IAEA Inspeksi Fasilitas Nuklir Iran, Teheran Ingatkan Kewajiban Barat
Puncak kunjungan IAEA di Iran ialah kedatangan Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi. Ada harapan, kunjungan itu menjadi momentum kembalinya pendekatan dialog di tengah kebuntuan negosiasi kesepakatan nuklir Iran.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
TEHERAN, SABTU — Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi, Sabtu (4/3/2023), mengungkapkan bahwa dirinya telah menggelar pertemuan-pertemuan yang konstruktif dengan para pejabat Iran dalam kunjungan ke negara itu. Serangkaian pertemuan-pertemuan tersebut, ia yakin, bakal meretas jalan menuju tercapainya kesepakatan-kesepakatan penting terkait nuklir Iran.
Bersamaan dengan kunjungan tersebut, Teheran mengingatkan negara-negara Barat penandatanganan kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 untuk tidak hanya terfokus pada kewajiban-kewajiban Iran, yang diminta mengendalikan program nuklirnya. Negara-negara itu juga diingatkan untuk memenuhi kewajiban mereka jika Teheran sudah melucuti program nuklirnya, dengan mencabut sanksi-sanksi ekonomi mereka pada Iran.
Kunjungan Grossi ke Iran pekan ini adalah untuk mengklarifikasi sejumlah tuduhan bahwa Iran hampir mencapai taraf pengayaan nuklir yang bisa membuat bom atom. Ia tiba di Teheran, Jumat (3/3/2023), dan langsung mengadakan rapat dengan Kepala Organisasi Energi Atom Iran Mohammad Eslami.
Selama satu pekan ini, tim dari IAEA telah berada di Iran untuk memeriksa kebenaran berbagai tuduhan yang dituangkan di dalam laporan IAEA per November 2022. Pada Sabtu ini, Grossi dijadwalkan juga akan bertemu dengan Presiden Iran Ebrahim Raisi. Grossi sebelumnya mengatakan, pihaknya bersedia berkunjung ke Iran asalkan bisa berdialog langsung dengan Raisi dan juga datang ke fasilitas nuklir Fordow.
”Setelah mengadakan pembicaraan yang konstruktif... dan mencapai kesepakatan-kesepakatan yang bagus, seperti yang saya yakini hal itu bakal kami peroleh, kami sedang meretas jalan menuju kesepakatan-kesepakatan penting,” kata Grossi dalam konferensi pers bersama Eslami di Teheran.
”Secara umum, ada dua seperangkat persoalan yang penting. Jelas, ada ekspektasi besar tentang kerja sama kami guna bisa melangkah maju dalam isu-isu yang tengah dikerjakan oleh Iran dan badan (IAEA) guna mengklarifikasi dan memperoleh jaminan yang kredibel tentang program nuklir Iran,” ujar Grossi.
”Seperangkat kedua dalam isu ini, yang sangat penting, berkaitan dengan kerja sama saintifik, teknis yang tengah kami kerjakan dan terus kami lakukan bersama Iran,” ujar Grossi.
Laporan IAEA pada November 2022 mengatakan, ada tiga fasilitas nuklir yang berada di Iran tidak dilaporkan kepada badan nuklir di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut. Di samping itu, laporan intelijen sejumlah negara mengatakan bahwa Iran telah berhasil melakukan pengayaan uranium hingga tingkat kemurnian 83.7 persen. Ini sudah sangat dekat dengan kemurnian 90 persen yang diperlukan untuk membuat bom atom.
Iran berkali-kali melalui kantor berita nasionalnya, IRNA, dan diplomat mereka menekankan bahwa negara itu tidak berminat untuk menciptakan bom atom ataupun persenjataan nuklir apa pun. Eslami, kepada IRNA, menuturkan bahwa pengayaan yang berhasil dilakukan baru pada kemurnian 60 persen. ”Angka 80 persen itu sepertinya didapat dari fluktuasi dalam proses pengayaan. Bukan hasil akhir dari pengayaan itu,” ucapnya.
Laporan intelijen sejumlah negara menyebut Iran telah berhasil melakukan pengayaan uranium hingga tingkat kemurnian 83.7 persen. Ini sudah sangat dekat dengan kemurnian 90 persen yang diperlukan untuk membuat bom atom. Iran menepis tuduhan itu.
Proses pengayaan itu dilakukan di fasilitas nuklir Fordow. Hal ini menjadi alasan bagi Grossi untuk datang dan membuktikan sendiri kebenaran kabar tersebut. Iran menjalin kesepakatan nuklir dengan kelompok negara-negara utama, yang tergabung dalam P5+1 (Amerika Serikat, China, Inggris, Rusia, Perancis, dan Jerman) dalam Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) tahun 2015.
Isi JCPOA ialah negara-negara Barat mau mengurangi embargo ekonomi atas Iran dengan syarat pengayaan uranium maksimal pada 3,67 persen. Kesepakatan Iran dan kelompok P5+1 sempat berjalan sekitar tiga tahun. Namun, pada tahun 2018, Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump secara unilateral menyatakan keluar dari JCPOA. Sebagai balasan, Iran meningkatkan pengayaan uranium pada program-program nuklirnya.
Berbagai upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 sudah dilakukan sejak 2021. Namun, negosiasi mengalami kebuntuan sejak tahun lalu. Perancis, salah satu penanda tangan kesepakatan nuklir Iran, Kamis (2/3/2023), menyebut, perkembangan pengayaan uranium di fasilitas-fasilitas nuklir mencapai ”sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dan sangat serius”.
Seperti dilansir IRNA, Grossi pada Sabtu ini juga bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian. ”Iran selalu terbuka untuk perundingan, terutama soal sanksi ekonomi. Akan tetapi, kesempatan ini tidak akan terbuka untuk selamanya,” kata Amirabdollahian kepada CNN.
Sumber di kalangan diplomatik menyebutkan, kunjungan Grossi ke Iran ditujukan untuk memastikan ”akses lebih besar pada situs (Fordow). Hasil kunjungan IAEA kali ini akan dibahas dalam pertemuan mereka di Vienna, Austria, pekan depan. Jika Iran terbukti melanggar JCPOA dan diam-diam melakukan pengayaan nuklir, direncanakan anggota JCPOA Inggris, Perancis, dan Jerman akan mengeluarkan kecaman.
Pendekatan dialog
Kunjungan Grossi ke Iran dipandang sebagai indikasi bahwa pendekatan dialog guna mengatasi kebuntuan negosiasi program nuklir Iran masih mungkin dilakukan. ”Diharapkan, kunjungan ini akan menjadi landasan untuk kerja sama yang lebih besar dan terciptanya cakrawala yang lebih terang antara Iran dan IAEA,” kata Behrouz Kamalvandi, jubir Organisasi Energi Atom Iran, menjelang kedatangan Grossi.
Sementara dalam konferensi pers bersama Grossi, Kepala Organisasi Energi Atom Iran Mohammad Eslami menuntut ”tanggung jawab” negara-negara penanda tangan kesepakatan nuklir Iran 2015 untuk memenuhi kewajiban mereka. ”Tiga negara Eropa dan beberapa negara lain hanya fokus pada kewajiban Iran dalam JCPOA,” ucap Eslami.
”Mereka juga punya kewajiban-kewajiban yang harus mereka penuhi,” kata Eslami. ”Kami mencapai kesepakatan (dengan Grossi) untuk mendefinisikan kerja sama kami dalam kerangka menjaga” aktivitas nuklir.
Israel siap menyerang
Sementara itu, media Al-Monitor melaporkan bahwa Israel bersiap menyerang sarana nuklir Iran. Hal ini didapat setelah rapat antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Pertahanan Yaev Gallant.
Netanyahu yang berhaluan kanan sejak dulu memang berusaha menjegal Iran. Keberadaan fasilitas nuklir di negara yang ia anggap sebagai musuh bebuyutan ini sangat mengancam Israel.
Rapat itu mendengar pemaparan dari Ketua Divisi Keamanan Politik Kemenhan Israel Dror Shalom. Kesimpulannya ialah anggaran pertahanan dan keamanan Israel tahun 2023 sebagian besar hendak digunakan untuk menyerang fasilitas-fasilitas nuklir Israel.
Sebelumnya, Israel juga telah menyerang fasilitas nuklir di Irak dan Suriah. Bulan lalu, reaktor nuklir Isfahan di Iran ditembak roket Israel.
”Sekarang ini kesempatan baik menyerang fasilitas nuklir Iran dan harus kita bumihanguskan agar tidak muncul fasilitas-fasilitas baru,” ujar Shalom.
Ia menjelaskan, pengayaan uranium saat ini masih dilakukan di dalam laboratorium di atas permukaan tanah sehingga mudah diserang. Dalam dua tahun, pengayaan yang sudah mencapai 90 persen itu akan dibawa masuk ke terowongan bawah tanah yang tidak tertangkap radar. Keluar dari terowongan itu, uranium sudah berupa bom atom. (REUTERS/AFP)