Indonesia dan BRICS
Hingga saat ini Indonesia belum memutuskan akan menerima atau tidak ”tawaran” BRICS. Jelas dibutuhkan tawar- menawar, negosiasi, dan kompromi untuk mencegah adanya dominasi. Jika lengah Indonesia akan terpinggirkan.
Bukan suatu kebetulan bahwa isu keanggotaan Indonesia dalam forum kerja sama BRICS—yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—kembali dimunculkan pada 2022 ketika ketuanya dipegang China.
Pada saat yang bersamaan, Indonesia juga menjadi ketua G20 dan perang Rusia-Ukraina masih terus berlangsung. Isu keanggotaan Indonesia di BRICS itu sendiri juga pernah muncul pada 2011 ketika ketua BRICS juga dipegang China, dan forum ini telah berubah dari BRIC menjadi BRICS dengan masuknya Afrika Selatan.
Sekalipun Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-14 BRICS (23-24 Juni 2002) bertemakan ”Foster High-quality BRICS Partnership, Usher in a New Era for Global Development”, dilaksanakan secara daring dari Beijing, perang Ukraina-Rusia dan dampak ekonominya membayangi pertemuan ini.
Oleh karena itu, Presiden China Xi Jinping dalam forum bisnis sebelum KTT menyatakan, ”Krisis Ukraina merupakan lonceng peringatan.” Ia juga memperingatkan adanya ”perluasan aliansi-aliansi militer di dunia yang mencari keamanan bagi dirinya sendiri dengan mengorbankan keamanan negara lain”. Sebagai catatan, tiga anggota BRICS—China, India, Afrika Selatan—telah menyatakan abstain pada pemungutan suara bagi resolusi PBB yang mengecam invasi Rusia ke Ukraina.
Awalnya banyak yang meragukan prospek BRICS mengingat berbagai perbedaan.
BRICS Plus
Awalnya banyak yang meragukan prospek BRICS mengingat berbagai perbedaan. Secara politis, dua negara BRICS masih kerap dianggap dipimpin pemerintahan otoriter, tiga lainnya sebagai demokrasi yang gaduh (noisy).
Dua merupakan anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), tiga lainnya sangat berpengaruh di PBB. Dua negara (Rusia dan China) merupakan negara nuklir, India de facto negara nuklir, sementara Afrika Selatan dan Brasil telah meninggalkan program senjata nuklirnya masing-masing pada 1989 dan 1990.
China dan India pernah berperang tahun 1962 dan kontak senjata pada 2020-2022 di wilayah Ladakh, Himalaya. China dan Uni Soviet, meski berbeda konteksnya, pernah terbelah (split) awal 1960-an, bahkan pernah bentrok militer di Sungai Ussuri pada 1969.
Secara ekonomi, Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan dikenal sebagai penyedia sumber daya alam, sementara India dan China merupakan produsen manufaktur. Selain itu, negara-negara BRICS juga mengadaptasi kebijakan liberalisasi ekonomi dan pasar bebas menurut cara mereka masing-masing.
Sebagai forum kerja sama lintas benua di antara emerging market, yang akronimnya diperkenalkan oleh Jim O’Neill, mantan CEO Goldman Sachs pada 2001, BRICS memiliki potensi besar untuk mengimbangi kelompok negara maju G7 (Kanada, AS, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Jepang).
Secara gabungan, sejak berfungsi pada 2009, BRICS mencakup 43 persen penduduk dunia, 17 persen perdagangan dunia, memiliki produk domestik bruto (PDB) 24,44 triliun dollar AS pada 2021, atau melebihi AS dan seperempat PDB dunia (Statista, 28/6/2021).
Baca juga : Upaya Menggalang Kekuatan Alternatif
Baca juga : China Sebut 13 Negara Tertarik Gabung BRICS, Kian Kuat Saingi G7?
Bahkan, menurut Bank Dunia, G7 dan negara awal BRICS mencakup 11 dari 12 negara ekonomi terbesar di dunia, selain Korea Selatan. Dengan potensi itu, berkembang optimisme bahwa BRICS akan tumbuh menjadi pengimbang kelompok negara-negara maju, yaitu OECD (Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi), dan periode 2010-2020 dianggap sebagai dasawarsa BRICS. Oleh karena itu, sejak 2011 sudah berkembang isu bahwa organisasi ini akan terus memperluas keanggotaannya, dengan mengundang negara-negara berkembang tertentu.
Setidaknya ada tiga alasan kenapa BRICS ingin mengembangkan diri. Pertama, semakin intensifnya konfrontasi Timur-Barat. Kedua, untuk memperkuat kerja sama ”BRICS Plus”. Ketiga, adanya tuntutan dari negara-negara ”simpul” (node countries). Diberitakan bahwa sejumlah negara, seperti Argentina, Iran, Mesir, Arab Saudi, dan Turki, akan bergabung pada 2023.
Posisi Indonesia
Sudah berkali-kali sejak 2011, ketika BRIC berubah menjadi BRICS, Indonesia juga disebut sebagai calon anggota berikutnya. Bahkan, dalam KTT BRICS di Xiamen, China, pada 2017, kantor berita Xinhua tiga kali menyebut Indonesia akan bergabung dalam kelompok ini setelah pertemuan itu.
Yang menarik, menurut Philip Bowring, pengelompokan emerging market ini tidak ditemukan oleh O’Neill, tetapi oleh Presiden Soekarno setengah abad sebelumnya ketika menggagas new emerging forces (New York Times, 22/4/2011). Goldman Sachs telah memasukkan Indonesia ke dalam N-11 (Next 11 emerging economy) antara lain bersama Filipina, Korea Selatan, Mesir, Turki, dan Vietnam.
Memang Bowring menyangsikan efektivitas BRICS mengingat the emerging forces dinilai lebih terwakili dalam G20. The Financial Times menyatakan KTT BRICS sebagai ”no common cause” karena negara-negara itu hampir tak memiliki kesamaan di luar skala dan pertumbuhan ekonomi mereka. ”Mereka bahkan saling bersaing kian sengit dalam perebutan pangsa di pasar yang sama, satu sama lain” (chinadaily.com, 14/4/2011).
Baik Bowring maupun Financial Times agaknya luput; dunia memang telah berubah secara politis dengan tidak adanya persaingan ideologi, tetapi secara ekonomis jurang antara kaya dan miskin tetap melebar. Memang tidak ada organisasi yang sempurna dalam arti memenuhi kepentingan anggotanya.
G20 memang lebih inklusif karena BRICS dan MIKTA ada di dalamnya, tetapi kelompok ini dinilai banyak didikte oleh kepentingan negara maju, karena kelompok G7 tetap eksis di situ
Selain BRICS, di antara emerging market juga ada kelompok MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia). MIKTA memang merupakan pengelompokan informal dan berfungsi sebagai platform konsultatif lintas kawasan dalam membentuk landasan bersama untuk kerja sama.
G20 memang lebih inklusif karena BRICS dan MIKTA ada di dalamnya, tetapi kelompok ini dinilai banyak didikte oleh kepentingan negara maju, karena kelompok G7 tetap eksis di situ. Oleh karena itu, tetap diperlukan adanya kerja sama dan koordinasi di antara emerging forces/market. Mengingat MIKTA merupakan forum yang ”kendur”, BRICS diharapkan menjadi semacam motor penggerak (driving factors) untuk menjembatani dan menyempitkan jurang itu.
Dalam konteks ini, BRICS dapat dilihat sebagai penggerak itu (prime mover) atau penyeimbang (balancer) dominasi G-7 atau OECD.
Bergabung atau tidak?
Mengadaptasi model Game Theory, pakar sosiologi Jepang Gaetano Mossaco menyatakan bahwa teori ini merupakan pendekatan yang diarahkan untuk memelihara keseimbangan dalam masyarakat, dan menyeimbangkan kepentingan berbagai kelompok. Individu (atau negara) yang memiliki kesamaan kepentingan (common interest) akan bergabung membentuk kelompok formal atau informal, untuk memengaruhi kebijakan negara (atau kelompok negara) agar memenuhi kebutuhan mereka.
Walakin, dalam proses itu kelompok yang lebih kecil/lemah akan mengalah (succumb) pada tekanan kelompok yang lebih dominan melalui tawar-menawar, negosiasi, dan kompromi.
Indonesia memang merupakan kandidat yang paling potensial untuk diundang ke dalam BRICS, sebagai emerging market dan negara Muslim terbesar, dan hal ini diakui oleh China. Kekuatan BRICS terletak pada keberagaman dan keterwakilannya sehingga negara anggotanya berharap dapat memperdalam kerja sama dengan pasar negara berkembang dan negara lainnya, dan meningkatkan daya tarik BRICS (Global Times, 21/5/2022).
Hingga saat ini Indonesia belum memutuskan akan menerima atau tidak ”tawaran” BRICS. Melalui upaya diplomasi, Jakarta telah mengirimkan sinyal yang jelas untuk tidak memihak, tetapi berkomitmen untuk turut mengembangkan stabilitas global dan ekonomi dunia yang terbuka.
Selain itu, BRICS belum mengesahkan aturan hukum dan prosedur bagi perluasan keanggotaan, untuk menghindari proses yang berbelit-belit (cumbersome), apalagi hal itu harus melalui konsensus (The Diplomat, 13/7/2022).
Indonesia akan memerlukan adaptasi terhadap paradigma, cara pandang, dan mentalitas secara mendasar dalam melihat fenomena pengelompokan negara-negara. Tanpa adaptasi itu, proyeksi Goldman Sachs bisa salah dan susah berharap bahwa Indonesia akan bisa mengimbangi kemampuan BRICS apabila memang berminat untuk bergabung.
Untuk itu, jelas dibutuhkan tawar- menawar, negosiasi, dan kompromi untuk mencegah adanya dominasi. Artinya, kalau Indonesia lengah, bukan hanya akan tersisih, tetapi bukan tidak mungkin justru negara-negara tetangga kita yang akan ”menyalip di tikungan”.
(Dian Wirengjurit, Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional)