EUBAM, Antara Cita-cita dan Realitas yang Gagap
EUBAM didirikan untuk membantu peningkatan kapasitas SDM Palestina dalam mengelola perbatasan dan lembaga lainnya jika mereka merdeka. Kini, harapan itu antara ada dan tiada.
Saat Jalur Gaza resmi berpindah tangan dari Israel ke kelompok Hamas pada 2005, Misi Bantuan Perbatasan Uni Eropa (EUBAM) menjadi misi idealis negara-negara Eropa menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Solusi dua negara saat itu dinilai paling bisa dijangkau untuk menghentikan konflik.
EUBAM dibentuk untuk membantu Palestina membangun kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan meningkatkan kerja sama lintas batas antara berbagai badan perbatasan, memantau operasi di jalur pelintasan Titik Penyeberangan Rafah yang menghubungkan Jalur Gaza di Palestina dan Mesir. Misi ini juga menjadi penghubung antara Otoritas Palestina, Pemerintah Israel, dan Mesir dalam mengelola perbatasan.
Pengawas perbatasan membantu Otoritas Palestina menjalankan penyeberangan Rafah di wilayah Palestina dan Mesir, sambil berkoordinasi dengan Israel. Pada awal berdirinya, EUBAM memiliki 130 pekerja dan membantu sekitar 2.700 orang melintasi perbatasan setiap hari.
Baca juga : Benang Kusut Konflik Israel Vs Palestina
Florin Bulgariu, Direktur EUBAM, mengatakan, kesepakatan awal saat didirikan, EUBAM akan membantu Otoritas Palestina untuk mengembangkan kemampuan SDM mereka, tidak hanya untuk mengelola perbatasan, tetapi juga untuk pelabuhan, bandara, serta penyeberangan perbatasan tambahan. “Idenya adalah agar Otoritas Palestina sepenuhnya siap untuk mengambil alih titik penyeberangan Rafah ketika saatnya tiba,” katanya.
Rencana itu buyar ketika kelompok Hamas memenangi pemilihan parlemen Palestina tahun 2006 dan menguasai Gaza tahun 2007. UE memutuskan operasi di Rafah meski masih mempertahankan kantor kecil di Tel Aviv, Israel dengan 18 orang staf, termasuk delapan staf lokal.
Meski stafnya berkurang jauh dibanding awal pendiriannya, UE masih mengggelontorkan anggaran hingga 2,5 juta euro per tahun. Bulgriu mengatakan, dana itu digunakan untuk melatih SDM dengan tujuan khusus, seperti mengendus pemalsuan dokumen imigrasi palsu hingga penyelundungan narkoba dan senjata.
Baca juga : Perjuangan Palestina dari Perang 1948 hingga 2021
EUBAM masih memegang teguh misinya, sejalan dengan visi UE yang menginginkan solusi dua negara sebagai jalan tengah penyelesaian konflik. Harapan untuk mewujudkan solusi dua negara belum pupus, setidaknya dalam pandangan EUBAM, Bulgariu, dan UE. “Ini satu-satunya solusi yang mungkin berhasil pada akhirnya, memisahkan perbatasan, setiap orang dengan urusannya sendiri,” ujarnya.
Gagap
Para pendukung solusi dua negara menyebut pendekatan ini tetap pilihan terbaik untuk semua pihak. Sebaliknya, para kritikus berpendapat solusi dua negara sebagai manajemen konflik yang mahal dan melanggengkan 56 tahun pendudukan Israel atas wilayah dan rakyat Palestina.
Serangan militer Israel terhadap Jenin yang menewaskan belasan orang dan melukai ratusan warga Palestina lainnya adalah bukti dunia internasional tidak bisa berbuat apa-apa terhadap Israel. Begitu juga ketika terjadi Perang 11 Hari di Gaza atau lebih luas lagi perebutan, pengusiran warga Palestina dari tanah dan rumah mereka untuk dijadikan permukiman warga Yahudi.
Ada yang mengekang dunia untuk bertindak adil meski Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan resolusi yang melarang Israel bertindak hal-hal yang melanggar hak hidup warga Palestina. Marwan Muasher, mantan Menteri Luar Negeri Jordania, selama beberapa tahun terakhir mencoba membuka mata dunia saat harus berhadapan dengan masalah Palestina-Israel. Bagi dia, solusi dua negara tidak realistis.
Baca juga : Jalan Panjang Palestina Berdaulat
“Masyarakat internasional, dalam pandangan saya, harus memahami kenyataan bahwa solusi dua negara sudah tidak ada,” katanya. Dia menyebut, dunia internasional tidak mau mengakui solusi dua negara saat ini tidak lagi memungkinan untuk dicapai. Apabila hal itu diakui, masyarakat internasional harus mencari alternatif solusi lain yang akan lebih bermasalah.
Dikutip dari Middle East Monitor, Muasher mengatakan, Palestina dan dunia internasional berhadapan dengan Pemerintah Israel yang sangat ekstrem dalam pemahaman keagamaan dan etnisnya sehingga tidak memungkinkan mereka bersikap fleksibel dan adaptif. "Ketika ekstremisme menjadi alas kerja pemerintah, alat diplomasi tidak berfungsi. Pemerintah ini tidak memberikan bobot apa pun pada alat diplomatik,” katanya.
Dia juga menyebut, pemerintahan sayap kanan Israel nyata-nyata tidak menginginkan negara Palestina merdeka berdiri di Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Selain itu, mereka juga tidak ingin ada mayoritas warga Palestina di tanah yang didudukinya. “Jelas pemerintah ini tidak mengakui hak warga Palestina untuk hidup di tanah mereka,” katanya.
Baca juga : Areen al-Ossoud, Gerakan Perlawanan Baru Lintas Faksi di Palestina
Muasher, yang juga Wakil Presiden Carnegie Endowment for International Peace, dikutip dari laman Carnegie Endowment menyebut, kehadiran lebih dari 700.000 pemukim Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur membuat prinsip pemisahan dua komunitas, yang menjadi dasar solusi dua negara, tidak mungkin tercapai. Meski ada peluang solusi integratif, seperti konfederalisme atau federalisme, menurut dia, hal ini tidak akan bisa diterima oleh banyak pihak.
Mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert berpikiran sebaliknya. “Saya masih meyakininya (solusi dua negara bisa tercapai). Tidak ada solusi lain. Segala sesuatu yang lain hampir pasti menjadi resep bencana baru,” kata Olmert.
Palestina menginginkan Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Jalur Gaza sebagai teritorial Negara Palestina Merdeka. Wilayah itu sudah sangat minimal karena wilayah pada 1967 mencapai 23 persen dari keseluruhan tanah Palestina yang membentang dari Galilea di utara hingga Gurun Negev di selatan, Tepi Barat dan Sungai Jordan di timur, serta pantai Laut Tengah di barat. Di mata rakyat Palestina, hanya menerima wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur sudah merupakan konsesi besar kepada Israel (Kompas.id, 24 Mei 2021).
Para pendukung pendekatan solusi dua negara mengatakan, pemisahan akan menciptakan Israel yang demokratis di satu sisi dan di sisi lain memungkinkan rakyat Palestina untuk mewujudkan keinginan mereka, memiliki negara Palestina yang menyejahterakan rakyatnya. Tanpa ada pemisahan, seperti yang terjadi saat ini, yang terjadi adalah penindasan satu kelompok terhadap lainnya. Aktivis hak asasi manusia menyebut, Israel telah memberlakukan politik apartheid terhadap rakyat Palestina.
Baca juga : Givat Eitam, Pelanggaran Norma Internasional dan Apartheid Baru
Sejak perjanjian Oslo 30 tahun lalu, AS dan UE telah menghabiskan miliaran dollar AS untuk proyek pembangunan dan bantuan langsung kepada Otoritas Palestina untuk mempromosikan visi dua negara. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Josep Borrell sama-sama menjanjikan dukungan untuk pendekatan ini.
Akan tetapi, tidak ada upaya yang jelas menuju ke arah sana. Inisiatif perdamaian sering kali digagalkan oleh kekerasan, perluasan permukiman Israel, dan rasa saling tidak percaya. Sibuk mengurusi Ukraina dan persaingannya dengan China, pemerintahan Presiden AS Joe Biden tidak melakukan apa-apa selain mengecam rencana perluasan permukiman Israel dan menyerukan deeskalasi.
“Dasar bagi kami adalah mengakhiri pendudukan, memperoleh kebebasan,” kata Mahmoud Aloul, pembantu Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Dia mengatakan, tidak masalah jika konflik berakhir dengan dua negara atau satu negara binasional untuk Israel dan Palestina.
Dia mengatakan, jika AS serius tentang perdamaian, mereka seharusnya memaksa Israel menghentikan perluasan permukiman. Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya. Washington memberi Israel bantuan militer senilai miliaran dollar AS, memungkinkan kelompok permukiman untuk mengumpulkan dana di AS, terlibat dengan lembaga-lembaga yang mempromosikan aneksasi Tepi Barat, dan mendorong normalisasi dengan negara-negara Arab lainnya.
“Masalahnya adalah kesenjangan dan kemunafikan yang mengerikan antara wacana dan kebijakan serta praktik yang diberlakukan,” katanya. (AP)