putus yang mengklaim seluruh Laut China Selatan (LCS) yang masih disengketakan oleh China dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Adapun garis kesepuluh mengklaim Taiwan sebagai wilayah China. Taipei mengeluarkan pernyataan bahwa mereka adalah wilayah otonom.
Peta sengketa di Laut China Selatan antara negara-negara ASEAN dengan China.
Indonesia tidak secara gamblang memprotes atau menolak. “Semua klaim di laut harus sesuai dengan aturan UNCLOS 1982 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Laut),” Kata Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi.
Pada tahun 2016, Filipina menggugat peta China yang kala itu masih memakai Sembilan Garis Putus-Putus ke Mahkamah Internasional dan menang. Sistem China tersebut dinyatakan tidak sah sehingga klaim mereka atas 80 persen LCS tidak bisa dibenarkan. ASEAN dan China masih dalam proses menyusun kode panduan (code of conduct) yang menurut banyak pihak terlalu lama.
Peta terbaru itu juga berpotensi memunculkan masalah dengan sahabat terdekat China, yakni Rusia. Pasalnya, Beijing mengklaim Pulau Bolshoy Ussuriysky yang terletak di antara Sungai Amur dan Sungai Ussur. Padahal, 20 tahun lalu, Beijing dan Moskwa telah berjanji membagi dua pulau tersebut. Sejauh ini, belum ada tanggapan dari Pemerintah Rusia.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin dalam jumpa pers harian menghindar membahas persoalan peta secara spesifik. “Kami meminta semua negara tenang dan melihat peta ini secara obyektif,” ujarnya.
Penerbitan peta ini satu pekan setelah Presiden China Xi Jinping menghadiri KTT BRICS—lembaga kerja sama Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Arab Saudi, Iran, Argentina, Etiopia, Mesir, dan Uni Emirat Arab—di Johannesburg. Pekan depan adalah KTT ASEAN di Jakarta dan berikutnya lagi KTT G20 di Delhi.
Belum ada keterangan resmi yang mengatakan Xi akan datang ke Delhi. Di Johannesburg, Xi dan Perdana Menteri India Narendra Modi sepakat untuk menarik pasukan masing-masing dari Aksai Chin. Pada tahun 2020, di Lembah Galwan yang terletak di Ladakh, Aksai Chin terjadi bentrok antara militer kedua negara. Akibatnya, 20 tentara India dan empat tentara China tewas.
“Peta baru ini memperburuk ketegangan geopolitik, setidaknya di LCS. Memasukkan LCS dan Taiwan ke dalam peta adalah cara China mengatakan bahwa mereka siap semakin asertif dalam berpatroli demi mengamankan ‘kedaulatan’ Beijing,” papar ahli hukum kelautan Universitas Nasional Australia (ANU) Donald Rothman kepada NBC News. (AP)