Viral dan Demokrasi Digital Ala China
Warganet di media sosial baik di China maupun Indonesia menggunakan media sosial sebagai sarana untuk mendorong perubahan sosial dan politik. Sejumlah batasan disiasati, antara lain, dengan akun anonim.
Tak ada yang luput dari mata tajam warganet. Jari jemari mereka bisa mengangkat isu menjadi viral lewat ketukan cekatan di layar gawai. Di China dan Indonesia, warganet di media sosial mendorong perubahan meskipun memiliki makna demokrasi digital yang berbeda.
Awal Juni 2023, foto dan video pasangan modis yang bergandengan tangan di Chengdu, Sichuan, menjadi viral di media sosial China. Laki-laki di video ternyata adalah pejabat tinggi Huanqiu Project Management (Beijing) Co Ltd (HQPMC), Hu Jiyong. Hu tertangkap basah sedang bersama perempuan muda yang bukan istrinya, bermarga Dong.
Tagar terkait isu ramai di medsos, bahkan dilihat lebih dari 200 juta kali di Sina Weibo, semacam Twitter. Alhasil, Hu akhirnya dicopot dari jabatan di perusahaan dan partai. Kontrak kerja Dong yang bekerja di perusahaan yang sama diputus, mengutip China Daily.
Baca juga: Pasar China Kompetitif, "Pedagang TikTok" Incar Pasar AS dan Eropa
“Unggahan viral di media sosial adalah bentuk pengawasan publik terhadap kerja pemerintah yang mencerminkan kebutuhan masyarakat. Efek positifnya dapat mendorong China menjadi lebih baik,” kata Zeng Kexin (25), salah satu pengguna medsos dari Beijing, Senin (31/7/2023).
Mahasiswa pascasarjana di Beijing Foreign Studies University ini kerap berpendapat di dunia maya. Dia menggunakan Weibo dan Xiaohongshu, semacam Instagram. Di Weibo, misalnya, perempuan ini mengunggah pendapat tentang feminisme dan pengembangan diri.
Dengan membahas topik itu, Zeng ingin agar masyarakat menyadari tantangan terselubung yang dihadapi perempuan di tempat kerja, keluarga, dan masyarakat yang patriarki. Ia percaya unggahannya di medsos bisa menyadarkan banyak perempuan serta bisa membantu mereka mempertimbangkan kembali keputusan hidup.
Zeng sadar betul bahwa suara warganet di medsos memiliki kekuatan. “Korupsi dilaporkan, orang yang tertimpa bencana alam diselamatkan berkat unggahan yang viral. Jika media sosial digunakan dengan benar, perubahan akan terjadi,” ujarnya.
Baca juga: Susah Cari Kerja, Anak-anak Muda di China Memilih Jadi ”Anak Purnawaktu”
Fenomena paralel itu terlihat di Indonesia. Beberapa masalah menjadi atensi pemerintah dan publik berkat jari warganet. Untuk tahun ini saja, beberapa isu menjadi viral, seperti kasus penganiayaan oleh anak pejabat, Mario Dandy Satriyo, dan masalah intimidasi yang dialami konten kreator Bima Yudho Saputro. Yang terbaru ialah soal mahalnya seragam sekolah di Jawa Timur.
Dari sekian warganet, Satrio Dwicahyo (30) ialah satu yang rajin bersuara di Twitter. Mahasiswa Doktoral bidang Sejarah, Universiteit Leiden, Belanda, ini sering menyampaikan wacana sekaligus keluh kesah soal isu sosial-politik, pendidikan, dan sejarah menggunakan pendekatan humor. Kebetulan topik itu sejalan dengan pendidikan dan profesinya.
“Saya tidak punya agenda tertentu, seringkali ini hanya soal menyampaikan pemikiran dan unek-unek. Tetapi saya kerap melihat tak sedikit orang merasa terwakili dengan sikap saya, meskipun saya juga kerap menerima kritik balik hingga serangan,” kata Satrio dari Belanda.
Satrio menilai, medsos menjadi “senjata” efektif bagi orang awam untuk mengubah keadaan sekaligus membuka kotak pandora bagi pihak berwenang. “Namun, penindakan ketika viral seringkali menggunakan solusi yang berorientasi pada eksposur demi memanjakan selera warganet. Tentu langkah ini akan gagal menyelesaikan akar persoalan,” ujar Satrio.
Lebih liberal
Menilik China, Profesor Zhang Di dari School of Journalism and Communication, Renmin University of China, mengatakan, kehadiran medsos mendisrupsi monopoli media massa berpengaruh yang biasanya hanya diakses pemerintah secara eksklusif. Medsos pun memengaruhi gaya masyarakat berkomunikasi dan mengonsumsi konten.
Zhang melihat belakangan terjadi pergeseran budaya, terutama bagi kaum muda China. Kemudahan teknologi dan kehadiran medsos memicu keinginan untuk mengekspresikan diri, termasuk dalam berbagi opini dan pengalaman. Warga turut memiliki ruang untuk diskusi politik dan membentuk opini publik yang sebelumnya tidak tersedia secara luring.
Baca juga: Hidup Lebih Santai Jadi Pilihan Sebagian Anak Muda di China
“Media sosial membuat China menjadi lebih demokratis berdasarkan standar Barat. Medsos membentuk power balance antara pemerintah dengan masyarakat awam atau organisasi akar rumput karena suara mereka bisa mencapai publik,” tutur Zhang di Beijing saat memberi kuliah dalam program China International Press Communication Center (CIPCC) 2023, Mei lalu.
Zhang mencontohkan, seorang pejabat di Provinsi Shaanxi, Yang Dacai, tersenyum saat memeriksa satu lokasi kecelakaan fatal pada 2012. Warganet yang kesal mendapati gambar dia mengenakan jam mewah yang mengundang perbincangan. Penyelidikan menemukan dia bersalah atas kasus korupsi. Yang masuk bui selama 14 tahun.
Menurut Zhang, warganet China bebas berekspresi selama menaati aturan dan hukum yang berlaku. “Berdasarkan standar media Barat, kebebasan berekspresi tersebut mungkin tidak begitu bebas dan liberal. Tetapi kalau dibandingkan era media tradisional sebelumnya, sekarang jauh lebih liberal,” ujarnya.
Kebebasan berekspresi China di medsos masih terbatas pada kasus tertentu. Pada November 2021, sebagai contoh, petenis Peng Shuai melalui Weibo mengklaim Zhang Gaoli, mantan Wakil Perdana Menteri China, melakukan kekerasan seksual terhadap dirinya. Unggahan itu langsung lenyap dan Peng sempat menghilang dari mata publik.
Panjang akal
Peneliti budaya, media, dan komunikasi dari Universitas Pasundan, Idi Subandy Ibrahim menambahkan, medsos menjadi alat politik warga di Indonesia. Karena ada transparansi, warga tidak lagi takut diintimidasi ketika mengkritik kinerja pemangku kuasa yang tidak becus serta menuntut hak.
“Fenomena ini sangat menarik dalam perkembangan demokrasi di Indonesia karena media sosial mereduksi kendala keterlibatan warga berpartisipasi politik. Artinya, saluran formal untuk warga menyalurkan partisipasi selama ini kurang jalan,” kata Idi.
Dalam konteks Indonesia, kebebasan berekspresi di medsos terkungkung oleh pasal-pasal karet dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kriminalisasi warga seringkali terjadi sebagai akibatnya. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang perubahan UU ITE masih berlarut-larut (Kompas, 21 Juli 2023).
Baca juga: Gim Jadi ”Candu Spiritual” di China, Tencent Janji Batasi Umur Pengguna
Walhasil, warganet Tanah Air panjang akal mencari cara mengkritik baik dengan menggunakan akun anonim maupun alusi. Misalnya, Indonesia sering disebut sebagai Konoha dan presiden disebut sebagai hokage di dunia maya. Nama tempat dan jabatan itu adalah referensi terhadap serial manga Naruto yang dinilai memiliki sejumlah karakteristik yang mirip dengan Indonesia.
“Strategi seperti itu adalah bentuk mobilisasi politik secara simbolik yang bersifat eufemisme, tetapi di sisi lain itu cara warganet meledek. Yang perlu ditingkatkan adalah keberanian warga untuk mengkritik dengan argumentasi atau bukti bahwa betul ada sesuatu yang tidak wajar terjadi. Tidak asal fitnah, jadi dalam koridor etik,” tutur Idi.
Melihat analogi viral di China dan Indonesia, medsos menjadi katalis kebebasan berdemokrasi. Perbedaan sistem negara membuat kebebasan berekspresi di China berjalan dalam akomodasi pemerintah, sedangkan di Indonesia lebih pada bentuk kontrol sosial yang fleksibel. Pada akhirnya, literasi digital akan selalu menjadi elemen vital saat menggunakan medsos. (Reuters/AP)