Tiga negara anti-Barat semakin menguatkan poros kekuatan mereka. Korut tengah mengupayakan poros Pyongyang-Beijing-Moskwa untuk menyaingi Barat.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
PYONGYANG, KAMIS — Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menyambut kedatangan Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu dalam peringatan 70 Tahun Gencatan Senjata Perang Korea. Kunjungan ini menunjukkan hubungan kedua negara yang semakin mendekat di tengah memanasnya persaingan geopolitik dengan Amerika Serikat.
Pada hari yang sama, Kamis (27/7/2023), Kim turut menyambut kedatangan delegasi China yang dipimpin oleh anggota Politbiro Partai Komunis China, Li Hongzhong. Perang Korea (1950-1953) sejatinya belum berakhir karena posisi sekarang masih gencatan senjata. Nmaun, Korut selalu merayakannya sebagai kemenangan merebut kembali tanah air. Mereka menganggap Korea Selatan sebagai negara boneka yang dikendalikan oleh Barat.
Kantor berita nasional Korut, KCNA, melaporkan, Shoigu menyerahkan sepucuk surat dari Presiden Rusia Vladimir Putin kepada Kim. Di dalam sambutannya, Shoigu mengatakan bahwa Korut memiliki militer terkuat di dunia.
Setelah itu, Kim mengajak Shoigu berjalan-jalan melihat pameran persenjataan. Kantor berita Korsel, Yonhap, menganalisis foto-foto Kim dan Shoigu. Tampak di pameran itu ada rudal balistik antarbenua Hwasong-17 dan Hwasong-18. Ada pula pesawat pengintai yang penampilannya mirip dengan Golden Hawk, pesawat buatan AS. Belum ada kepastian apabila Korut akan mengadakan parade militer untuk memamerkan persenjataan itu kepada publik.
Shoigu juga bertemu dengan Menhan Korut Kang Sun Nam yang mengatakan bahwa Pyongyang mendukung Moskwa dalam menegakkan keadilan dan kedaulatan. Kang tidak secara langsung menyebut invasi Rusia ke Ukraina yang berlangsung sejak 24 Februari 2022.
Seusai menjamu Shoigu, Kim menyambut Li Hongzhong yang memimpin delegasi China. Li berjanji untuk terus menjaga hubungan kedua negara agar tetap stabil dan kuat. Korut tengah mengupayakan poros Pyongyang-Beijing-Moskwa untuk menyaingi Barat.
Sejak dulu, China dan Rusia adalah sekutu penting Korut. Sejatinya, negara ini dilarang mengembangkan senjata balistik oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, China dan Rusia sebagai dua dari lima anggota tetap DK PBB menyatakan dukungan terhadap Korut.
Pyongyang pun berkali-kali menguji coba senjata balistiknya. Teralhir kali Korut menembakkan rudal Hwasong-18 adalah dua pekan lalu. Setiap kali ini terjadi, Korsel, AS, dan Jepang bersiaga.
Kunjungan penting
Korut jarang sekali mengundang delegasi negara lain untuk berkunjung. Oleh sebab itu, peristiwa ini penting karena menunjukkan langkah politik Kim. Meskipun begitu, pengamat isu Korut dari Universitas Ewha Korsel, Park Won-gon, mengatakan bahwa Korut tidak akan buru-buru membuka perbatasan mereka.
”Korut belum bisa menangani pandemi Covid-19. Kunjungan delegasi asing hanya dilaksanakan di bawah protokol yang ketat. Ini lebih kepada simbol politik dibandingkan Korut benar-benar kembali membuka perbatasan,” ujar Park.
Dari sisi Rusia, kunjungan ini penting karena sejak Uni Soviet bubar pada 1990, jarang ada menhan Rusia menyambangi Korut. Selain itu, ini adalah kunjungan luar negeri pertama Shoigu sejak terjadinya skandal pemberontakan oleh kelompok tentara bayaran Wagner pada 24 Juni lalu. Pemimpin Wagner, Yevgeny Prigozhin, marah kepada Shoigu karena dianggap tidak becus mengelola peperangan dengan Ukraina sehingga kelompok tentara bayaran itu selalu kekurangan persenjataan dan logistik.
Prigozhin diasingkan ke Belarus dan Shoigu menghilang dari hadapan publik untuk sementara waktu. Baik Prigozhin maupun Shoigu adalah orang terdekat Putin. Namun, dengan pemberontakan Wagner ini, Prigozhin didepak dari lingkaran orang kepercayaan Putin. Sebaliknya, Shoigu tetap dalam posisinya di pemerintahan meskipun diendapkan sebentar sebelum muncul kembali ke hadapan publik.
Terkait perang Rusia-Ukraina, AS menuduh Korut mengirim persenjataan kepada Rusia. ”Kalaupun ini benar, Pyongyang melakukannya dengan penuh kerahasiaan karena tidak ingin memancing kemarahan Uni Eropa yang bisa menimpakan sanksi lebih berat kepada Korut,” kata Park. (AFP)