Presiden Jokowi Pastikan Hadiri KTT BRICS di Afrika Selatan
Presiden Joko Widodo akan menghadiri KTT BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan. Dalam lawatan pertamanya ke Afrika itu, Presiden akan mengumandangkan Semangat Bandung di tengah polarisasi dunia.
MEDAN, KOMPAS - Presiden Joko Widodo memastikan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi BRICS yang digelar di Johannesburg, Afrika Selatan, 22-24 Agustus 2023. Presiden menyebut akan membawa ”Semangat Bandung” di pertemuan itu. Presiden juga akan berkunjung ke Kenya, Tanzania, dan Mozambik untuk pertemuan bilateral.
”Indonesia juga berperan penting dalam melahirkan gerakan nonblok saat itu dan spirit Bandung inilah yang akan saya bawa dalam kunjungan ke Afrika dengan memperkokoh solidaritas dan kerja sama di antara negara-negara Global South,” kata Presiden kepada wartawan sesaat sebelum bertolak ke Benua Afrika dari Bandara Internasional Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara, Minggu (20/8/2023).
Hadir mendampingi Presiden, antara lain, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan serta Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah berada di Afrika untuk menyiapkan kedatangan Presiden.
Dan spirit Bandung inilah yang akan saya bawa dalam kunjungan ke Afrika dengan memperkokoh solidaritas dan kerja sama di antara negara-negara Global South.
Semangat Bandung atau Bandung Spirit yang dimaksud Presiden adalah hasil Konferensi Asia Afrika 1955 yang disebut sebagai Dasasila Bandung. Isi Dasasila Bandung, antara lain, menghormati hak-hak dasar manusia serta tujuan dan asas di piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jokowi mengatakan, hubungan Indonesia dengan negara-negara Afrika sudah terjalin sejak lama. Sejarah itu telah menjadi bagian dari hubungan tak terpisahkan Indonesia sebagai penggagas Konferensi Asia Afrika tahun 1955 dengan negara-negara Afrika serta negara dunia ke tiga lainnya.
Perjalanan ke Afrika itu adalah lawatan perdana Presiden Jokowi. Kepala Negara dan rombongan mendarat di Bandara Internasional Jomo Kenyatta Nairobi, Kenya, Minggu pukul 19.15 WIB.
BRICS adalah blok kerja sama ekonomi yang meliputi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. BRICS mencakup 43 persen populasi dunia dan 16 persen perdagangan global. Seiring dunia yang multipolar, blok ini terus mengonsolidasikan diri sebagai kekuatan geopolitik dan geoekonomi baru untuk mengimbangi negara-negara Barat.
Semua kepala pemerintahan BRICS dijadwalkan hadir di Johannesburg, kecuali Presiden Rusia Vladimir Putin yang akan hadir secara virtual. Sejak 2017, saat KTT BRICS di China, nama Indonesia santer disebut sebagai calon anggota blok ini. Hingga menjelang keberangkatannya ke Afrika, Presiden tak menyebutkan apakah Indonesia akan bergabung dengan BRICS atau tidak.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah, dihubungi Minggu malam, mengatakan, kehadiran Presiden Jokowi di KTT BRICS adalah untuk memenuhi undangan tuan rumah, Afrika Selatan, yang merupakan negara sahabat Indonesia.
“Saya tidak ingin berspekulasi. Setidaknya, yang perlu digarisbawahi adalah Indonesia hadir memenuhi undangan tuan rumah, Afrika Selatan, negara sahabat Indonesia,” kata Faizasyah.
Dia mengatakan, mungkin tindakan Afrika Selatan mengundang Indonesia adalah sama ketika Indonesia memegang Keketuaan G20 tahun 2022 lalu dan mengundang negara-negara Kepulauan Pasifik untuk hadir pada saat konferensi tingkat tinggi di Nusa Dua, Bali, November tahun lalu. Saat itu Indonesia mengundang beberapa kepala negara atau kepala pemerintahan yang negaranya bukan merupakan anggota G20.
Tarik-ulur
Dinna Prapto Rahardja, pengamat hubungan internasional dari lembaga Synergy Policies, mengatakan, mengenai masalah keanggotaan, masih ada tarik ulur antara negara-negara anggota BRICS itu sendiri. China dan Afrika Selatan ingin mengembangkan keanggotaannya.
Akan tetapi, India masih resistan. India beralasan bahwa penambahan anggota harus berdasarkan kejelasan kriteria keanggotaan yang akan dituju, terutama bila BRICS ingin menjadi penyeimbang poros ekonomi Barat.
Dinna juga mengatakan, konsolidasi yang tengah diupayakan oleh BRICS tidak selalu harus dilihat hitam-putih, vis a vis poros China-Rusia dengan negara-negara Barat. “Jangan lupa dalam BRICS ada unsur India, Brazil, Afrika Selatan. India sangat sangat aktif berkeinginan di situ. India resistan meluaskan kepesertaan. Jadi isunya bukan solidaritas Gerakan Non-Blok. Sudah beda auranya,” katanya.
Bila melihat hal itu, dalam pandangan Dinna, pemerintah Indonesia juga belum tampak secara jelas memosisikan diri ketika berhadapan dengan negara-negara BRICS. Apalagi belum ada pernyataan resmi dari pemerintah atau presiden mengenai apa yang ingin dicapai bila bergabung dengan kelompok tersebut.
Menteri Kerja Sama dan Hubungan Afrika Selatan, Naledi Pandor menekankan pentingnya peran BRICS saat dunia terpolarisasi sebagaimana terjadi saat ini. “Visi kami di BRICS adalah memberikan kepemimpinan global di dunia yang terpecah oleh kompetisi, ketegangan geopolitik, kesenjangan, dan keamanan global yang memburuk,” katanya. (Kompas, 2 Juni 2023).
Pernyataan itu juga dikuatkan oleh Duta Besar China untuk Pretoria Chen Xiaodong dan Anil Sooklal, Duta Besar Afrika Selatan untuk Asia dan BRICS. "Sistem pemerintahan global tradisional telah menjadi disfungsional, kekurangan dan hilang dalam tindakan," kata Chen. Dia menyatakan, BRICS akan menjadi kekuatan yang gigih dalam membela keadilan internasional.
Sooklal menyebut bahwa salah satu alasan negara-negara berbaris untuk bergabung dengan BRICS adalah bahwa dunia semakin terpolarisasi setelah invasi Rusia ke Ukraina. Negara-negara dipaksa untuk memihak.
"Negara-negara di Selatan tidak mau diberitahu siapa yang harus didukung, bagaimana bersikap, dan bagaimana menjalankan urusan kedaulatan mereka. Mereka cukup kuat sekarang untuk menegaskan posisi masing-masing," tambah Sooklal.
Agenda BRICS
Selain perluasan keanggotaan, di mana disebutkan oleh Pemerintah Afrika Selatan bahwa 40 negara tertarik untuk bergabung dengan kelompok ini, ada beberapa agenda lain yang memiliki kemungkinan untuk dibahas. Di antaranya adalah peningkatan penggalangan dana bantuan dan pinjaman dalam mata uang lokal oleh Bank Pembangunan Baru (New Development Bank).
Penggunaan mata uang lokal untuk memberikan dana bantuan menjadi menarik bagi negara-negara dunia ke tiga atau negara miskin dan berkembang setelah kebijakan Bank Sentra Amerika Serikat (Federal Reserve) menaikkan suku bunga membuat utang dalam bentuk dollar menjadi semakin menggelembung. Ini menekan kemampuan mereka membayar pokok utang dan bunga pinjaman.
“Penggunaan mata uang lokal akan membantu menghilangkan risiko dampak fluktuasi valuta asing,” kata Menteri Keuangan Afrika Selatan Enoch Godongwana.
Selain membahas cara mengurangi ketergantungan penggunaan mata uang dolar AS dalam transaksi ekonomi antarnegara anggota, hal lain yang akan dibahas adalah peluang perdagangan dan investasi di antara sesama negara anggota, mulai dari kerja sama energi baru terbarukan, pembangunan infrastruktur hingga ekonomi digital (AFP/REUTERS)