Givat Eitam, Pelanggaran Norma Internasional dan Apartheid Baru
Pemerintah Israel memastikan akan mencaplok wilayah Tepi Barat. Sebuah tindakan yang ditentang Perserikatan Bangsa-Bangsa dan apartheid baru di abad ke-21.
Oleh
Mahdi Muhammad
·6 menit baca
Harapan warga Palestina untuk memiliki negara yang berdaulat terus mendapatkan tantangan, terutama dari Israel dan penyokong utamanya, yaitu Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump. Upaya membangun perdamaian dengan mengedepankan solusi dua negara selalu terganjal langkah mereka. Bahkan, saat ini, terang-terangan mereka akan mencaplok wilayah Palestina. Dunia pun bersuara untuk Palestina.
Pemerintahan bersama Israel, yang dibentuk Benjamin Netanyahu dan Benny Gantz, yang sebelumnya adalah rival dan kini menjadi sekutu, bersiap-siap menganeksasi wilayah Tepi Barat, termasuk di dalamnya lembah Jordan, sebagai wilayah Israel. Pemerintah Israel, yang telah menyiagakan militer mereka untuk bergerak, mulai memproses pencaplokan itu. Pada saat yang sama, pemerintah Israel telah menyiapkan nama lokasi untuk ribuan permukiman baru yang akan dibangun di wilayah itu, Givat Eitam.
Warga Israel sendiri terbelah dengan rencana pencaplokan itu. Ada yang mendukung, tetapi ada juga yang menolak.
Dikutip dari laman media Israel, Haaretz, sebuah unjuk rasa besar berlangsung di Lapangan Rabin Square, Tel Aviv, Minggu (7/6/2020). Ribuan warga Israel turun ke jalan menolak rencana pencaplokan tersebut. Bersama warga keturunan Arab, warga Yahudi Israel ramai-ramai menolak rencana itu.
Nitzan Horowitz, salah satu inisiator aksi tersebut, mengatakan, pencaplokan Tepi Barat adalah sebuah kejahatan perang, pengingkaran terhadap upaya damai dan kejahatan terhadap demokrasi. Pencaplokan mengakibatkan pertumpahan darah.
Simcha, peserta aksi asal Kfar Yona, mengatakan, dirinya dan sebagian warga Israel yang menginginkan perubahan kebijakan Israel memilih Gantz pada pemilihan umum, yang berlangsung hingga tiga kali. Harapan akan perubahan, adanya sikap yang lebih bersahabat, serta sejajar antara Palestina dan Israel musnah. ”Mereka mengkhianati kami,” kata pria 50 tahun ini.
Penciutan wilayah dan Bantustan
Netanyahu menggunakan isu pencaplokan wilayah ini pada masa kampanye pemilu kemarin. Seperti dikatakan Simcha, sebagian warga Israel menginginkan cara pandang baru dalam mengatasi konflik Palestina-Israel yang tak kunjung usai. Namun, dukungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberikan angin segar bagi Netanyahu, yang sebelumnya selalu mendapatkan kritik dari Barack Obama terkait keinginannya selalu melakukan ekspansi.
Mahkamah Agung Israel pun telah menyatakan pendudukan itu ilegal. MA Israel menilai peraturan yang menjadi landasan kerja Pemerintah Israel membangun permukiman di wilayah Palestina melanggar hak-hak warga Palestina.
Berdasarkan perhitungan Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, wilayah Palestina akan semakin menciut apabila pencaplokan itu jadi dilaksanakan. Pencaplokan itu, berdasarkan catatan Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia, akan mengambil sekitar 30 persen wilayah Palestina.
Sebagai gantinya, dalam proposal yang diajukan Trump, ibu kota Palestina nantinya adalah Abu Dis, desa di wilayah yang sama yang terletak di sebelah timur perbatasan Israel untuk Jerusalem. Trump juga menawarkan Palestina sebuah tanah baru di Gurun Negev sebagai imbalan atas tanah yang dicaplok dan dana senilai 50 juta dollar AS, tetapi semuanya ditolak Palestina.
Para pakar HAM PBB menilai rencana pencaplokan Tepi Barat akan menjadikan rakyat Palestina dan wilayahnya sebagai Bantustan di Timur Tengah. ”Sebuah wilayah atau kawasan yang tidak terkoneksi satu sama lain serta secara keseluruhan dikelilingi Israel. Tidak ada keterhubungan dengan dunia luar sama sekali,” kata para pakar HAM PBB dalam pernyataannya seusai pertemuan dengan Komisi Tinggi PBB, Selasa (16/6/2020).
Bantustan, dalam konsepnya, dikutip dari Christopher R Hill (Bantustan: The Fragmentation of South Africa 1964), adalah wilayah atau kawasan khusus yang dihuni berbagai suku (warga kulit hitam Afrika Selatan), yang membedakan antara warga kulit hitam dan putih di negara itu. Tawaran yang dibuat Trump dan Netanyahu pada proposal damai itu, disebut Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, mirip dengan Bantustan yang pernah ada di negaranya ketika politik apartheid masih ada.
Analis politik stasiun televisi Al Jazeera, Marwan Bishwara, mengatakan, yang dialami warga Palestina saat ini tidak berbeda dengan kondisi rakyat Afrika Selatan ketika apartheid masih merajalela. Zionisme yang dikobarkan oleh Netanyahu, menurut dia, tidak berbeda dengan politik apartheid di Afsel yang membuat konflik secara terus-menerus, pembersihan etnis, perampasan, dan pengusiran jutaan warga dari tempat kelahirannya.
Para pakar HAM sepakat dengan Bishwara. Apalagi Israel akan mempertahankan kontrol keamanan permanen antara Laut Tengah dan Sungai Yordan. ”Ini adalah visi apartheid abad ke-21,” kata para pakar itu dalam pernyataannya, Selasa (15/6/2020).
Tindakan bersama dan berbeda
Satu per satu negara dan kelompok negara telah mengeluarkan kecaman dan meminta penghentian rencana pencaplokan itu. Uni Eropa, China, negara anggota Organisasi Konferensi Islam yang sebagian adalah negara teluk, dan Indonesia telah bersuara.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, rakyat Palestina menghadapi tekanan ganda, yaitu pandemi Covid-19 dan rencana aneksasi. ”Ini mengguncang fondasi Palestina sebagai sebuah bangsa serta mengancam perdamaian juga stabilitas di kawasan dan sekitarnya,” kata Retno. Indonesia mendorong komunitas internasional, khususnya negara anggota OKI, untuk menolak pencaplokan itu (Kompas, 11 Juni 2020).
Pencaplokan diyakini akan berakibat pada ketidakstabilan keamanan kawasan. Pemerintah Jordania telah mengatakan bahwa realisasi pencaplokan berarti Israel akan bersiap menghadapi negara itu dan rakyatnya.
Pemimpin Iran, Ayatollah Ali Khomeini, menyatakan, rakyat dan pemerintahannya akan berjuang sekuat tenaga untuk membantu rakyat Palestina merebut kembali tanah mereka. ”Dengan bangga kami akan membantu Palestina,” kata Khomeini.
PBB sendiri telah berulang kali mengatakan pendudukan Israel selama 53 tahun terakhir ini merupakan sumber pelanggaran HAM yang terus-menerus atas rakyat Palestina. Mulai dari penyitaan tanah, kekerasan pemukim, penyitaan sumber daya alam, penghancuran rumah, pemindahan penduduk secara paksa, penggunaan kekuatan militer dan penyiksaan yang berlebihan, penargetan aktivis, penahanan anak-anak, perampasan ekonomi yang mengakibatkan kemiskinan ekstrem, hingga dugaan pembersihan suku bangsa tertentu.
Michelle Bachelet, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, dalam pertemuan tersebut menyodorkan beberapa bukti bahwa pelanggaran HAM oleh Israel dan aparatnya terus terjadi, termasuk penggunaan kekuatan bersenjata oleh militer Israel terhadap warga miskin Palestina.
Dalam pertemuan dengan Dewan HAM PBB, para pakar HAM mengatakan, pencaplokan yang akan dilakukan Israel merupakan pelanggaran serius atas Piagam PBB, Konvensi Geneva, dan aturan fundamental yang telah ditegaskan oleh Dewan Keamanan PBB, yaitu perolehan wilayah dengan perang atau kekerasan tidak dapat diterima.
Para pakar HAM menilai pencaplokan akan terus menyuburkan pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak rakyat Palestina. Dewan Keamanan PBB setidaknya telah mengecam dua kali pencaplokan yang dilakukan Israel, yaitu pada tahun 1980 ketika Israel mencaplok Jerusalem Timur dan tahun 1981 atas pencaplokan Dataran Tinggi Golan.
Juru runding senior Palestina, Saeb Erekat, menyambut baik pernyataan para pakar HAM PBB. Dia berharap masyarakat internasional menyadari tanggung jawabnya dengan keluarnya hal tersebut.
Harapan yang sama dinyatakan para pakar HAM. Mereka berharap pandangan dari mereka dan dari komunitas internasional akan menghasilkan sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan sebelumnya.
Mereka mengatakan, komunitas internasional punya kewajiban hukum dan politik untuk mewujudkan tatanan dunia internasional berbasis aturan. Impunitas atas seseorang ataupun sebuah negara atas pelanggaran hukum dan norma internasional tidak boleh terjadi. (AP/AFP/Reuters)