Sebanyak 500 perusahaan terbesar di AS memiliki direktur utama berusia di bawah 50 tahun. Bahkan, sejumlah perusahaan memiliki pemimpin berumur di bawah 30 tahun. Mereka bukan anak ataupun cucu dari pendiri perusahaan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Generasi Z, angkatan yang lahir pada periode pertengahan 1990-an hingga pertengahan 2010-an, menempati 26 persen dari populasi masyarakat global. Sebagian di antaranya sudah lulus sekolah dan memasuki dunia kerja. Bahkan, sebagian telah menjadi pemimpin di perusahaannya sendiri atau menduduki posisi puncak di perusahaan orang lain.
Seluruh kajian mengenai Gen Z mengatakan bahwa ini adalah generasi yang paling beragam dan akrab dengan dunia digital. Di Amerika Serikat dan Inggris, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Stanford, Gen Z adalah angkatan yang paling majemuk secara latar belakang etnis dan kepercayaan.
Mereka adalah angkatan yang paling berpendidikan; peduli isu politik, sosial, dan lingkungan; dan paling cair di dalam pergaulan.
McKinsey, pada Juni 2023, menerbitkan laporan bahwa sepertiga dari 500 perusahaan terbesar di AS memiliki direktur utama berusia di bawah 50 tahun. Bahkan, sejumlah perusahaan memiliki direktur berusia di bawah 30 tahun dan mereka bukan anak ataupun cucu dari pendiri perusahaan.
Memang ada kekurangan bahwa Gen Z ini kurang berpengalaman dalam menghadapi siklus ekonomi. Tetapi, di sisi lain, banyak perusahaan justru melihat ini sebagai kelebihan karena menghadirkan sudut pandang yang segar.
Celia Huber, mitra senior di McKinsey, menjelaskan, fenomena ini menunjukkan bahwa kepercayaan perusahaan yang sudah mapan terhadap Generasi Z besar, selama individu tersebut menunjukkan kualitas kepemimpinan yang diperlukan untuk mengelola korporasi itu.
”Memang ada kekurangan bahwa Gen Z ini kurang berpengalaman dalam menghadapi siklus ekonomi. Tetapi, di sisi lain, banyak perusahaan justru melihat ini sebagai kelebihan karena menghadirkan sudut pandang yang segar,” ujarnya dalam laporan itu.
Menurut Huber, 300 pemimpin perusahaan yang diwawancara McKinsey mengatakan, hal terpenting dari karakteristik pemimpin ialah mampu beradaptasi dengan segala ketidakpastian. Karakteristik berikutnya adalah kemampuan mengelola lingkungan dan emosi pekerja.
Salah satu aspek dari kemampuan beradaptasi dengan ketidakpastian itu adalah penguasaan atau setidaknya pemahaman mengenai perkembangan teknologi digital.
Tipe kepemimpinan Gen Z diulas dalam makalah ilmiah Jake Aguas, ahli manajemen di Sekolah Bisnis Crowell, Universitas Biola, AS, yang terbit di Journal of Emerging Leadership edisi 2019. Ia melakukan kajian pada Gen Z di AS mengenai tipe pemimpin yang mereka harapkan dari diri sendiri dan orang lain.
”Bagi Gen Z, pemimpin itu bukan cuma atasan atau bos, melainkan mentor. Mereka menginginkan pemimpin yang komunikatif dengan tim, bukan sekadar menganggap bawahan sebagai anak buah,” kata Aguas.
Komunikasi ini bersifat dua arah, dalam arti diskusi untuk mencari ide-ide segar, bahkan radikal dengan penghargaan terhadap gagasan setiap individu, terlepas nanti dipakai ataupun tidak. Pemimpin juga tidak berdiam di kantor, melainkan juga ikut turun ke lapangan dan memberi contoh kepada tim dengan cara menerapkan ilmunya.
”Sistem kerja juga tidak hierarkis secara kaku, dengan memberi ruang bagi setiap anggota tim untuk berkembang. Di sini, fleksibilitas dalam bekerja menjadi poin yang diperhatikan oleh Gen Z,” papar Aguas.
Cara komunikasi
Sementara itu, Jack Kelly, Direktur Utama WeCruitr, firma ketenagakerjaan di AS, menjelaskan kepada majalah Forbes bahwa cara komunikasi ini merupakan masalah utama antara Gen Z dan generasi di atas mereka, terutama Generasi X yang merupakan angkatan orangtua mereka.
Banyak atasan dari Gen X menganggap Gen Z terlalu blak-blakan dalam mengutarakan pendapat, bahkan lancang. Adapula kasus ketika Gen Z ngotot dengan idenya karena menganggap sebagai yang terbaik, meskipun secara praktis ataupun atas pertimbangan berbagai hal tidak sesuai dengan persoalan yang dihadapi.
”Tingkat kematangan emosi ini bermasalah, tetapi juga tidak sepenuhnya salah Gen Z karena tiga tahun dari masa formatif mereka terjadi selama pandemi Covid-19. Mereka kehilangan kesempatan untuk kuliah praktik, magang, maupun mengembangkan kemampuan berkomunikasi secara langsung,” ujarnya.
Cara komunikasi ini merupakan masalah utama antara Gen Z dan generasi di atas mereka, terutama Generasi X yang merupakan angkatan orangtua mereka.
Pernyataan Kelly itu selaras dengan jajak pendapat yang dilakukan oleh surat kabar The Wall Street Journal pada April 2023 terhadap Gen Z yang akan lulus kuliah pada 2023. Mereka menyadari, akibat pandemi, tidak ada kesempatan untuk magang ataupun bekerja paruh waktu.
Ketika menulis curriculum vitae, misalnya, nyaris tidak ada yang bisa mereka cantumkan di kolom pengalaman. Ini membuat mereka khawatir perusahaan tidak mau menerima lamaran.
Pecat setelah pandemi
Apalagi, setelah pandemi, mereka juga melihat ratusan ribu profesional dipecat dengan alasan perusahaan salah perhitungan selama pandemi dan mempekerjakan terlalu banyak orang. Jika profesional dengan kepakaran bertahun-tahun tidak memiliki keamanan berkarier, Gen Z melihat kesempatan mereka juga tidak besar.
”Pada akhirnya, bagi Gen Z yang paling memperhatikan mereka adalah sesama Gen Z. Kami memahami nilai-nilai yang dianut generasi kami, yaitu kebebasan berpikir dan berekspresi secara kritis. Jarang ada institusi mapan yang mengerti, apalagi mau menerima kami. Jadi, jalan keluarnya adalah membangun untuk generasi sendiri,” kata Santiago Mayer (21) kepada USA Today.
Kami memahami nilai-nilai yang dianut generasi kami, yaitu kebebasan berpikir dan berekspresi secara kritis.
Mayer ketika berumur 17 tahun mendirikan Voters of Tomorrow. Ini adalah organisasi untuk mendidik generasi muda AS untuk sadar politik guna memastikan hak-hak mereka yang dilindungi oleh sistem demokrasi dipenuhi oleh pemerintah.
Partai politik, baik Republik maupun Demokrat, menurut Mayer, belum sepenuhnya memiliki program khusus untuk Gen Z. Anak-anak muda masih dilihat sebagai pencoblos potensial, tetapi visi dan misi partai belum sejalan dengan aspirasi mereka.
Hal serupa diutarakan oleh Zach Hirsch (21), pendiri perusahaan digital Mozverse Inc. Ia memimpin perusahaan kecil yang terdiri dari orang- orang berumur di bawah 26 tahun. Mereka bergerak di bidang pengembangan situs internet sesuai dengan permintaan klien serta strategi pemasarannya.
”Ini bukan soal saya cuma mempekerjakan tim yang seumuran. Siapa saja boleh masuk selama memang cocok dengan dinamika di perusahaan ini. Kalau soal kepemimpinan, ini saya kembalikan kepada setiap klien yang menggunakan jasa perusahaan kami. Bukti mereka tetap menggunakan layanan kami menunjukkan bahwa klien tidak bermasalah dengan kepemimpinan Gen Z,” tuturnya kepada Fox5.
Hirsch melihat, minat Gen Z di sekitar dunia digital. Alasannya, kehadiran internet dan media sosial menyediakan kesempatan yang inklusif bagi Gen Z untuk berkarya.
Membuat konten media sosial merupakan jenis usaha yang diminati Gen Z. Dan ini tidak mudah karena memerlukan kerja sama tim dan pengelolaan medium secara cermat.
Pada saat yang sama, penerapan kerjanya fleksibel dan bisa mengambil risiko. Ini dianggap Gen Z menarik serta mungkin tidak tersedia di perusahaan konvensional.