Perbedaan Aspirasi Jadi Tantangan Konsolidasi BRICS
Konsolidasi BRICS melalui pertemuan puncak di Afrika Selatan pada pekan depan akan menghadapi tantangan internal.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
DELHI, JUMAT - Konferensi Tingkat Tinggi BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, akan digelar pekan depan. Ada lima poin agenda plus satu pembahasan mengenai dedolarisasi. Perbedaan pandangan di antara anggota BRICS akan menjadi tantangan.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS akan dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan, 21-24 Agustus 2023. Kantor berita nasional China, Xinhua, Jumat (18/8/2023), mengumumkan, Presiden China Xi Jinping akan datang ke Afrika Selatan. Presiden Brasil Ignacio Lula da Silva dan Perdana Menteri India Narendra Modi juga akan hadir.
Adapun Presiden Rusia Vladimir Putin sedianya mengikuti acara lewat telekonferensi. Bertindak sebagai tuan rumah ialah Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa.
BRICS merupakan negara-negara yang secara kolektif merupakan 43 persen populasi dunia dan 16 persen perdagangan global. Kelompok yang awalnya merupakan kerja sama ekonomi ini tengah berkonsolidasi untuk membangun kekuatan geopolitik baru untuk mengimbangi negara-negara Barat.
KTT BRICS tahun ini mengusung lima agenda. Pertama, transisi yang berkeadilan dan berkesataraan. Kedua, pendidikan dengan fokus masa depan. Ketiga, meraih potensi perjanjian perdagangan bebas di Benua Afrika.
Keempat, pemulihan pascapandemi Covid-19. Kelima, multilateralisme. Selain itu, kemungkinan besar juga ada pembahasan mengenai dedolarisasi BRICS, yaitu meninggalkan dollar Amerika Serikat untuk transaksi antaranggota.
Ramaphosa mengungkapkan, ada 40 negara yang mengutarakan minat untuk bergabung dengan BRICS atau setidaknya bekerja sama secara erat. Beberapa negara di antaranya adalah Argentina, Mesir, dan Arab Saudi.
"BRICS ingin menjadikan dirinya suara dari Dunia Selatan (Global South). Kelompok ini ingin menggabungkan kekuatan negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Tengah dan Selatan," kata Narajan Oak, peneliti Institut Kajian dan Analisis Pertahanan Manohar Parrikar, India, kepada International Business Times.
Tantangannya, para anggota BRICS terbelah mengenai isu ekspansi ini. China dan Rusia paling antusias untuk melebarkan pengaruh global. Sebaliknya, Presiden Brasil Lula menentang gagasan itu karena menurut dia ekspansi malah menghambarkan kinerja dan pengaruh BRICS karena sulit fokus. Adapun India belum berkomentar.
"Kekhawatiran India adalah arah dari ekspansi ini. Kemungkinan besar, jika terjadi ekspansi BRICS, agendanya condong kepada kemauan China sehingga ada dominasi di dalam kelompok," tutur Oak.
Wacana ekspansi itu juga tidak sesuai dengan perkembangan di Argentina sekarang, negara Amerika Selatan yang dikatakan berminat memasuki BRICS. Argentina sedang di dalam tahun politik dengan pemilihan umum digelar pada Oktober 2023.
Calon presiden terkuat adalah Javier Milei yang berhaluan kanan. Ia adalah fenomena unik karena hampir semua kepala negara di Amerika Tengah dan Amerika Selatan berhaluan kiri.
Dikutip oleh Bloomberg, Milei berpidato ingin mengubah arah politik luar negeri Argentina agar menjauh dari China, baik dari segi ekonomi maupun politik. Bahkan, ia menginginkan Argentina juga keluar dari Pasar Umum Amerika Selatan (Mercosur) karena tidak suka dengan Brasil.
Wacana dedolarisasi juga dianggap masih terlalu lemah. India pekan ini membeli 1 miliar barel minyak dari Uni Emirat Arab menggunakan mata uang rupee. Akan tetapi, ini belum bisa menjadi standar transaksi BRICS.
Berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF) 2022, 88 persen transaksi global masih memakai dollar AS. Demikian pula dengan tabungan atau dana cadangan pemerintah-pemerintah dunia, 60 persen juga memakai dollar AS.
"Jangan lupa fakta bahwa China dan India tidak sepenuhnya rukun. Pasti akan ada perdebatan di BRICS mata uang siapa yang dijadikan standar," kata peneliti Chatham House Jim O'Neill kepada Financial Times. (Reuters)