Faksi-faksi Palestina Bentuk Komite Rekonsiliasi untuk Pemerintahan Bersatu
Faksi-faksi Palestina dalam pertemuan di El-Alamein, Mesir, sepakat membentuk komite rekonsiliasi dalam upaya menyatukan mereka demi terbentuknya pemerintahan persatuan Palestina.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
KAIRO, SENIN — Faksi-faksi Palestina menggelar pertemuan di El-Alamein, Mesir, Minggu (30/7/2023), untuk membahas langkah-langkah rekonsiliasi di antara mereka. Mereka memutuskan membentuk komite rekonsiliasi intra-Palestina.
Pertemuan itu juga menghadirkan momen yang jarang terjadi, yakni pertemuan tatap muka antara Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh. Upaya terbaru rekonsiliasi ini digelar untuk menjembatani perbedaan di antara dua pemerintahan yang berjalan secara paralel, yakni Hamas di Jalur Gaza dan Otoritas Palestina (PA)—yang dikontrol oleh gerakan Fatah pimpinan Abbas—di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Pertemuan tersebut, selain diikuti Abbas dan Haniyeh, dihadiri pula oleh para pemimpin faksi-faksi Palestina lainnya, kecuali Jihad Islam dan dua kelompok kecil lainnya. Jihad Islam menetapkan syarat pembebasan sejumlah tawanan yang ditahan aparat keamanan PA untuk hadir pada pertemuan di El Alamein itu.
”Saya menganggap pertemuan para sekretaris jenderal faksi-faksi Palestina pada hari ini merupakan langkah pertama dan penting dalam melanjutkan dialog di antara kami yang, kami harapkan, membuahkan hasil secepat mungkin,” kata Abbas melalui pernyataan, seperti dikutip laman Al Jazeera.
Presiden berusia 87 tahun itu mengumumkan ”terbentuknya sebuah komite untuk melanjutkan dialog... guna mengakhiri perpecahan dan mewujudkan persatuan nasional Palestina.” ”Kita harus kembali menjadi satu negara, sistem tunggal, undang-undang satu, dan pasukan resmi tunggal,” ujar Abbas.
Seorang pejabat Palestina yang tak mau disebutkan namanya, karena tidak berwenang berbicara kepada media, mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa pertemuan tersebut digelar untuk ”mengakhiri perpecahan (antara faksi-faksi) sebagai persiapan membentuk pemerintahan Palestina bersatu serta persiapan pemilihan presiden dan pemilu”.
Taher al-Nunu, jubir Haniyeh, menyebutkan bahwa Hamas mengupayakan posisi Palestina bersatu di bawah rencana strategis ”melawan pendudukan Israel terkait agresi pemerintahan ekstremnya”.
Pertemuan antarfaksi Palestina itu berlangsung menyusul meningkatnya kekerasan militer Israel di Tepi Barat, wilayah pendudukan tempat Abbas dan faksi yang dipimpinnya, Fatah, bermarkas. Israel berulang kali menyerbu kamp-kamp pengungsi dan permukiman warga Palestina dengan dalih memburu para pejuang Palestina yang mereka sebut sebagai teroris.
Sedikitnya 203 warga Palestina tewas dibunuh oleh pasukan Israel sejak awal 2023. Selain itu, 27 warga Israel dan masing-masing 1 orang dari Ukraina dan Italia, tewas. Sejumlah pejabat memperingatkan, tahun ini bisa menjadi tahun paling mematikan bagi warga Palestina di Tepi Barat sejak PBB mencatat angka korban di wilayah itu mulai 2005.
Diragukan
Meski menggembirakan, harapan dari pertemuan antarfaksi Palestina yang berlangsung satu hari itu rendah. Dua faksi utama, Fatah dan Hamas, yang terbelah satu sama lain sejak 2007, berulang kali telah mengupayakan rekonsiliasi, tetapi berulang kali itu pula gagal bersatu.
Pengamat politik Palestina Moukhaimer Abu Saada kepada AFP mengatakan, pembentukan komite rekonsiliasi intra-Palestina itu belum bisa untuk dirayakan. ”Cara terbaik untuk membunuh sesuatu adalah dengan membentuk komite mengenai sesuatu tersebut,” katanya dari Gaza.
Ia ragu upaya tersebut akan menghasilkan kemajuan dalam upaya ”mengakhiri perpecahan atau menetapkan tanggal pemilu Palestina”.
Dua faksi utama, Fatah dan Hamas, yang terbelah satu sama lain sejak 2007, berulang kali telah mengupayakan rekonsiliasi, tetapi berulang kali itu pula gagal bersatu.
Senada dengan pendapat itu, seorang pengguna Facebook mengunggah pesan bahwa perundingan di El-Alamein—yang berarti ’dua bendera’ dalam bahasa Arab—memperlihatkan perbedaan yang tak mungkin dilewati antara Hamas dan Fatah yang ”terbang dengan bendera yang benar-benar berlainan”.
Sejak mengontrol Jalur Gaza mulai tahun 2007, Hamas terus berselisih dengan Fatah. Upaya untuk mengakhiri perselisihan yang sudah berlangsung lebih dari 15 tahun itu terakhir digelar melalui pertemuan di Algiers, Aljazair, tahun 2022. Saat itu tokoh-tokoh Hamas dan Fatah menandatangani kesepakatan rekonsiliasi, termasuk rencana menggelar pemilu Palestina tahun 2023.
Pertemuan di Mesir, hari Minggu kemarin, dipimpin oleh Abbas. Bagi Abbas, pertemuan itu menjadi ajang untuk mencitrakan dirinya masih mampu mengontrol dan menjadi negarawan bagi rakyat Palestina ataupun komunitas internasional. Abbas selama ini jauh tidak populer di wilayah yang dipimpinnya, sekaligus tak mempunyai banyak ruang untuk bermanuver di tengah kuatnya tekanan Israel di Tepi Barat.
Adapun bagi Hamas, menghadiri pertemuan tersebut sebagai bukti untuk memperlihatkan bagi rakyat Jalur Gaza bahwa kelompok itu berupaya meredakan pertikaian dengan Fatah meski tak ada hasil konkret dari pertemuan itu.
Namun, pertemuan tersebut diboikot faksi utama Palestina lainnya, yakni kelompok Islam Jihad dan PPFP. Menurut Ziyad al-Nakhala, pemimpinnya, Islam Jihad memboikot sebagai bentuk protes atas penahanan anggota mereka oleh pasukan Otoritas Palestina.
Tuntutan Hamas
Pada hari Minggu sebelum pertemuan, menurut peserta pertemuan, Haniyeh meminta Abbas untuk mengakhiri kerja sama keamanan dengan Israel dan menghentikan penangkapan bermotif politik. Ia juga mendesak terbentuknya ”sebuah parlemen baru, inklusif, berdasarkan pemilu yang bebas (dan) demokratis”.
Hamas memenangi pemilu legislatif terakhir pada 2006. Organisasi itu berulang kali mendesak digelar pemilu.
Haniyeh juga mendesak ”restrukturisasi Organisasi Pembebasan Palestina” atau PLO, organisasi payung untuk pembentukan negara Palestina. Selama ini, PLO beranggotakan kebanyakan faksi-faksi Palestina, tetapi tidak termasuk Hamas atau Jihad Islam.
Menurut Abbas, PLO adalah satu-satunya perwakilan yang sah dari rakyat Palestina. Ia menyerukan ”perlawanan rakyat secara damai”, sementara Haniyeh mendorong ”perlawanan menyeluruh”.
Pada pertemuan Minggu, merujuk pada pertikaian antara Hamas dan Fatah pasca-pemilu tahun 2006, Abbas menyatakan, ”Kudeta dan perpecahan yang melanda kita harus diakhiri”.
Melalui pernyataan berikutnya, Abbas juga mengatakan bahwa dirinya ”berharap pertemuan berikutnya di Mesir akan mengumumkan kepada rakyat kita tentang berakhirnya 17 tahun perpecahan dan kembalinya persatuan nasional Palestina”.
Selama para tokoh faksi Palestina berkumpul dalam pertemuan di Mesir itu, secara terpisah di Jalur Gaza ratusan warga berunjuk rasa menuntut ”diakhirinya perpecahan”. Adapun di Lebanon, di kamp terbesar untuk pengungsi Palestina, Ain al-Helweh, di kota Sidon berlangsung baku tembak yang menewaskan lima anggota Fatah dan seorang petempur Islamis.
Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati menyebut insiden tersebut ”mencurigakan dalam konteks kawasan dan internasional saat ini”. Para tokoh faksi Palestina yang berkumpul di El-Alamein tidak mengeluarkan komentar mengenai insiden di Sidon, Lebanon selatan, itu. (AP/AFP)