Asia Tenggara Terbelit Perdagangan Orang dan Sindikat Penipuan Daring
Tentara, polisi, hingga anggota kabinet terlibat perdagangan di Asia Tenggara. Sejumlah warga sengaja berhubungan dengan sindikat itu. Belakangan, mereka mengaku jadi korban dan minta diselamatkan.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir empat bulan sejak ASEAN mendeklarasikan kehendak memberantasnya, perdagangan orang dan sindikat penipuan daring masih marak di Asia Tenggara. Keterlibatan petinggi di sejumlah negara ASEAN menjadi penyebab sindikat perdagangan terus bergerak leluasa.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-42 ASEAN di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, pada Mei 2023, pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan penipuan daring menjadi fokus. Meski demikian, menjelang KTT Ke-43 ASEAN di Jakarta pada 5-7 September 2023, belitan kasus itu tidak kunjung reda di Asia Tenggara.
Laporan The New York Times pada Selasa (29/8/2023) mengindikasikan penguatan belitan itu. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menaksir, setidaknya 10.000 korban TPPO ada di Kamboja. Sementara menurut Interpol, ada puluhan ribu korban TPPO di Kamboja, Myanmar, dan Laos. Sebagian bekerja di operator perjudian daring. Sebagian lagi menjadi pekerja di sindikat penipuan daring.
Direktur Humas Kelompok HAM Kamboja Naly Pilorge menyebut, diperlukan tindakan lebih kuat dan terkoordinasi untuk memberantas TPPO di Asia Tenggara. Sebab, pemberantasan di tingkat negara sulit dilakukan karena keterlibatan petinggi. ”Komunitas internasional tidak konsisten soal hubungan kekuasaan dan kejahatan di Kamboja,” katanya sebagaimana dikutip The New York Times.
Koran AS itu menyebut, para korban bekerja di sejumlah perusahaan yang menjalankan penipuan secara daring. Kasus-kasus itu, antara lain, terjadi di Provinsi Koh Kong. Wakil Gubernur Koh Kong Somkhit Vien menampik para pekerja itu korban TPPO. Sebagian besar tahu mereka akan bekerja di penyedia jasa perjudian daring dan industri sejenis. Korban yang lari kerap kali disebutnya ada sengketa hubungan kerja.
Sindikat Indonesia
Laporan The New York Times diungkap sehari setelah Polri mengumumkan penangkapan sindikat TPPO dan penyelamatan korbannya. Pada 5 Juni-27 Agustus 2023, Satuan Tugas Pemberantasan TPPO menangkap 962 anggota sindikat TPPO. ”Jumlah korban TPPO yang diselamatkan sebanyak 2.549 orang,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan.
Para korban diselamatkan dari 520 kasus pengiriman tenaga kerja secara ilegal. Selain itu, ada 245 kasus yang mengarahkan korban menjadi pramuria. Sebagian dari 2.549 korban itu masih anak-anak.
Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani pernah menyebut, sindikat TPPO Indonesia juga melibatkan petinggi dan aparat. Dalam rapat di Istana Negara, Jakarta, pada Mei 2023, ia mengakui ada oknum pegawai BP2MI yang terlibat sindikat TPPO.
Selain itu, ada oknum anggota TNI dan Polri serta aparatur sipil negara di sejumlah lembaga terlibat dalam sindikat itu. Keterlibatan mereka menjadi salah satu penyebab TPPO nyaris sulit diberantas di Indonesia. Rangkaian penangkapan selama bertahun-tahun tidak kunjung menghilangkan sindikat itu.
Sementara Direktorat Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri malah menemukan ironi. Sejumlah orang yang mengaku korban TPPO ternyata sudah berulang kali berangkat dengan jasa pihak yang disebut sindikat TPPO. Hal itu diketahui berdasarkan data pemulangan korban TPPO. Beberapa orang terdata pernah beberapa kali diselamatkan Pemerintah RI.
Ada pula WNI yang diduga kuat secara sadar bekerja di operator judi dan penipuan daring. Hal itu pernah ditemukan di Kamboja dan Laos. Setelah diselamatkan dan dipulangkan ke kampung halaman, orang-orang itu malah terlacak kembali bekerja pada sindikat penipuan daring di Laos.
Sebagian bahkan bekerja di perusahaan yang sama. Padahal, beberapa bulan sebelumnya, mereka menyebarkan video ke media sosial dan mengaku ditipu sindikat TPPO. Selanjutnya, mereka meminta diselamatkan, lalu dipulangkan ke kampung halaman.
Tidak hanya kembali bekerja di operator yang sama, mereka juga mengajak WNI lain bekerja sama. Kepada orang yang diajak, mereka telah memberi tahu akan bekerja di lembaga seperti apa.
Selain itu, ada juga WNI yang mengaku ditawari bekerja di operator judi daring. Saat tiba di Kamboja, WNI itu merasa ditipu karena malah dipekerjakan di operator penipuan daring. ”Karena itu, penanganan TPPO dan sindikat penipuan daring ini amat kompleks. Tidak semua yang mengaku korban benar-benar korban,” kata Direktur Perlindungan WNI Kemenlu Judha Nugraha.
Memang ada orang-orang yang benar-benar menjadi korban sindikat itu. Biasanya, mereka tergiur tawaran kerja bergaji ribuan dollar AS per bulan. Mereka semakin tergiur karena perekrut menyebut tidak diperlukan keterampilan dan kualifikasi akademis apa pun. ”Kami terus menyosialisasikan cara mendeteksi dugaan penipuan dengan modus tawaran kerja di luar negeri,” kata Judha.