Iran tidak benar-benar mau membuat bom nuklir. Kemampuan itu lebih dipakai untuk tawar-menawar dengan AS dan sejumlah negara lain. Iran masih membutuhkan pencabutan aneka sanksi
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
WASHINGTON DC, SELASA - Cadangan uranium Iran kini cukup untuk membuat hingga 15 bom nuklir. Lembaga intelijen sejumlah negara menaksir, Iran bisa segera menguji ledak salah satu bom nuklir itu. Bahkan, Iran disebut hanya butuh 12 hari jika mau membuat bom nuklir.
Lewat laporan pada Senin (14/8/2023) malam waktu Washington DC atau Selasa pagi WIB, Middle East Media Research Institute (MEMRI) mengungkap soal cadangan uranium itu. MEMRI, lembaga kajian yang dikelola sejumlah mantan tokoh intelijen dan tentara Amerika Serikat dan Israel, mengutip pernyataan pengamat politik Iran, Emad Abshenas.
Menurut Abshenas, Iran pernah punya cadangan uranium untuk membuat hingga 20 bom. Cadangan itu dimusnahkan kala Iran setuju meneken Joint Comprehensive Plan on Action (JCPOA) atau Kesepakatan Nuklir Iran 2015. “Sekarang, Iran punya uranium untuk membuat 15 bom nuklir. Jadi kalau mau, Iran punya cukup uranium, teknologi, dan cara pembuatannya,” kata dia.
Sementara lembaga intelijen sejumlah negara menyimpulkan, Iran siap segera menguji ledak salah satu bom nuklirnya. Media Israel, Jerusalem Post, dalam laporan pada 12 Agustus 2023 mengutip laporan intelijen sejumlah negara terkait isu itu. Jerusalem Post antara lain mengutip AVID Belanda, BfD Jerman, dan PET Denmark.
AVID menyebut Iran memacu program nuklirnya selama era pandemi Covid-19. Perangkat pengayaan uranium Iran bisa dipakai untuk mencapai aras pengayaan 90 persen. Iran terus menambah mesin untuk pengayaan uranium. Dengan demikian, pengayaan bisa dilakukan dalam jumlah banyak, cepat, dan mencapai aras tinggi.
Sementara BfD menyebut, penambahan mesin-mesin itu terutama dilakukan selama 2022. Iran terus membeli aneka alat dan perangkat pengayaan dari berbagai sumber. Teheran, menurut BfD, juga memacu pengadaan bahan baku untuk produksi perangkat peluncur bom nuklirnya.
Ada pun lembaga intelijen Denmark, PET, menyebut Iran mencoba membeli sejumlah perangkat dan bahan baku itu dari Denmark. Pembelian dilakukan melalui perantara. Sebagian transaksi itu bisa digagalkan Denmark.
Peneliti Israeli Defense Security Forum Yossi Kuperwasser menyebut, Iran mustahil meninggalkan ambisi senjata nuklirnya. “Iran terus memacu nuklirnya karena sanksi AS dan Eropa tidak cukup menakutkan,” kata pensiunan jenderal pada direktorat intelijen militer Israel itu.
Sanksi
Iran pernah setuju membatasi pengayaan uranium dengan aras maksimum 3,67 persen. JCPOA juga mewajibkan Iran menjual semua cadangan uranium yang aras pengayaannya di atas aras itu. Teheran itu harus melepaskan semua perangkat untuk pengayaan uranium di atas ambang batas itu. Sebagai imbalan, AS dan sekutu serta mitranya mencabut aneka sanksi pada Iran. Washington dan sekutu serta mitranya juga harus menjalin hubungan ekonomi dengan Teheran.
Alih-alih menjalankan JCPOA, AS di masa Donald Trump malah keluar dari kesepakatan itu. AS juga mengancam berbagai negara jika terus berhubungan secara ekonomi dengan Iran. Ancaman itu membuat berbagai negara peneken JCPOA tidak kunjung memenuhi kewajibannya kepada Iran.
Teheran membalas semua itu dengan memacu lagi produksi uranium. Laporan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) pada Maret 2023 menyebut, Iran telah mencapai aras pengayaan 83 persen. Untuk bisa dijadikan bahan baku bom, uranium harus diperkaya pada aras di atas 90 persen.
Dalam laporan pada awal Juni 2023, Direktorat Intelijen Nasional (DNI) AS menyebut, produksi uranium sudah jauh melebihi ambang batas yang disepakati dalam JCPOA. Sejak April 2021, Iran terus memproduksi UF6 dan U-235, jenis uranium untuk bahan baku bom nuklir.
Iran, menurut DNI, memacu program pengembangan nuklirnya sejak pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh. Fakhrizadeh merupakan ilmuwan penting dalam pengembangan nuklir Iran. Ia dibunuh pada November 2020 di Teheran. Iran menuding Israel membunuh Fakhrizadeh.
Bukan Membuat Bom
Namun, lanjut DNI, percepatan itu lebih ke proses untuk mempercepat produksi bahan baku bom. Percepatan bukan mengarah ke pembuatan bom. Iran terus menambah perangkat pengayaan uranium untuk memacu produksi bahan baku bom nuklir.
DNI dan Departemen Pertahanan AS juga menyimpulkan Iran tidak sedang proses untuk memproduksi bom nuklir. Dephan AS menyebut, Iran bisa membuat satu bom nuklir dalam waktu 12 hari. Percepatan kemampuan produksi itu dipacu Iran sejak memutuskan ikut keluar dari JCPOA. Waktu JCPOA diberlakukan, Iran butuh paling cepat setahun untuk memproduksi bahan baku saja. Setelah itu, dibutuhkan beberapa bulan lagi untuk memproduksi bom nuklir.
Abshenas juga mengatakan, Iran tidak benar-benar mau membuat bom nuklir. Kemampuan itu lebih dipakai untuk tawar-menawar dengan AS dan sejumlah negara lain. Iran masih membutuhkan pencabutan aneka sanksi yang dijatuhkan AS dan sekutu serta mitranya sejak 1980.
AS, menurut Abshenas, tidak mau dan mungkin tidak mampu mencabut aneka sanksi pada Iran. Pemerintahan Donald Trump membuat aneka aturan sanksi untuk Iran. Aturan-aturan itu sulit dicari celahnya oleh pemerintahan Joe Biden atau presiden AS setelah ini.
“Jadi, upaya untuk menghidupkan lagi JCPOA nyaris mustahil. Pencabutan aneka sanksi adalah syarat yang tidak bisa ditawarkan agar Iran setuju kembali ke JCPOA. AS dan sekutunya tidak bisa memberikan keinginan Iran,” kata dia
Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian mengatakan, Teheran tidak mau menerima kesepakatan sementara. “Kami selalu siap berunding. Fokus kami, cabut semua sanksi dan kembali sepenuhnya ke JCPOA,” ujarnya sebagaimana dikutip media Iran, Tasnim dan Irna, pada Senin (14/8/2023).
Perundingan dengan AS, menurut Amirabdollahian, sudah berlangsung berbulan-bulan tanpa hasil. “Kami tekankan, kami tidak mau menerima kesepakatan sementara atau tawaran yang lebih rendah dari yang kami sampaikan selama ini,” kata dia.
Perundingan soal JCPOA sudah dilakukan di beberapa negara selama lebih dari setahun. Putaran terakhir berlangsung di Oman. (AFP/REUTERS)