Selandia Baru Belum Mau Terima Bujukan AS Soal AUKUS
Belum ada kesepakatan di Selandia Baru soal AUKUS. Wellington tidak bersiap berkompromi soal kebijakan antisenjata nuklir. Wellington tetap pada posisi mendukung Pasifik yang bebas senjata nuklir.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
WELLINGTON, KAMIS-Bujukan Amerika Serikat agar Selandia Baru bergabung dalam aliansi militer belum berhasil. Selandia Baru belum mau bersikap atas ajakan bergabung itu. Selain itu, masih ada perpecahan pendapat secara meluas di Selandia Baru soal isu tersebut.
Menteri Luar Negeri Selandia Nanaia Mahuta mengatakan, belum ada kesepakatan soal aliansi militer bentukan AS bersama Inggris dan Australia itu. Kabinet Selandia Baru harus mempertimbangkan sematang mungkin soal tawaran terkait aliansi yang dikenal sebagai AUKUS itu.
Pernyataan itu disampaikan setelah menerima Menlu AS Antony Blinken, Kamis (27/7/2023), di Wellington. Sebelum Blinken, sejumlah pejabat Departemen Luar Negeri AS lebih dulu ke Selandia Baru untuk membahas AUKUS. Mereka antara lain mantan Wakil Menlu AS Wendy Sherman, Asisten Menlu AS Daniel Kritenbrink, dan Koordinator Kebijakan Indo-Pasifik pada Gedung Putih Kurt Campbell. Sejumlah pejabat Australia juga beberapa kali mencoba membahas isu AUKUS dengan Selandia Baru
Mahuta mengatakan, negaranya tidak bersiap berkompromi soal kebijakan antisenjata nuklir. Wellington tetap pada posisi mendukung Pasifik yang bebas senjata nuklir.
Sikap senada telah disampaikan Menteri Pertahanan Selandia Baru Andrew Little. Ia mengatakan, posisi Wellington soal senjata nuklir amat teguh dan tidak mungkin berubah.
Sementara Blinken menyebut, pintu bagi Selandia Baru untuk membahas soal persenjataan dan program pengadaan barang-jasa dalam kerangka AUKUS selalu terbuka. Kesempatan senada diberikan kepada mitra-mitra AUKUS. “Kami telah lama bekerja sama dalam isu-isu keamanan penting. Seiring kami terus mengembangkan AUKUS, pintu untuk pembahasan terbuka,” ujarnya.
Bersama Kanada, Selandia Baru dan anggota AUKUS telah punya kerja sama pertahanan yang disebut Panca Netra. Kerja sama itu fokus pada penyediaan pelantar berbagi informasi intelijen antara AS, Australia, Inggris, Kanada, dan Selandia Baru.
Setelah AUKUS diumumkan, Selandia Baru menegaskan penolakan menerima kapal selam bertenaga atau bersenjata nuklir di perairannya. Penolakan itu menyulitkan hubungan Canberra-Wellington. Sebab, salah satu fokus AUKUS adalah menyediakan kapal selama bertenaga nuklir untuk Australia.
Perbedaan Pendapat
Karena secara Canberra-Wellington meneken persekutuan militer, ada pertanyaan soal posisi Selandia Baru pada AUKUS. Perdana Menteri Selandia Baru Chris Hipkins mengatakan, Wellington siap membahas keterlibatan Selandia Baru di AUKUS. Syaratnya, keterlibatan itu tidak terkait dengan pengembangan kapal selam bertenaga nuklir.
Menteri Pertahanan Selandia Baru Andrew Little menyebut, ada ketertarikan Wellington pada AUKUS. Selandia Baru menjajaki kemungkinan terlibat pada program kecerdasan buatan, keamanan teknologi informatika, komputasi kuantum, persenjataan hipersonik, hingga pengadaan barang dan jasa militer. Hal-hal itu dikenal sebagai Pilar Kedua AUKUS. Sementara Pilar Pertama adalah terkait persenjataan nuklir. “Pemerintah akan menjajaki area kerja sama yang dimungkinkan,” kata dia.
Kesediaan itu tidak lepas dari gelombang serangan sibernatika di Selandia Baru dan berbagai negara lain. Selain itu, kesediaan tersebut akan semakin mengokohkan kerja sama dalam kerangka Panca Netra.
Baca juga Percepat Distribusi Persenjataan, AUKUS Debirokratisasi Ketua Partai Te Pāti Māori John Tamihere menegaskan, partainya amat menolak Selandia Baru bergabung dengan AUKUS dengan cara apa pun. Sementara Partai Buruh dan Partai Nasional belum bersikap resmi soal isu itu.
Mantan PM Selandia Helen Clark menegaskan, kepentingan Wellington tidak selaras dengan AUKUS. “Terlibat pada AUKUS membawa risiko pada kemandirian politik luar negeri Selandia Baru dan mungkin posisinya soal senjata nuklir. Dampak ekonominya juga akan besar,” kata dia.
Ia merujuk pada asumsi AUKUS dibentuk untuk membendung China. Padahal, China kini jadi tujuan ekspor utama Selandia Baru. Kala menerima Hipkins di Beijing beberapa pekan lalu, Presiden China Xi Jinping mengatakan bahwa penting bagi kedua negara melihat diri mereka sebagai mitra dalam kemajuan bersama. China-Selandia Baru tidak perlu menganggap mereka bersaing apalagi bermusuhan. Hubungan kedua negara perlu dipandang sebagai peluang, bukan ancaman.
Risiko Dan Manfaat
Pakar pertahanan pada Massey University Anna Powles mengatakan, pemilu pada September 2023 akan menentukan nasib Selandia Baru di AUKUS. Partai-partai besar masih terlalu berhati-hati soal AUKUS.
Ia mengatakan, sejauh ini Selandia Baru tertarik Pilar Kedua AUKUS. Masalah pilar itu adalah perinciannya tidak jelas sampai sekarang. Karena itu, akan sulit menduga Selandia Baru akan mendukung pilar itu atau tidak.
Masalah lain soal keterlibatan Selandia Baru di AUKUS adalah Wellington berusaha menunjukkan diri sebagai bagian Asia-Pasifik. Selandia Baru tidak mau dipandang sebagai pos terdepan Barat di Indo-Pasifik. Bergabung dengan AUKUS, menurut Powles, akan membuat Wellington dicap sebagai bagian Barat.
Dosen pada Otago University Robert Patman mengatakan, risiko bergabung dengan AUKUS lebih besar dibandingkan manfaatnya. Asumsi yang mendasari AUKUS, bahwa ada perang dingin antara China dan AS, masih sangat perlu diperdebatkan. “China tumbuh menjadi kekuatan besar karena keterlibatannya pada ekonomi pasar dan keterlibatan itu didukung penuh Barat,” ujarnya.
Kekuatan ekonomi saat ini membuat China amat berambisi pada perubahan tatanan global. Walakin, kekuatan itu sekaligus menjadi kelemahannya. Perekonomian China amat terkait dengan AS, Jepang, Uni Eropa, dan berbagai negara lain. China akan rugi jika sampai terlibat perang dengan negara-negara itu.
Patman mengatakan, negara lain tidak akan diam saja jika Selandia Baru bergabung dengan AUKUS. Wellington akan serta merta dipandang mengurangi komitmennya pada zona bebas senjata nuklir di Pasifik. Selandia Baru juga akan kehilangan citra sebagai negara yang kebijakan luar negerinya ditentukan secara mandiri.
“Ada anggapan bahwa tidak bergabung dengan AUKUS berarti lunak pada China. Padahal, tidak demikian. Saya pikir, banyak orang di sini juga tidak selalu setuju pada China. AUKUS bukan perangkat terbaik untuk menyatakan ketidaksetujuan itu,” tutur Patman.
Sementara Dosen University of Waikato, Reuben Steff, meyakini Selandia Baru akan untung jika bergabung dengan pilar kedua AUKUS. Sebab, teknologi dalam pilar itu akan menjadi faktor penting dalam kemajuan di masa mendatang. “Memastikan akses Selandia Baru pada teknologi itu amat penting,” kata dia.
Jika tidak bergabung dengan Pilar Kedua, kepentingan strategis Selandia Baru pada keamanan dan intelijen akan melemah. Kerja sama pertahanan Selandia Baru dengan mitra dekatnya sulit dilakukan. (AFP/REUTERS)