Raja Thailand Restui Srettha Thavisin Jadi PM Baru
Setelah macet selama tiga bulan, Thailand akhirnya memiliki perdana menteri. Mampukah koalisi ini bertahan?
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
BANGKOK, RABU — Raja Thailand Maha Vajiralongkorn mengeluarkan surat resmi yang menyatakan restu serta dukungannya terhadap Srettha Thavisin (62), politikus Partai Pheu Thai menjadi perdana menteri ke-30 di negara tersebut. Meskipun demikian, publik bertanya-tanya apakah koalisi antara partai-partai yang bertolak belakang itu bisa bertahan lama atau akan menghadapi kudeta militer.
Surat dari Raja Vajiralongkorn itu dibacakan di kantor pusat Pheu Thai di Bangkok, Rabu (23/8/2023) pukul 18.00 waktu setempat. Pembacaan itu sekaligus menyatakan Srettha telah sah mengemban tugas sebagai kepala Pemerintahan Thailand.
Dukungan raja ini sejatinya telah diumumkan sejak pagi oleh Juru Bicara Parlemen Thailand Kampi Dittakorn. ”Raja telah bersabda, ini artinya Srettha sudah sah menjadi perdana menteri. Surat resmi ini tinggal menunggu untuk upacara pelantikannya,” tuturnya.
Dikutip dari surat kabar Bangkok Post, Srettha menyampaikan janjinya untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Thailand. ”Saya akan bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menggenjot ekonomi,” katanya.
Srettha, pengusaha properti, memperoleh 482 suara di parlemen. Adapun 165 suara menentangnya dan 81 suara memilih abstain. Terpilihnya Srettha sebagai PM mengurai kemandekan politik Thailand sejak Mei lalu. Sejatinya, Partai Bergerak Maju (MFP) yang progresif memenangi pemilihan umum, tetapi tidak cukup untuk menguasai kursi di parlemen.
Ada 250 kursi Senat yang tetap diisi oleh perwakilan militer. Mereka tidak menyukai MFP yang terlalu radikal dan hendak menghapus Undang-Undang Lese Majeste, yaitu hukuman 15 tahun penjara bagi mereka yang menghina raja. MFP didukung oleh anak-anak muda, terutama dari perkotaan yang menginginkan gebrakan karena sudah muak dengan status quo antara militer dan kerajaan.
Ketua MFP Pita Limjaroenrat dua kali gagal terpilih menjadi PM karena para senator militer tidak mendukungnya. Akibatnya, MFP didepak dari koalisi antimiliter. Pheu Thai, mantan mitra MFP, membentuk koalisi baru yang mencakup partai-partai promiliter.
Pelantikan Srettha terjadi satu hari setelah mantan PM Thaksin Shinawatra pulang ke tanah air. Thaksin dua kali terpilih sebagai PM, yakni tahun 2001 dan 2006, sebelum digulingkan melalui kudeta militer. Thaksin adalah pendiri Pheu Thai sekaligus ayah dari Paetongtarn Shinawatra yang awalnya bersaing dengan Pita memperebutkan kursi PM.
Thaksin angkat kaki dari Thailand selama 15 tahun setelah divonis hukuman 8 tahun penjara akibat tuduhan korupsi. Kemenangan Pheu Thai ini diperkirakan bertujuan untuk melobi pihak yudikatif agar menghapus hukuman tersebut. Baru semalam dipenjara, Thaksin pada Rabu dilarikan ke rumah sakit polisi dengan alasan nyeri di dada. Sejumlah pihak menuding kongkalingkong antara Pheu Thai dan polisi, tetapi Pheu Thai menyangkal.
Mengingat Pheu Thai secara de facto masih dipengaruhi oleh Thaksin, diduga kepemimpinan Srettha akan banyak diarahkan oleh dia. Thaksin, walaupun berasal dari keluarga kaya raya dan pengusaha terkemuka, sangat populer di mata 70 persen masyarakat Thailand. Basis pendukung dia adalah masyarakat kalangan ekonomi lemah dan di perdesaan.
Ia terkenal dengan berbagai kebijakan populis, beberapa di antaranya akses kesehatan yang murah dan terjangkau oleh rakyat kecil, kenaikan upah kerja, dan penangguhan bunga utang untuk petani. Kuatnya dukungan masyarakat akar rumput terhadap Thaksin ini dianggap berbahaya oleh militer dan kerajaan karena mengganggu status quo serta kekuasaan mereka.
Oleh sebab itu, belum setahun menjalani masa jabatan kedua pada 2006, Thaksin dikudeta. Adik perempuannya, Yingluck Shinawatra yang terpilih menjadi PM, juga kandas pemerintahannya pada 2014 karena penyebab yang sama. Publik pun bertanya-tanya apabila pemerintahan kali ini bisa bertahan.
”Keputusan Pheu Thai berkoalisi dengan partai-partai promiliter ini mengejutkan karena tidak terbayangkan, selama dua dasawarsa ini yang namanya Kubu Thaksin selalu berseberangan dengan militer,” kata pengamat politik, Napon Jatusripitak.
Menurut dia, langkah ini turut membuat sejumlah pendukung Pheu Thai kecewa dan mengambil jarak dari partai itu. Napon menjelaskan, bagi militer, Pheu Thai ini tidak seradikal MFP sehingga bisa menjadi bemper atau bantalan untuk mencegah benturan antara militer dan kelompok progresif.
”Ini jika tidak dikelola dengan saksama bisa merugikan Pheu Thai karena sekarang mereka diawasi oleh militer yang belum sepenuhnya percaya kepada mereka dan juga ditentang oleh kelompok progresif. Apalagi, dengan kehadiran Thaksin di Thailand, kemungkinan tidak akan menaikkan reputasi Pheu Thai,” ujarnya. (AFP/REUTERS)