Menanti BRICS Unjuk Gigi sebagai Kekuatan Alternatif Ekonomi Global
Sejak dibentuk tahun 2009, aliansi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan belum menunjukkan hasil konkret dan meneguhkan sebagai pemain penting. Kini, kerja sama mereka dibayangi isu konflik Rusia dan Ukraina.
FUZHOU, KOMPAS – Konflik yang terjadi di Ukraina kembali menunjukkan adanya krisis nilai-nilai kemanusiaan. Tidak akan ada negara yang merasa aman dan nyaman jika menaruh kepercayaan begitu saja pada faktor kekuatan, memperluas aliansi militer, dan mencari selamat sendiri dengan mengorbankan orang lain.
Komentar ”pedas” itu dikemukakan Presiden China Xi Jinping ketika membuka pertemuan bisnis negara-negara anggota BRICS secara virtual, Rabu (22/6/2022). BRICS beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Xi juga bertindak sebagai penyelenggara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS, Kamis (23/6/2022). Pertemuan dilanjutkan dengan Dialog Tingkat Tinggi mengenai Pembangunan Global, Jumat. Selain Xi, Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Afrika Selatan (Afsel) Cyril Ramaphosa, dan Presiden Brasil Jair Bolsonaro dijadwalkan bergabung dalam dua hari pertemuan tersebut.
Isu Ukraina menjadi salah satu materi pembahasan. Dalam isu Ukraina, China secara resmi mengambil posisi netral meski dalam banyak hal mendukung mitranya, Rusia. Beijing selama ini tak mau mengecam serangan Rusia ke Ukraina, bahkan tak mau menyebutnya sebagai ”invasi”.
Baca juga : Keputusan Politik Vs Logika Ekonomi
Dua anggota BRICS lain, Afsel dan India, memilih abstain dalam voting di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengecam serangan Rusia ke Ukraina. India bahkan terus membeli minyak Rusia dalam jumlah besar dengan harga diskon.
Dalam pidato pada Forum Ekonomi BRICS, Rabu, Xi menyebut konflik di Ukraina ”menyalakan alarm bagi kemanusiaan”. Ia juga menyebut pemberlakuan sanksi-sanksi sebagai ”bumerang” dan ”pedang bermata dua”. Masyarakat dunia akan menderita gara-gara ”politisasi, mekanisasi, serta menjadikan tren ekonomi dan arus keuangan sebagai senjata”.
Sanksi yang disebut Xi itu terkait sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat terhadap Rusia pascaserangan Rusia ke Ukraina. Beijing menuding justru negara-negara Barat-lah yang memprovokasi Rusia.
Baca juga : Dilema Sanksi Ekonomi Rusia
Dalam pidatonya, Kamis, Xi kembali mengkritik apa yang disebutnya sebagai pelanggaran sanksi-sanksi internasional. Dia mengajak Rusia, India, Brasil, dan Afsel untuk tampil dengan tanggung jawab masing-masing di dunia. ”Pertemuan kita hari ini terlaksana pada momen krusial untuk memilih masa depan kemanusiaan,” kata Xi.
”Sebagai pasar utama yang tumbuh dan negara berkembang, negara-negara BRICS harus tampil dengan tanggung jawab kita,” lanjut Xi.
”Kita harus memperluas kesatuan dan koordinasi. Kita harus meninggalkan mentalitas Perang Dingin dan konfrontasi blok serta menolak sanksi-sanksi unilateral dan pelanggaran sanksi-sanksi,” ujar Xi. ”Pemulihan ekonomi global masih dalam proses yang berliku, sementara perdamaian dan keamanan menjadi masalah yang lebih penting.”
Xi juga mengajak negara-negara lain untuk bekerja sama menangani persoalan tersebut. Globalisasi ekonomi, kata Xi, merupakan syarat untuk mengembangkan kekuatan produktif. ”Jika mencoba menghalangi jalan orang lain, nantinya hanya akan menghalangi jalan Anda sendiri,” ujarnya, Rabu.
Lawan AS
China memanfaatkan pertemuan BRICS saat ini untuk mendorong visi aliansinya demi melawan tatanan dunia demokrasi liberal yang dipimpin AS sambil memperluas pengaruh ekonomi dan politiknya. Hanya saja, selama ini langkah BRICS belum menunjukkan hasil nyata.
Meski demikian, Xi tetap berkomitmen pada gagasan tentang model pemerintahan global alternatif, berinvestasi besar-besaran di negara-negara, seperti Kamboja, sambil meniadakan hak-hak sipil di Hong Kong dan meningkatkan kekuatan militernya di Laut Cina Selatan, serta mengancam akan mencaplok Taiwan jika perlu dengan kekuatan.
Baca juga : China-Rusia: AS Rusak Tatanan Internasional
BRICS dibentuk tahun 2009 ketika negara-negara anggotanya dianggap akan bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi global di masa depan. Hanya saja, yang kemudian terjadi justru perekonomian Afsel dan Brasil malah terperosok ke dalam krisis. Pertumbuhan ekonomi China pun menurun tajam dan Rusia malah menyerang Ukraina.
Sementara itu, China dan India terlibat dalam perselisihan akibat sengketa perbatasan dan kerja sama pertahanan India dengan AS, Jepang, dan Australia dalam kelompok yang disebut dengan ”The Quad”.
Ubah haluan
Pada pertemuan, Kamis, Presiden Rusia Vladimir Putin mengajak para pemimpin BRICS lainnya untuk bekerja sama menghadapi ”tindakan-tindakan egois” dari Barat. ”Hanya berdasarkan kerja sama saling menguntungkan dan jujur, kita dapat menemukan jalan keluar dari situasi krisis ini, yang tumbuh dalam ekonomi global akibat tindakan-tindakan keliru dan egois oleh negara-negara tertentu,” kata Putin.
Sehari sebelumnya, pada forum ekonomi, Putin mengatakan, saat ini Rusia sedang mengalihkan arus perdagangan dan ekspor minyaknya ke negara-negara anggota BRICS gara-gara dijatuhi sanksi oleh Barat. Untuk menggantikan pasar yang tertutup di Uni Eropa dan AS, Rusia mendekati Asia, antara lain, China dan India yang mengimpor minyak dari Rusia.
Berbicara melalui rekaman video, Putin mengecam sanksi yang dijatuhkan Barat terhadap negaranya karena bermotif politis. Menurut dia, pemberlakuan sanksi itu bertentangan dengan akal sehat dan logika ekonomi dasar.
”Pengusaha kita dipaksa berbisnis dalam situasi yang sulit gara-gara Barat mengabaikan prinsip-prinsip dasar ekonomi pasar, perdagangan bebas, dan hak milik pribadi yang tidak dapat diganggu gugat,” ujar Putin.
Putin mengajak memperkuat hubungan antarnegara anggota BRICS. Rusia juga sedang mendiskusikan pembelian mobil China di pasar Rusia dan membuka jaringan supermarket India. ”Pengiriman minyak Rusia ke China dan India meningkat. Kerja sama pertanian berkembang dinamis. Begitu pula ekspor pupuk Rusia ke negara-negara BRICS,” ujar Putin.
Baca juga : Rusia-China Melawan Tekanan Barat
Selain itu, Rusia mengembangkan mekanisme transfer internasional alternatif dengan negara mitra di BRICS dan ”mata uang cadangan internasional” guna mengurangi kebergantungan pada mata uang dollar dan euro.
Belum bergigi
Namun, di tengah tekad yang meluap tersebut, sampai sejauh ini BRICS dianggap belum mewujudkan hasil konkret dan penting. Padahal, jika digabungkan, populasi negara-negara anggota BRICS mencapai 3,2 miliar jiwa, sedangkan produk domestik brutonya mencapai sekitar 23 triliun dollar AS.
Ketika BRICS dibentuk, kelompok ini diharapkan akan bisa membentuk kembali ekonomi global dan menciptakan tatanan keuangan baru untuk membantu negara berkembang.
”BRICS tidak relevan karena belum benar-benar menawarkan ekonomi global alternatif yang bisa mengimbangi sistem yang dipimpin AS,” kata Michael Kugelman, Wakil Direktur Lembaga Kajian Wilson Center di Washington, AS, kepada BBC News.
Direktur untuk Asia Selatan di perusahaan konsultan Kendali Risiko, Pratyush Rao, memperkirakan pada pertemuan ini, BRICS akan mencari solusi menyiasati sanksi dari Barat untuk mengatasi persoalan ekonomi dampak dari konflik Rusia-Ukraina. Tetapi, ini bukan berarti dukungan pada invasi Rusia.
Di sisi lain, BRICS ingin dilihat bisa mengambil inisiatif membantu negara-negara berkembang mengatasi masalah ekonomi dampak konflik Ukraina-Rusia. Hanya prosesnya mungkin tak akan mulus karena ada China dan Rusia yang akan mengambil sikap keras terhadap Barat.
Baca juga : AS Menggencet, China-Rusia Makin Lengket
Lalu, ada India yang tidak mau pertemuan ini dimanfaatkan untuk mengkritik AS dan Barat secara terbuka. ”Selama ini India menekankan otonomi strategis dan kebijakan non-blok. India tak mau kompromi soal itu,” ujar Rao.
Rusia dan China kemungkinan tidak akan terlalu memedulikan hal tersebut. Kedua negara itu fokus pada keinginan membangun BRICS menjadi lembaga keuangan untuk membantu negara-negara berkembang dan tetap relevan dalam tatanan geopolitik yang cepat berubah. Isu Ukraina bisa menjadi titik konvergensi bagi BRICS.
Selain itu, momentum saat ini juga bisa menjadi kesempatan bagi kelompok itu untuk meyakinkan dunia bahwa BRICS bisa menjadi alternatif pilihan lembaga keuangan, selain lembaga-lembaga yang dipimpin Barat, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Jika BRICS bisa mewujudkan hal tersebut, para pengamat menilai BRICS akan bisa menjadi lebih berpengaruh sebagai pemain global yang serius. (AP/AFP/REUTERS)