Indonesia Serukan BRICS Perjuangkan Hak Pembangunan dan Multilateralisme
Indonesia mendorong negara-negara BRICS untuk memperjuangkan hak pembangunan negara miskin dan berkembang yang selama ini tak adil. Indonesia juga terus mendesak kembalinya multilateralisme yang mulai surut.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menyerukan agar negara-negara anggota BRICS memperjuangkan hak pembangunan setiap negara dan terus memperkuat multilateralisme. Tren minilateralisme, terutama di sektor militer yang memicu dan dipicu persaingan negara-negara adidaya, menempatkan negara-negara miskin dan berkembang menjadi korban.
Pesan ini disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat berbicara pada pertemuan para menlu negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) secara virtual, Jumat (2/6/2023). Saat ini Konferensi Tingkat Tinggi BRICS tengah berlangsung di Johannesburg, Afrika Selatan. Pertemuan tersebut dihadiri oleh anggota BRICS dan 14 negara undangan, yakni Arab Saudi, Argentina, Bangladesh, Burundi, Komoro, Gabon, Guinea-Bissau, Iran, Kazakhstan, Kuba, Mesir, Republik Demokratik Kongo, Uni Emirat Arab, dan Uruguay. Tahun ini Indonesia telah diundang pada sejumlah pertemuan BRICS di bawah keketuaan Afrika Selatan.
Retno menyampaikan, di tengah situasi yang membutuhkan kerja sama untuk pemulihan pascapandemi Covid-19, dunia semakin terbelah ke dalam blok-blok yang berlawanan. Tatanan dunia yang berdasarkan aturan, menurut dia, telah kehilangan makna karena setiap negara mengejar kepentingan nasional masing-masing.
Retno juga menyebut bahwa kerja sama internasional telah gagal mengatasi berbagai tantangan global dan kepercayaan terhadap kerja sama multilateral makin surut. ”Jika tren ini terus berlanjut, negara berkembang yang akan paling dirugikan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki tatanan global yang tidak sehat ini. Dan, BRICS berpotensi menjadi kekuatan yang positif untuk itu,” kata Retno.
BRICS di antaranya beranggotakan China, Rusia, India, tiga negara dengan penduduk dan potensi perekonomian yang sangat besar. Retno mendorong ketiga negara itu untuk menjadi katalisator perjuangan hak pembangunan setiap negara, termasuk negara miskin dan berkembang. Ia menyerukan agar BRICS mendukung pembangunan dan pengentasan ketidakadilan perekonomian yang masih dirasakan oleh banyak negara, terutama negara-negara Selatan atau Global South.
Dalam pandangannya, Retno menilai, negara-negara Global South sering kali mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dalam sistem perdagangan internasional, terperangkap utang, dan dinilai tidak layak menjadi bagian dari rantai pasok global. ”Kita semua ingin memberikan kesejahteraan bagi rakyat di negara masing-masing dan menjadi negara maju. Namun, kita tidak bisa melakukannya jika hak atas pembangunan terus dilanggar,” katanya.
Retno meminta agar BRICS bisa mendorong kembali terciptanya kerja sama multilateral yang lebih erat, inklusif, dan sesuai dengan tujuan penciptaannya. Ia juga mendorong penguatan dan reformasi tata kelola global.
”Reformasi tersebut harus mempertimbangkan suara dan kepentingan negara-negara berkembang. BRICS dapat menjadi katalis untuk reformasi ini,” ucap Retno.
Meski begitu, dia tidak menyebut secara detail soal sistem atau tata kelola global mana yang harus direformasi. Retno menegaskan, multilateralisme hanya dapat berkembang jika semua pihak menghormati hukum internasional secara konsisten tanpa standar ganda sebagai fondasi tatanan global. ”Mari bekerja bersama untuk membangun masa depan dunia yang lebih cerah,” ujarnya.
Penyeimbang baru
Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar, saat berbicara pada awal pertemuan, menyatakan, pertemuan negara-negara BRICS ini harus dibaca sebagai pesan bahwa dunia ini multipolar dan kini tengah mencari keseimbangan baru karena menilai yang lama sudah tidak memadai. ”Kami adalah simbol perubahan dan harus bertindak sesuai dengan itu,” katanya.
Tuan rumah Afrika Selatan juga menyerukan kembali penguatan forum kerja sama itu sebagai bagian dari transformasi sistem tata kelola ekonomi global.
”Visi kami tentang BRICS adalah kemitraan di tengah kepemimpinan global di dunia yang terpecah oleh persaingan, ketegangan geopolitik, ketidaksetaraan, dan memburuknya keamanan global,” ucap Menlu Afrika Selatan Naledi Pandor.
Meski tidak secara resmi disampaikan dalam berbagai forum, beberapa penelitian memperlihatkan produk domestik bruto (PDB) negara-negara BRICS telah melampaui tujuh negara terkaya di dunia atau G7. Dikutip dari China Daily, berdasarkan penelitian firma riset ekonomi Acorn Macro Consulting yang berbasis di London, kontribusi PDB negara-negara BRICS mencapai 31,5 persen per April 2023. Sementara kontribusi PDB G7 turun menjadi 30,7 persen.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, dikutip dari kantor berita TASS, mengatakan, kekuatan ekonomi negara-negara BRICS terus tumbuh. Dalam pandangan Peskov, perekonomian global tidak semata-mata atau tidak terbatas dikuasai oleh negara-negara anggota G7. ”Format kerja sama ekonomi yang selama ini dibawa oleh G7 telah gagal untuk mencerminkan keinginan dan kebutuhan perekonomian global,” katanya. (AFP)