Perjuangan rakyat Palestina mendirikan negara merdeka telah ditempuh lewat beragam organisasi dan kelompok perlawanan. Saatnya mereka bersatu padu menyatukan langkah mencapai cita-cita bersama.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
Sebagai bangsa, Palestina dan Israel selama hampir seabad terakhir saling menyerang. Salah satu perang itu berlangsung 11 hari, yang berhenti pada Jumat (21/5/2021) dini hari. Selepas gencatan senjata dalam perang itu, Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi dan banyak koleganya khawatir siklus kekerasan di Palestina akan terus berlanjut jika isu utama tak diselesaikan. Isu utamanya adalah penjajahan.
”Pendudukan dan agresi Israel yang terus berlangsung tidak hanya patut dikecam, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran berat hukum internasional yang memerlukan respons bersama dari semua negara,” ujarnya seusai sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, AS, pada Kamis, 20 Mei 2021.
Pakar pada Institute of Strategic and International Studies (ISIS) Malaysia, Shad Saleem Faruqi, mengingatkan, dunia internasional terus tidak adil terhadap Palestina dalam 74 tahun terakhir. Ketidakadilan bermula dari Resolusi PBB Nomor 181 Tahun 1947.
Resolusi berdasarkan rekomendasi Komite Khusus PBB untuk Palestina (UNSCOP) itu memberikan 42 persen wilayah Mandat Palestina kepada orang Palestina. Kala resolusi dibuat, sebanyak 62 persen penduduk wilayah itu diidentifikasi UNSCOP sebagai orang Palestina.
Sebaliknya, seluas 56 persen wilayah direkomendasikan UNSCOP diberikan kepada orang Yahudi yang kala itu setara 32 persen populasi. Adapun Jerusalem diusulkan dikelola perwalian internasional. UNSCOP tidak menyebut negara Israel, yang berdiri tahun 1948. Sebaliknya, UNSCOP berkali-kali menuliskan soal kemerdekaan Palestina dalam laporannya.
Ketimpangan proporsi wilayah itu membuat orang Palestina dan bangsa-bangsa Arab menolak Resolusi 181/1947. Milisi-milisi Yahudi, kelompok Zionis, dan gerakan internasional untuk mewujudkan negara bagi orang Yahudi menerima.
Milisi Yahudi, terutama dengan dukungan senjata dari Cekoslowakia, menyerbu permukiman-permukiman Palestina pada 1948. Pada tahun itu juga meletus perang Arab-Israel pertama. Populasi Palestina merosot dari 62 persen menjadi tak sampai 5 persen. Mayoritas warga Palestina mengungsi karena rumah dan aset mereka dihancurkan milisi Yahudi.
Dari pengungsian, mereka melanjutkan upaya memerdekakan Palestina. Yasser Arafat dan kawan-kawan tahun 1959 membentuk Fatah dengan ideologi sosialisme dan nasionalisme.
Adapun George Habash pada 1967 membentuk Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) yang berhaluan marxis-leninis. Habash dan rekan-rekannya dikenal dengan berbagai pembajakan pesawat dan serangan ke sejumlah fasilitas Israel di luar negeri. Gara-gara itu, PFLP sampai sekarang dikategorikan sebagai teroris oleh beberapa negara.
Fatah dan Hamas
Fatah, yang kini dipimpin Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Palestina, lebih lunak meski tidak menghapus opsi perjuangan bersenjata. Fatah dan banyak faksi lain sepakat membentuk Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 1964. PLO tidak condong pada kelompok agama tertentu.
Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair al-Shun juga berulang kali menyatakan, persoalan Palestina bukan konflik agama. Persoalan Palestina adalah upaya suatu bangsa untuk terbebas dari penjajahan.
Memang, kelompok agama terlibat dalam upaya pembebasan Palestina. Jihad Islam Palestina (PIJ) dan Hamas adalah kelompok utama yang mengaitkan nilai agama dengan upaya kemerdekaan Palestina.
PIJ dan Hamas sama-sama dibentuk kala Israel menguasai Gaza. Bahkan, Hamas dibentuk di Gaza kala Israel berkuasa penuh di sana. PIJ dan Hamas sama-sama menolak menjadi anggota PLO yang disebut sekuler. Meski organisasinya kini berbeda, PIJ dan Hamas sama-sama dibentuk kader Ikhwanul Muslimin Mesir.
Belakangan, PIJ dan Hamas bergabung dengan kelompok komunis dan sosialis menolak Kesepakatan Oslo 1993. PIJ, Hamas, dan PFLP sama-sama menolak solusi dua negara. Mereka memilih jalan pertempuran dibandingkan perundingan.
Sementara Fatah dan sejumlah faksi sosialis Palestina setuju solusi dua negara dan mau berunding demi mencapai target itu. Bahkan, kini Fatah cenderung menerima wilayah Palestina yang lebih kecil dibandingkan usulan Resolusi PBB 181/1947. Syaratnya, Jerusalem Timur jadi ibu kota Palestina.
Tidak hanya berkoalisi dengan komunis, Hamas juga berhubungan erat dengan Iran yang dimusuhi kelompok Arab Saudi dan tentu saja Israel. Seperti Hamas, Iran juga secara terbuka menolak keberadaan Israel. Teheran memasok dana dan teknologi untuk pengembangan senjata Hamas.
Salah satu hasilnya, Hamas bisa menembakkan puluhan roket dalam hitungan menit pada pertempuran Mei 2021. Secara rata-rata, Hamas menembakkan satu roket setiap 15 menit. Pada pertempuran 2014, Hamas butuh jeda beberapa jam selepas menembakkan satu roket. Jaraknya juga lebih pendek dibandingkan roket-roket 2021.
Hamas juga banyak mendapat sumbangan dari Qatar. Sokongan Doha pada Hamas menjadi salah satu penyebab Arab Saudi, Mesir, Bahrain, dan Uni Emirat Arab memboikot Qatar pada 2017-2021. Turki dan sejumlah pihak di Jerman juga diam-diam mengucurkan dana ke Gaza. Selain untuk senjata, dana dari Doha dan Teheran digunakan Hamas untuk menyediakan aneka layanan umum bagi penduduk Gaza.
Tidak hanya beragam, kelompok politik di Palestina juga cenderung menolak bekerja sama satu sama lain. Retno dan Menlu Turki Mevlut Cavusoglu berulang kali meminta mereka bersatu serta fokus memerdekakan Palestina dan membebaskan Baitul Maqdis dari pendudukan Israel.
Seruan persatuan
Persatuan itu, kata Retno dalam sidang darurat tingkat menlu Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada 16 Mei lalu, bahkan juga harus diwujudkan di kalangan negara-negara anggota OKI sebagai pendorong berdirinya negara Palestina. ”Tanpa persatuan, OKI tidak akan mampu menjadi penggerak bagi dukungan internasional untuk Palestina. Di saat yang sama, bangsa Palestina hanya bisa mencapai cita-citanya untuk merdeka apabila mereka bersatu,” ujarnya.
Perang Gaza bulan ini sebenarnya bisa menjadi momentum yang pas guna mematri persatuan, baik di lingkup internal Palestina maupun komunitas internasional, demi terwujudnya negara Palestina. Modal untuk itu telah tampak.
Di Palestina sendiri, misalnya, pada hari pertama perang meletus, 10 Mei lalu, yang saat itu telah menelan puluhan korban tewas di Gaza, Presiden Abbas di Ramallah, Tepi Barat, menyatakan membatalkan perayaan Idul Fitri. Rakyat Palestina diminta hanya melakukan kegiatan ibadah terkait hari raya. Mereka diperintahkan mengibarkan bendera setengah tiang untuk berdukacita.
Kurang dari sepekan kemudian, Komite Sentral Fatah juga menggelar sidang dengan keputusan menyeru seluruh rakyat Palestina bersatu padu melawan Israel. Andai sejak dulu persatuan itu terpatri, perjuangan menegakkan negara Palestina niscaya tidak serumit saat ini. (AP/AFP/REUTERS/SAM)