AS-Jepang-Korsel Galang Aliansi Militer Baru di Semenanjung Korea
Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang akan menandatangani kerja sama pertahanan, keamanan, dan teknologi di Camp David, AS, Jumat. Rusia menyebut pertemuan itu bagian dari upaya minilateralisme baru di Indo-Pasifik.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan akan meluncurkan sejumlah inisiatif bersama di bidang teknologi dan pertahanan dalam pertemuan trilateral di Camp David, Maryland, AS, Jumat (18/8/2023). Pertemuan itu akan semakin mendorong kedekatan dua negara, Jepang dan Korea Selatan, serta menjadi payung bagi AS untuk menyediakan pengamanan di wilayah Asia Timur, terutama Semenanjung Korea.
Kerja sama yang akan disepakati ketiga negara mencakup, antara lain, sistem pertahanan rudal balistik dan pengembangan teknologi pertahanan lainnya. Kerja sama terbaru trilateral itu dijalin bersamaan dengan meningkatnya program nuklir Korea Utara serta semakin majunya teknologi militer serta persenjataan China.
Menurut pejabat Pemerintah AS yang tidak mau disebutkan namanya, Washington telah memiliki kerja sama pertahanan kolektif dengan Tokyo dan Seoul secara terpisah. Yang diinginkan Washington dalam pertemuan Jumat nanti adalah dua negara itu bekerja sama lebih dekat satu sama lain dengan AS sebagai jembatan di antara keduanya.
”Kami menciptakan beberapa langkah (kebijakan) yang akan membawa kami lebih dekat (bekerja sama) dalam bidang keamanan,” kata pejabat tersebut, Senin (14/8/2023).
Dia menambahkan, AS berharap setiap negara nantinya akan memahami tanggung jawab soal keamanan regional, termasuk berkoordinasi dalam sistem pertahanan rudal balistik dan teknologi pertahanan lain.
Seorang pejabat menuturkan, Gedung Putih ingin membangun momentum diplomatik tersebut dan memanfaatkan pertemuan ketiga pemimpin untuk ”melembagakan, memperdalam, dan mempertebal kebiasaan kerja sama” antara ketiga negara di tengah kondisi geopolitik di Pasifik yang semakin rumit.
Bulan madu Seoul-Tokyo
Hubungan Korea Selatan dan Jepang terus membaik. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol sejak awal tahun ini silih berganti melakukan kunjungan dan berikrar untuk menjalin hubungan yang lebih baik dari waktu ke waktu. Meski masih ada ganjalan mengenai sejarah, terutama pendudukan Jepang tahun 1910-1945 di Korsel, hal itu tidak menjadi halangan bagi kedua negara untuk melangkah maju.
Jepang dan Korsel dengan cepat memperbaiki hubungan di antara mereka. Selain itu, dua negara itu memperdalam kerja sama keamanan tiga arah dengan Washington. Hubungan Seoul-Tokyo meningkat pesat sejak Maret 2023 setelah pemerintahan Presiden Yoon mengumumkan inisiatif untuk menyelesaikan perselisihan yang berasal dari tuntutan kompensasi bagi pekerja paksa di Korsel pada masa perang.
Sebagai balasan, Jepang mengembalikan Korsel sebagai negara pilihan dengan status perdagangan jalur cepat, mengakhiri pertikaian ekonomi empat tahun yang sempat membuat ketegangan di antara mereka memuncak.
Mediasi AS juga telah membuat Jepang dan Korsel ikut serta dalam kesepakatan komunikasi tiga arah, termasuk berbagi data ancaman peringatan dini secara real time untuk memonitor peluncuran rudal-rudal Korut. Kesepakatan terakhir ini akan mulai berlaku efektif akhir tahun ini.
Rencana pertemuan trilateral AS-Jepang-Korsel ini diungkap setelah pada Senin (14/8/2023), pemimpin Korut memerintahkan peningkatan produksi rudal dan persenjataan lain secara drastis. Seperti dikutip kantor berita Korut, KCNA, Kim memerintahkan peningkatan produksi setelah Washington dan Seoul mengumumkan akan memulai latihan perang besar-besaran pada akhir Agustus ini.
Korut siap hadapi perang
Menurut laporan KCNA, Kim mendatangi pabrik yang memproduksi rudal taktis, kendaraan lapis baja, hingga peluru artileri sepanjang akhir pekan lalu. Laporan itu juga mengutip Kim yang menyatakan Korut harus memiliki kekuatan militer yang luar biasa dan bersiap sepenuhnya untuk menghadapi perang apa pun.
Juru bicara Kepala Staf Gabungan Korsel, Lee Sung Joon, mengatakan kepada wartawan bahwa latihan UFS (ultra freedom shield) tahun ini adalah untuk memperkuat kemampuan respons sekutu dengan skenario yang mencerminkan kemajuan dalam menghadapi kemampuan nuklir dan rudal Korut. Kolonel Isaac L Taylor, juru bicara militer AS, menyebut latihan militer itu dirancang untuk menjadi latihan yang keras dan serealistis mungkin.
Menurut Christopher Johnstone, mantan pejabat Gedung Putih yang sekarang bekerja di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Washington, mengatakan bahwa Pemerintah AS berusaha memanfaatkan pemulihan hubungan Tokyo-Seoul untuk melembagakan beberapa kemajuan dialog yang telah dicapai ketiga negara yang akan membuat pemimpin AS di masa depan mundur.
Akan tetapi, Johnstone menilai relasi tiga arah masih rapuh. ”Di Korsel, upaya Presiden Yoon masih belum populer secara luas. Dan di Jepang, ada keraguan bahwa perbaikan (hubungan dengan Korsel) akan bertahan lama dan bahwa presiden (Korsel) di masa depan dapat membalikkan keadaan lagi,” katanya.
Meski begitu, Johnstone berharap pernyataan para kepala negara yang hadir dalam pertemuan puncak di Camp David akan mengakui bahwa keamanan ketiga negara terkait satu sama lain. Selain itu, ancaman terhadap satu dari tiga negara itu dianggap sebagai ancaman bagi semua.
Blok militer baru
Rencana pertemuan Presiden AS Joe Biden, PM Jepang Fumio Kishida, dan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol itu dikritik Rusia sebagai upaya AS untuk membentuk blok militer baru. Bahkan, lebih jauh, AS berupaya mendorong Jepang dan Korsel untuk masuk dalam blok militer mini AUKUS. Aliansi militer ini berkekuatan tiga negara, yakni AS, Australia, dan Inggris.
”Intensifikasi kerja sama militer-teknis dan ilmiah-teknologi Washington dengan Seoul dan Tokyo memudahkan untuk berinteraksi dengan proyek-proyek yang dilakukan dalam kerangka AUKUS. Dan, akibatnya, membuat aksesi dua negara itu ke ’kemitraan’ menjadi cukup nyata,” kata Gennady Gatilov, Wakil Tetap Rusia untuk PBB, yang dikutip laman media Rusia, Izvestia. Ia menyinyalir bahwa kemungkinan itu terbuka lebar saat Biden, Kishida, dan Yoon bertemu di Camp David, Jumat pekan ini.
Gatilov menyatakan, AUKUS atau kerja sama militer lain di Indo-Pasifik adalah upaya Washington untuk mempertahankan dominasi globalnya. Ia menyebut AS tidak ingin tersaingi oleh Rusia dan China meski sadar bahwa mereka tidak bisa menyelesaikan persoalan sendiri tanpa dukungan negara lain sebagai perwakilan negara-negara Barat. Mempertahankan superioritas militer AS dengan kehadiran militer permanen di sejumlah wilayah, katanya, adalah cara untuk mempertahankan dominasi global ala ”Negeri Paman Sam”.
Gatilov menyebut, pemikiran AS yang memilih membentuk blok-blok militer kecil daripada mengembangkan hubungan yang berkelanjutan secara konstruktif dan saling menguntungkan menunjukkan ketidaksiapan Washington atau ketidakmauan dan tidak adanya niat untuk membangun hubungan dengan Rusia dan China.
Bersamaan dengan rencana pertemuan AS, Jepang, dan Korsel di Camp David untuk melembagakan kerja sama keamanan dan pertahanan ketiga negara, Presiden Rusia Vladimir Putin juga menyatakan keinginannya untuk mengundang sejumlah negara guna bekerja sama dalam bidang teknologi dan pertahanan.
”Rusia terbuka untuk memperdalam kemitraan teknologi yang setara dan kerja sama pertahanan dengan negara lain, yaitu semua pihak yang berupaya melindungi kepentingan nasionalnya dan jalur pembangunan independen,” kata Putin kepada peserta Forum Teknis-Militer Internasional Angkatan Darat 2023, dikutip dari kantor berita TASS.
Putin mengatakan, Rusia memiliki banyak hal, termasuk persenjataan dan sistem pertahanan, yang bisa digunakan oleh negara-negara mitranya. (AP/REUTERS)