Distribusi senjata antar-anggota AUKUS tersandung birokrasi yang berbelit-belit. Oleh sebab itu, aliansi militer itu bertekad melakukan debirokratisasi.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
CANBERRA, KAMIS — Dua tahun berjalannya AUKUS alias aliansi militer tiga negara, yakni Australia, Inggris, dan Amerika Serikat, ditandai dengan transfer teknologi antara ketiga pihak yang tidak lancar. Birokrasi yang berbelit-belit dituding menjadi penyebab.
”Hingga saat ini, belum ada prosedur yang bisa mempercepat proses transfer teknologi. Harus ada keberanian dari kita semua untuk memangkas birokrasi,” kata Direktur Program Strategis Kementerian Pertahanan Inggris Shimon Fhima dalam diskusi daring antar-kementerian pertahanan anggota AUKUS, Rabu (1/3/2023) malam atau Kamis pagi WIB.
AUKUS adalah pakta pertahanan yang dibentuk pada 2021. Tujuan aliansi untuk menjegal pertumbuhan pengaruh China di kawasan Indo-Pasifik. AUKUS merupakan bagian dari strategi AS dalam membendung China. AS berkepentingan mempertahankan hegemoninya. Sementara China dengan pertumbuhannya selama beberapa tahun terakhir telah menjadi pesaing utama AS.
Sejak 2013, China menjalankan proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) yang membantu membangun infrastruktur transportasi di negara-negara berkembang. China juga aktif mendekati negara-negara di Pasifik Selatan. Mereka mensponsori berbagai pembangunan sarana umum, bahkan menawarkan kerja sama pertahanan.
Dalam perjanjian AUKUS antara lain disebutkan adanya pertukaran teknologi antar-anggota. Dalam hal ini, Australia mengharapkan kerja sama pertahanan lebih intensif dengan Inggris dan AS. Kedua negara itu memproduksi persenjataan mereka dan keduanya juga memiliki teknologi pengembangan nuklir.
Teknologi yang akan didistribusikan di antara anggota AUKUS, antara lain, ialah persenjataan hipersonik, radar canggih, dan sistem kecerdasan buatan. Pertama-tama, teknologi yang dijanjikan ialah agar Australia memperoleh kapal selam bertenaga nuklir yang dianggap lebih mumpuni untuk berpatroli di perairan Indo-Pasifik.
Himpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan Selandia Baru telah mengemukakan keberatan atas inisiatif itu. ASEAN dan Selandia Baru keberatan kapal selam bertenaga nuklir berlayar di dekat perairan mereka.
Hingga kini belum ada kejelasan tata cara pengiriman teknologi itu dari Inggris dan AS ke Australia. Bahkan, belum diketahui negara mitra pilihan Australia. Di dalam negeri, Pemerintah Australia dan oposisi masih bertengkar dan saling menyalahkan perkembangan AUKUS.
Peter Dutton, ketua partai oposisi, baru-baru ini mengatakan, membeli kapal selam bertenaga nuklir dari Inggris adalah kesalahan besar Pemerintah Australia. Waktu itu, pembentukan aliansi di bawah pemerintahan Perdana Menteri Australia Scott Morrison.
”Jauh lebih baik jika Australia membeli kapal selam kelas Virginia dari AS. Koordinasi dengan kapal-kapal lain di Indo-Pasifik akan lebih mudah,” kata Dutton yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan Australia untuk periode 2021-2022, dikutip surat kabar The Independent.
Kantor Perdana Menteri Inggris mengeluarkan tanggapan resmi yang mengatakan bahwa teknologi kapal selam Inggris terbaik di dunia. Selama ini, tidak ada rekor kecelakaan ataupun kedaruratan yang menimpa kapal selam negara tersebut. Mereka meyakinkan Australia bahwa tepat memilih Inggris sebagai mitra pertahanan bahari.
Menteri Industri Pertahanan Australia Pat Conroy kepada ABC mengatakan, oposisi berusaha mendiskreditkan pemerintah terkait AUKUS. ”Justru, masalah kita sekarang adalah kontrak 35 miliar dollar Australia dengan perusahaan BAE dari Inggris untuk membuat fregat yang ditandatangani PM Scott Morrison tahun 2021,” ujarnya.
Ia menjelaskan, ada kesumiran di dalam kontrak karena ternyata fregat yang dikembangkan oleh BAE masih dalam tahap percobaan, bukan produk jadi yang sudah dipatenkan. Akibatnya, harga pengadaan fregat itu naik menjadi 45 miliar dollar Australia dan harus dibayar oleh ”Negeri Kanguru” karena sudah meneken perjanjian. (REUTERS)