Menjaga Harmonisasi Kekuatan Geopolitik G7 dan BRICS
Menguatnya BRICS diharapkan menjadi lecutan untuk mendorong kemajuan dan kesejahteraan negara-negara ”emerging market” di dunia.
Hampir semua kawasan di dunia mengalami defisit neraca perdagangan ketika berniaga dengan negara-negara lainnya secara global. Kawasan yang minim sumber daya energi akan cenderung mengalami defisit neraca perdagangan. Sebaliknya, negara-negara yang kaya energi cenderung akan mengalami surplus atau mendapat keuntungan.
Berdasarkan data yang di kompilasi dari Bank Dunia dan Chatham House menunjukkan bahwa sejumlah negara-negara yang terkumpul dalam kekuatan geopolitik itu pada dasarnya saling membutuhkan. Bahkan, negara kelompok G7 yang ekonominya terkuat sejagat sekalipun tak lepas dari suplai sejumlah komoditas dari negara lainnya. Negara kelompok BRICS yang kabarnya akan menyalip perekonomian G7-pun juga tak lepas dari ketergantungan dari asing. Artinya, semua negara pada dasarnya saling membutuhkan.
Pada tahun 2020, dari sejumlah organisasi geopolitik yang di analisis hampir semuanya menunjukkan notasi negatif dalam neraca perdagangannya. Hanya, organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dan liga kerja sama negara-negara Arab di kawasan Teluk (GCC) yang menunjukkan notasi surplus. Selain negara kaya minyak itu, kawasan ASEAN juga mengalami keuntungan dalam transaksi globalnya, meskipun nilainya tidak terlalu besar. Sementara kawasan geopolitik lainnya, seperti G7, G20, BRICS, dan OECD, mengalami defisit atau kerugian.
Surplus dalam neraca perdagangan itu menunjukkan bahwa ekspor lebih dominan dibandingkan impor. Sebaliknya, defisit menunjukkan bahwa ekspor lebih sedikit dari impor atau mengalami kerugian dalam transaksi perdagangan global.
Semua kawasan geopolitik itu rata-rata mengalami defisit neraca perdagangan pada tahun 2020 berkisar minus 200 miliar dolar AS hingga lebih dari minus 300 miliar dollar AS. Defisit terendah, yakni minus 200 miliar dollar AS, adalah kawasan OECD, yang merupakan organisasi multilateral yang didominasi negara-negara kawasan Eropa. Defisit tertinggi adalah negara-negara adikuasa G7, yang terdiri dari Amerika Serikat (AS), Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Perancis, yang mengalami kerugian hingga sekitar minus 319 miliar dollar AS.
Baca juga: BRICS Mau Jadi Penyeimbang Baru
Dari semua kelompok geopolitik, hanya sejumlah negara pemilik sumber energi fosil yang mengalami keuntungan dalam transaksi internasionalnya. OPEC, sebagai organisasi eksportir minyak, mendapat keuntungan surplus hingga lebih dari 400 miliar dollar AS. Negara-negara teluk yang tergabung dalam GCC juga mengalami keuntungan hingga sekitar 370 miliar dollar AS. Semua negara GCC ini merupakan negara yang kaya sumber daya energi minyak bumi dan sebagian besar di antaranya anggota OPEC.
Dengan komoditas minyak bumi yang melimpah, negara-negara OPEC dan GCC itu mampu mengekspor energi fosil itu dengan kuantitas yang besar. Surplus devisa yang diperoleh dari minyak bumi mampu menutup defisit transaksi dari komoditas perdagangan lainnya sehingga secara keseluruhan masih menyisakan surplus bagi pendapatan negara. Berbeda halnya negara-negara di kawasan yang relatif minim energi fosil sehingga dalam transaksi mata rantai energi karbonnya sudah mengalami defisit. Akibatnya, secara keseluruhan kian memperbesar ceruk defisit transaksi perdagangan.
G7 dan BRICS
Hingga saat ini ada sejumlah kelompok geopolitik dunia yang sangat kuat. Di antaranya adalah kelompok G20, G7, BRICS, dan OECD. Keempat kelompok geopolitik ini mampu menghasilkan gross domestic product (GDP) pada tahun 2020 berkisar mulai 24 triliun dollar AS hingga 92 triliun dollar AS. Terbesar adalah kelompok G20 yang merupakan negara-negara penghasil PDB terbesar di dunia.
G20 itu terdiri oleh negara-negara kelompok adikuasa G7, BRICS, dan sebagian negara Eropa, Amerika Latin, dan Timur Tengah. Namun, yang terbesar porsinya adalah G7 dan BRICS sehingga terkesan kedua kubu ini mewakili status negaranya masing-masing. G7 merupakan gabungan negara-negara maju dan BRICS mewakili negara emerging market yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Kedua kelompok geopolitik itu diperkirakan akan menjadi ”penguasa” perekonomian dunia dalam jangka waktu lama. G7 sebagai negara kaya akan terus mengembangkan investasinya ke sejumlah negara yang tengah intensif industrialisasinya. Selain meningkatkan pendapatan, juga untuk memperluas pangsa pasar. Investasi yang dikembangkan negara-negara maju ini cenderung sudah bersifat padat modal sehingga lebih mengandalkan mekanisasi teknologi.
Di sisi lainnya, negara emerging market yang sedang masif mendorong kemajuan ekonominya sangat membutuhkan investasi dari asing untuk mendorong industrialisasi di negaranya. Banyaknya jumlah penduduk di negara ini sangat memerlukan pekerjaan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya. Pada level negara yang pasarnya terus berkembang ini, industrialisasi yang cocok adalah yang bersifat padat karya. Namun, tidak menutup kemungkinan investasi sarat teknologi yang padat modal juga sangat dimungkinkan. Negara-negara emerging market dalam kelompok BRICS menjadi contoh yang ideal masifnya industrialisasi padat modal dan juga padat karya.
Baca juga: Indonesia Serukan BRICS Perjuangkan Hak Pembangunan dan Multilateralisme
Jadi, hubungan ekonomi antara negara maju dan negara emerging market ini pada dasarnya sangat erat. Keduanya sangat membutuhkan karena dapat menjadi peluang memperluas jangkauan pasar, menyerap tenaga kerja, aplikasi teknologi, menumbuhkan ekonomi, dan juga mengukuhkan hubungan internasional dengan sejumlah negara yang menjadi mitra kerja sama. Jadi, apabila ada pendapat yang menyatakan bahwa G7 akan disalip oleh BRICS sejatinya kurang tepat. Pasalnya, kedua kawasan ini pada dasarnya sama-sama membutuhkan dan saling terkait. Menjadi relatif tepat proyeksinya bahwa negara-negara emerging market seperti BRICS akan mendekati atau setara kualitas masyarakatnya dengan negara-negara maju, G7.
Salah satu modal besar BRICS dalam perekonomian global adalah jumlah penduduk yang sangat besar dan kepemilikan bahan baku faktor produksi yang berguna untuk kepentingan industri. Kedua hal ini menjadi daya tarik untuk menarik investasi karena modal yang ditanamkan tidak sebesar yang diperlukan di negara-negara maju. Banyaknya penduduk membuat biaya tenaga kerja menjadi relatif murah ditambah bahan baku yang berlimpah juga membuat industri kian efisien biayanya. Dengan demikian, produk yang dihasilkan negara berkembang sangat kompetitif di pasaran global.
Jadi, kelompok geopolitik yang kuat di dunia ini, baik G7 ataupun BRICS ada baiknya saling bekerja sama secara baik dan setara. Menghilangkan persaingan yang tidak sehat dan meniadakan hambatan-hambatan yang mempersulit pengembangan pasar, terutama bagi sejumlah komoditas dari negara berkembang. Pasalnya, hal tersebut justru memicu gejolak ekonomi yang dapat mempengaruhi stabilitas dunia. Selain itu, dapat menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak karena pada dasarnya G7 dan BRICS itu saling membutuhkan.
Ketergantungan kedua kawasan geopolitik itu terlihat dari perdagangan impor yang berasal dari kedua belah pihak. Dari data Chatham House terlihat nilai Impor G7 dari BRICS pada tahun 2020 mencapai 170 miliar dollar AS. Sebaliknya, impor BRICS dari G7 senilai 126 miliar dollar AS yang menandakan ketergantungan negara maju dari BRICS lebih besar.
Komoditas yang paling dibutuhkan oleh kelompok G7 dari BRICS di antaranya produk logam, energi fosil, produk pertanian seperti ikan dan buah-buahan, perhiasan, dan produk olahan kayu. Sebaliknya, komoditas yang diimpor BRICS dari negara-negara maju di antaranya seperti produk pertanian seperti minyak, daging, dan biji-bijian; produk energi, logam industri, serta pulp kayu. Dari semua komoditas impor BRICS dari G7 ini sebagian besar hingga 67 persen tertuju ke China. Selanjutnya, baru mengarah ke India, Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan. Untuk kelompok G7, importir komoditas dari BRICS paling besar adalah AS hingga sekitar 29 persen. Sisanya, relatif tersebar merata di negara-negara G7 lainnya.
China, AS, dan Timur Tengah
Tingginya serapan impor yang mengerucut di negara tertentu pada masing-masing kelompok G7 dan BRICS itu terkesan membuat AS dan China tampak berseteru. Apalagi, dari data oec.world terlihat bahwa kedua negara itu memang memiliki ikatan yang kuat dalam perdagangan global. Pada tahun 2021, mayoritas ekspor China sekitar 16 persen dengan nilai 530 miliar dollar AS dikirimkan ke AS. Sebaliknya, impor China yang didatangkan dari AS juga cukup besar, yakni mencapai 151 miliar dollar AS atau sebesar 7,6 persen dari total impor China. Transaksi kedua negara ini menunjukkan bahwa neraca perdagangan China mengalami surplus terhadap AS.
Kondisi tersebut membuat AS relatif memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap China. Hal ini dapat menjadi keuntungan bagi China berupa soft power dalam bernegosiasi dengan kebijakan AS. Situasi ini dalam jangka panjang akan menjadi kekuatan geopolitik yang sangat besar bagi China dan tentu saja bagi aliansi BRICS. Kelompok geopolitik diperkirakan akan semakin kokoh dalam menciptakan barang dan jasa secara global, termasuk komoditas berteknologi tinggi. Akan semakin banyak negara-negara lainnya membutuhkan mitra dagang dengan BRICS ini.
Baca juga; Langkah China dan Rusia untuk Menyeimbangkan Geopolitik Dunia
Oleh sebab itu, tak heran apabila ada sejumlah negara yang berminat untuk bergabung pada organisasi BRICS. Pada Mei lalu, duta besar Afrika Selatan untuk BRICS, Anil Sooklal, menyatakan bahwa ada 19 negara yang menyatakan minat bergabung dengan BRICS. Bahkan, beberapa di antaranya adalah negara Timur Tengah yang memiliki sumber daya energi fosil yang sangat berlimpah. Negara tersebut adalah Arab Saudi, UEA, Aljazair, dan Iran.
Dengan rencana bergabungnya negara kawasan Timur Tengah tersebut maka potensi BRICS berkembang menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia mengalahkan G7 terbuka lebar. Apalagi, sejumlah negara itu seperti Arab Saudi dan UEA merupakan tokoh penting dalam organisasi OPEC dan GCC. Dengan sumber daya energi fosil yang dimiliki Timur Tengah maka dapat menjadi kekuatan ekonomi besar untuk mengakselerasi berbagai kemajuan dalam kelompok BRICS tersebut. Selain itu, menjadi peluang bagi negara-negara Timur Tengah untuk menginvestasikan berbagai kekayaan ekonominya untuk mulai bertransisi di luar mata rantai perdagangan minyak bumi.
Harapannya, dengan kian menguatnya BRICS tersebut dapat menjadi lecutan untuk mendorong kemajuan dan kesejahteraan bagi negara-negara emerging market. Bukan sebaliknya, justru dianggap sebagai ”musuh” kelompok G7 yang kemudian disikapi dengan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk menghambat atau merugikan aliansi di luar G7. Di masa depan, semua bangsa dan negara akan semakin membutuhkan dan saling memiliki ketergantungan sehingga tidak tepat seandainya kekuatan geopolitik antarnegara dan antarkawasan itu justru saling berkompetisi. Terbaik, adalah saling berkolaborasi menjaga keharmonisan guna membangun masyarakat yang maju dan sejahtera serta menjaga kelestarian alam demi generasi masa depan. (LITBANG KOMPAS)