Korban Kerja Paksa Masa Jepang Tolak Keputusan Kompensasi
Dibayangi masalah geopolitik di Semenanjung Korea, Pemerintah Korea Selatan mengumumkan rencana pembayaran kompensasi bagi para korban kekejaman Jepang menggunakan dana internal. Keputusan itu dikecam korban.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
JUNG YEON-JE
Warga berunjuk rasa memprotes keputusan Pemerintah Korea Selatan tentang skema kompensasi kepada korban kerja paksa semasa pendudukan Jepang di luar Kantor Kementerian Luar Negeri di Seoul, Senin (6/3/2023). (Photo by Jung Yeon-je / AFP)
Seoul, Senin — Rencana Pemerintah Korea Selatan mengumpulkan dana dari perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk memberi kompensasi pada warganya yang menjadi korban kerja paksa dan pekerja seks semasa Jepang berkuasa (1910-1945), telah membuat kegaduhan. Korban menolak dan masih meminta Pemerintah Jepang memberikan kompensasi pada mereka secara langsung.
Sedangkan oposisi pemerintahan Presiden Yoon Suk Yeol menilai langkah itu sebagai tanda bahwa Istana Biru menyerah dan tunduk pada Jepang. Mereka mendesak agar pemerintah segera mencabut keputusannya.
Dalam penjelasannya, Menteri Luar Negeri Korsel Park Jin, Senin (6/3/2023), mengatakan, hubungan Korea Selatan dan Jepang yang buruk tidak lagi boleh diabaikan. Dan, kini saatnya, menurut dia, lingkaran setan hubungan yang buruk itu harus diakhiri untuk kepentingan rakyat dan nasional kedua negara.
“Korea Selatan dan Jepang memiliki jendela peluang baru untuk mengatasi konflik mereka dan membangun hubungan yang berorientasi masa depan. Jika kita bandingkan dengan segelas air, menurut saya gelas itu lebih dari setengahnya berisi air," kata Park. Park berharap dengan rencana ini Pemerintah Jepang bisa membuat pernyataan publik yang mengungkapkan penyesalan dan meminta maaf.
KIM HONG-JI
Menteri Luar Negeri Korea Selatan Park Jin berbicara pada sesi penjelasan singkat tentang rencana penyelesaian persoalan kompensasi bagi korban kerja paksa semasa pendudukan Jepang, 1910-1945, di Kementerian Luar Negeri di Seoul, Korea Selatan, Senin (6/3/2023). (Photo by KIM HONG-JI / POOL / AFP)
Dalam penjelasannya, Park menyebut bahwa kompensasi terhadap para korban akan disalurkan melalui sebuah yayasan milik pemerintah atau negara. Dana untuk para korban akan digalang melalui perusahaan-perusahaan Korsel atau warga sipil yang berniat membantu para korban.
Park tidak merinci bagaimana yayasan itu akan dibiayai atau menjalankan operasionalnya. Tetapi pada Januari, Shim Kyu-sun, Ketua Yayasan Korban Mobilisasi Paksa oleh Kekaisaran Jepang menyebut bahwa dana tersebut akan berasal dari perusahaan Korea Selatan yang mendapat manfaat dari perjanjian Seoul-Tokyo 1965 yang menormalisasi hubungan kedua negara.
Rencana Pemerintah Korsel disambut baik oleh Pemerintah Jepang dan menyebut bahwa Perdana Menteri Fumio Kishida akan bekerja sama dengan Yoon. Akan tetapi, Pemerintah Jepang tidak berharap ada perusahaan Negeri Matahari Terbit itu diwajibkan membayar kompensasi kepada para korban kekejaman tentara Jepang. Dalam pandangan Tokyo, hal itu sudah lama selesai.
Meski demikian, Menlu Jepang Yoshimasa Hayashi mengatakan mereka tidak akan menutup kemungkinan bagi perusahaan-perusahaan yang dulu terlibat dalam praktik kejam untuk memberi donasi jika mereka memang menginginkannya. "Kami menyambut baik ini sebagai langkah mengembalikan hubungan Jepang-Korea Selatan yang sehat," katanya.
JUNG YEON-JE
Warga berunjuk rasa memprotes keputusan Pemerintah Korea Selatan tentang skema kompensasi kepada korban kerja paksa semasa pendudukan Jepang di luar Kantor Kementerian Luar Negeri di Seoul, Korea Selatan, Senin (6/3/2023). (Photo by Jung Yeon-je / AFP)
Kantor berita Korea Selatan Yonhap, mengutip sumber-sumber pemerintah yang tidak disebutkan namanya, mengatakan bahwa sebagai bagian dari kesepakatan, Seoul dan Tokyo secara tentatif setuju untuk membuat "dana pemuda masa depan" yang terpisah untuk mensponsori beasiswa dengan dana dari perusahaan di kedua negara.
Keputusan Istana Biru untuk membayarkan kompensasi bagi para korban dari dana perusahaan dan warganya sendiri tidak terlepas dari kebutuhan kerja sama kedua negara untuk menghadapi ancaman Korea Utara. Sumber di lingkaran dekat PM Kishida menyebut bahwa Amerika Serikat (AS) telah mencoba mendekati dan bahkan menekan kedua pemerintah untuk berdamai. Para sumber mengakui bahwa faktor utama yang mendorong rekonsiliasi adalah ancaman senjata nuklir.
Presiden AS Joe Biden menyambut baik “rekonsiliasi” itu dan menyebutnya sebagai babak baru kerja sama serta kemitraan dua sekutu dekat AS di Asia Timur. “Presiden Yoon dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida "mengambil langkah kritis untuk membentuk masa depan bagi rakyat Korea dan Jepang yang lebih aman, lebih terjamin, dan lebih sejahtera," kata Biden dalam sebuah pernyataan.
Seoul dan Tokyo dalam keadaan tegang karena kekejaman yang dilakukan militer Jepang terhadap warga Korsel selama mereka berkuasa di negara itu, 1910-1945. Ratusan ribu warga pria Korea dimobilisasi dalam kamp kerja paksa untuk perusahaan Jepang. Sementara kaum perempuannya dijadikan budak seks.
JUNG YEON-JE
Warga berunjuk rasa memprotes keputusan Pemerintah Korea Selatan tentang skema kompensasi kepada korban kerja paksa semasa pendudukan Jepang di luar Kantor Kementerian Luar Negeri di Seoul, Senin (6/3/2023). (Photo by Jung Yeon-je / AFP)
Tahun 1965, Tokyo dan Seoul mencapai kesepakatan. Sebagai kompensasi, Tokyo memberikan bantuan ekonomi dan pinjaman ratusan juta dolar yang digunakan dalam proyek pembangunan bagi perusahaan-perusahaan Korsel, termasuk POSCO.
Saat ini, POSCO merupakan raksasa baja global. Perusahaan ini mengatakan pada Senin pekan ini bahwa pihaknya akan secara aktif mempertimbangkan kontribusi kepada yayasan jika ada permintaan resmi.
Jepang bersikeras bahwa semua masalah kompensasi masa perang telah diselesaikan berdasarkan kesepakatan 1965.
Jepang bersikeras bahwa semua masalah kompensasi masa perang telah diselesaikan berdasarkan kesepakatan 1965. Tuntutan para korban dan pemerintah Korsel yang dianggap terlalu berlebih, berbuah kebijakan kontrol bahan kimia bagi industri semikonduktor Korsel pada 2019.
Mantan pekerja paksa, pendukung mereka, dan oposisi di parlemen Korsel mengecam rencana pemerintah tersebut, menyebutnya keputusan itu sebagai penyerahan diplomatik. Sekitar 20-30 aktivis berunjuk rasa di dekat Kementerian Luar Negeri Seoul, membunyikan klakson dan meneriakkan slogan, "Kami mengutuk (pemerintahan Yoon)" dan "Tarik (pengumuman)."
JUNG YEON-JE
Warga berunjuk rasa memprotes keputusan Pemerintah Korea Selatan tentang skema kompensasi kepada korban kerja paksa semasa pendudukan Jepang di luar Kantor Kementerian Luar Negeri di Seoul, Senin (6/3/2023). (Photo by Jung Yeon-je / AFP)
Lim Jae-sung, seorang pengacara untuk beberapa penggugat, menyebut rencana Korsel sebagai kemenangan mutlak Jepang. Dia mengatakan pengacara akan terus maju dengan langkah-langkah yang bertujuan melikuidasi aset perusahaan Jepang di Korea Selatan untuk memastikan tahap pemulihan.
Pengacara akan terus maju dengan langkah-langkah yang bertujuan melikuidasi aset perusahaan Jepang di Korea Selatan untuk memastikan tahap pemulihan.
Oposisi liberal utama Partai Demokrat meminta Yoon untuk segera menghentikan apa yang disebutnya "diplomasi yang memalukan" terhadap Jepang dan menarik rencananya. Mereka juga meragukan prospek untuk mengakhiri persoalan Jepang-Korsel.
Bahkan, ketika pemerintahan Moon Jae In berkuasa, Partai Demokrat mengambil langkah-langkah untuk membubarkan yayasan yang didanai oleh Jepang untuk memberi kompensasi kepada wanita Korea yang dipaksa bekerja sebagai budak seks selama Perang Dunia II karena tidak mendapatkan persetujuan para korban. (AP/REUTERS/MHD)